Fadli: Semangat Penulisan Ulang Sejarah Memperkuat Peran Perempuan
kumparanNEWS June 16, 2025 04:20 PM
Penulisan ulang sejarah akan mengedepankan peran dan kontribusi perempuan. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan semangat kaum perempuan punya posisi penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
"Salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa," kata Fadli dalam keterangannya, Senin, (16/6).
Hal itu disampaikan Fadli untuk merespons kekhawatiran soal dugaan penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia yang tengah disusun.
Kementerian Kebudayaan disebut telah mengakomodasi secara substansial pembahasan gerakan, kontribusi, dan isu-isu perempuan, mulai dari Kongres Perempuan 1928, peran organisasi perempuan, perjuangan diplomasi dan militer, hingga isu kekerasan dalam rumah tangga dan kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
Fadli juga mengajak masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan akademisi, untuk terlibat dalam diskusi publik dan memberi masukan terhadap penyusunan buku sejarah tersebut.
“Prinsip keterbukaan, partisipasi publik, profesionalisme dan akuntabilitas tentu tetap menjadi dasar penyusunan sejarah. Kami akan melakukan diskusi publik yang terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil,” ujar Fadli.
“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab kita di masa kini dan masa depan. Karena itu, mari kita menjadikannya ruang bersama untuk membangun pembelajaran, empati, dan kekuatan pemersatu,” lanjutnya.
Di sisi lain, Fadli menyebut perlunya kehati-hatian dalam menggunakan istilah “perkosaan massal” terkait peristiwa kerusuhan Mei 1998, mengingat laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tidak mencantumkan data rinci seperti nama, waktu, tempat kejadian, dan pelaku.
“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” ucap Fadli.
Namun, Fadli menegaskan tidak sedang menyangkal keberadaan kekerasan seksual yang terjadi, baik pada masa lalu hingga kini.
“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” ungkapnya.
Hal tersebut disampaikan oleh Fadli setelah sebelumnya pernyataannya dikritik oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Lembaga itu menilai pernyataan Menteri Kebudayaan sebagai bentuk penyangkalan terhadap kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998, yang justru menyakitkan bagi para penyintas dan memperpanjang impunitas.
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa laporan resmi TGPF mencatat 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan, dan menjadi dasar pengakuan negara terhadap pelanggaran HAM dalam tragedi tersebut.
“Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” tegas Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan dalam keterangannya, Minggu (15/6).
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.