Tambang, Fiqh, dan Peradaban: Ujian untuk NU dan Kita Semua
Reza Fauzi Nazar June 16, 2025 03:20 PM
"Seluruh bumi adalah masjid," sabda Nabi, "dan tanah yang suci." Sebuah kalimat sederhana, namun sarat makna lintas zaman. Ia menyimpan kesadaran ekologis yang kian redup dalam diskursus Islam kontemporer—apalagi dari para elite agama yang sibuk merumuskan pembenaran atas komodifikasi dunia, mengatasnamakan maslahat umat.
Dunia Islam, termasuk Indonesia, tampaknya lebih gemar mendaur ulang istilah lama—maqashid, maslahah, fiqh peradaban—dalam kemasan baru dalam seminar-seminar dengan balutan "reaktualisasi", pada forum-forum elitis yang memproduksi prosiding dan jurnal. Tapi semua itu seringkali gagap saat dihadapkan pada realitas telanjang: deforestasi, kerusakan lingkungan, konflik tambang, sampai perselingkuhan dengan kekuasaan.
Saya masih ingat, NU lewat forum Muktamarnya beberapa tahun silam sempat meluncurkan gagasan "Fiqh Peradaban". Sebuah ide yang konon melompat melampaui batas lama, hendak menggugat stagnasi fiqh klasik. Tapi benarkah? Quo Vadis Fiqh Peradaban? Apakah ia sungguh jalan pembebasan, atau sekadar legitimasi baru untuk bicara tentang relasi negara-negara, sah atau tidaknya PBB, sampai dekonstruksi gagasan khilafah? Atau justru bentuk baru dari konservatisme?
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah program televisi, Ketua PBNU Gus Ulil Abshar Abdalla bicara—atau lebih tepatnya, mengklarifikasi—mengapa NU tampak diam di tengah kecemasan publik soal eksploitasi alam di Raja Ampat. Katanya, "mencintai lingkungan yang berlebihan juga bisa merusak (mafsadat)". Kalimat ini terasa retoris—bukan salah secara teori—tapi menggantung di ruang tafsir yang kabur: siapa yang berhak menentukan kadar cinta yang “berlebihan” itu? Siapa yang mengukur berapa ton nikel atau batu bara yang “cukup” untuk kebutuhan peradaban? Bukankah bisa saja ini hanya tameng halus untuk melegalkan eksploitasi masif—atas nama ‘peradaban baru’? Inikah yang dimaksud Fiqh Peradaban itu? Entahlah.
Di seberangnya, aktivis Greenpeace Iqbal Damanik berbicara dengan lantang dan getir, menuntut tambang itu dihentikan. Suara moral yang barangkali terdengar radikal, ideal, bahkan utopis bagi sebagian. Namun nyatanya setiap peradaban besar lahir justru dari sebuah utopia, bukan dari kompromi. Bukankah seluruh kemajuan muncul dari ketidakpuasan atas kenyataan? Sayang, di ruang publik hari ini, utopia lebih cepat dibungkam oleh kalkulasi politik dengan dalih kemajuan.
NU, dengan gaung "Fiqh Peradaban"-nya, seharusnya sanggup menjembatani dua kutub ekstrem ini. Bukan menjadi utopia baru. Persoalannya justru di sini: bagaimana mungkin membangun "fiqh peradaban" bila landasannya masih tambal sulam teks lama, menyulap qawa'id fiqhiyyah klasik jadi legitimasi industrialisasi brutal? Fiqh peradaban akhirnya terjerembab jadi jargon steril di panggung Munas—Muktamar, dan Halaqoh yang jauh dari sistem, apalagi epistemologi baru.
Padahal, sejarah Islam menyimpan relasi manusia-lingkungan yang jauh lebih berani dari itu. Abu Dzarr al-Ghifari, sahabat miskin Nabi, melaknat para penimbun harta: “Barangsiapa menyimpan emas dan perak tanpa menebarkannya untuk makhluk lain, layak dibakar di neraka.” Tidakkah menimbun cadangan batu bara, emas, nikel oleh korporasi tambang termasuk dalam kutukan itu?
Tapi siapa di kalangan resmi NU yang berani mengutip Abu Dzarr hari ini? Siapa berani menampilkan wajah Islam yang resah, galak, dan menggugat itu di depan gempuran pragmatisme dan tawaran penguasa? Fiqh peradaban mestinya lahir dari perlawanan pada akar modernitas yang melahirkan budaya ekstraksi rakus tanpa batas—bukan jadi bedak penyejuk wajah Islam klasik yang letih dan memaksanya untuk "terlihat" modern.
Sayangnya, pemikir Islam mutakhir di Indonesia justru lebih gemar mengulang maqashid al-syariah ala al-Syatibi yang dipoles ulang, ketimbang menggali krisis epistemik yang lebih tajam: mengapa Islam membiarkan paradigma ekonomi-politik modern Barat merajalela, sementara dirinya sibuk mengatur halal-haram bunga bank, label industri halal, dan sertifikasi halal saja?
Greenpeace—betapapun tampak sederhana tuntutannya—justru mengajukan soal moral yang lebih dibanding seminar fiqh lingkungan yang klise: "kita harus menjaga lingkungan", gagasan barunya "eko-teologis" lalu selesai di ajakan menanam pohon.
Maka sampai kapan bumi ini dipandang cuma sebagai ladang eksploitasi? NU tampaknya bisa saja ragu: di satu sisi ingin tampil sebagai kekuatan moral ramah lingkungan; di sisi lain terperangkap ambisi jadi 'aktor peradaban baru’—yang butuh modal, tambang, dan kompromi kuasa. Ini jalan tengah, atau jalan buntu?
Di sinilah beban Fiqh Peradaban: hendak dibawa ke mana? Menjadi stempel suci bagi konsesi tambang demi ‘peradaban baru’ versi investor dan penguasa? Atau menjadi suara keras yang mengganggu tenang nyaman kuasa—sebagaimana agama seharusnya?
Sayangnya, di tayangan itu, suara NU lebih mirip suara pengusaha tambang yang sedang belajar berzikir. Ada ketakutan aneh pada gerakan lingkungan radikal yang disebutnya wahabisme dan wokisme, seolah mencintai bumi seutuhnya itu dosa. Padahal, bukankah Nabi melarang menebang pohon di medan perang? Melarang membunuh binatang tanpa alasan? Bukankah Allah menyebut bumi "masjid"—bukan "tambang"?
Mungkin paradigma NU kini yang kelewat lunak pada kapitalisme ekstraktif yang menggerus pulau, hutan, sungai, tanah. Dalam istilah Sayyid Qutb ini yang disebut "jahiliyah baru"—rakus dibungkus nama "kemajuan". Ironi terbesarnya, para ulama ikut merayakan pesta tambang atas nama kemaslahatan umat.
Bumi memang tak mungkin steril dari eksploitasi. Saya sadar itu. Pun saya tidak sepenuhnya bisa sepakat dengan apa yang dikampanyekan Greenpeace. Nabi sendiri pun menambang, berdagang, bertani. Tapi bedanya: etika Islam membatasi produksi pada kebutuhan wajar, bukan ambisi akumulasi tanpa batas. "Kifayah, bukan katsrah," pesan al-Ghazali: cukup, bukan berlebih. Sebuah prinsip yang nyaris punah di tengah gempuran kapitalisme global—dan kini makin kabur dalam "fiqh peradaban" NU.
Karena itu, jika NU sungguh ingin membawa "Fiqh Peradaban" keluar dari sebatas jargon, ia harus berani membongkar relasi manusia-alam warisan modernitas. Harus ada keberanian menyatakan: tambang bukan soal halal-haram semata, bukan bad mining dan good mining yang bisa saja polemis dan problematis, bukan juga soal mashlahat-madharat dalam bingkai lama. Ini soal keadilan ekologis, distribusi sumber daya, hak masyarakat tambang, hak generasi mendatang, atas bumi yang lestari.
Saya coba membuka memori kolektif untuk PBNU. Di tahun 2017 PBNU dengan Lakpesdam era Kyai Rumadi Ahmad sempat menulis buku berjudul "Fikih Energi Terbarukan" bersama dengan KEMALA-Konsorsium Energi Mandiri Lestari, Pusat Studi Ekonomi Kerakyataan UGM, Pusat Studi Energi UGM, dan CCES Yogyakarta. Waktu itu sepertinya PBNU ingin memanfaatkan energi terbarukan. Namun sekarang? Perlu ada keberanian menyerap spirit Abu Dzarr—mengutuk kerakusan meski harus melawan penguasa.
Tanpa itu, "Fiqh Peradaban" hanya jadi tambal sulam teori lama, bahkan jadi tumbal kekuasaan yang dibungkus janji manis keuntungan industrialisasi brutal. Dan NU, alih-alih pionir peradaban baru, hanya pelengkap penderita di panggung kapitalisme baru. Problem yang tak layak diwariskan kepada generasi Muslim berikutnya.
Akhirnya, mari bertanya ulang: untuk siapa tambang-tambang itu digali? Untuk siapa bumi ini dieksploitasi? Untuk siapa fatwa-fatwa itu diterbitkan? Kalau jawabnya masih sama, "demi pembangunan nasional," "demi kesejahteraan umat," "demi Indonesia Emas," "demi peradaban baru"—tanpa kritik radikal pada sistem ekonomi-politik global yang rakus—maka semua itu tak lebih dari ilusi.
Kini saatnya NU—dan kita semua—mengajukan pertanyaan paling berani: beranikah kita berkata ‘tidak’ pada tambang—meski atas nama peradaban? [ ]
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.