Udara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seperti kenangan yang diam-diam menetap di tempat masa kecilku tumbuh. Rumah ini, dengan dinding kayu yang mulai dimakan usia dan lantai berderit, dulu pernah dipenuhi canda tawa. Kini hanya keheningan yang membungkus pada setiap sudut.
Simbok duduk di kursi, kondisi fisiknya tampak makin ringkih dari yang kuingat. Kerutan di wajahnya bertambah, tetapi senyum khasnya tetap sama, seperti menahan ribuan kata yang tak kuasa ia ungkap.
"Kamu pulang juga, Nduk." Suaranya terbata.
Aku mengangguk pelan, meski dada terasa berdegup kencang.
"Langgar itu masih ada… tidak banyak yang berubah," gumamku.
Langgar kecil di seberang rumah, yang dulu menjadi tempat menyemai harapan dan panen pahala, kini bagiku tak lebih dari bayang-bayang nestapa tak kasatmata. Tempat yang seharusnya paling aman justru menyisakan ketakutan yang membekas dalam ingatanku.
Dulu, langgar itu tempatku mengaji bersama teman-teman. Kami belajar dari Ustaz Darlan, pria paruh baya bersurban putih yang dihormati semua orang. Tutur katanya menyejukkan, mungkin terlalu menyejukkan, sampai membekukan akal sehat kami. Ustaz sering memberi petuah-petuah tentang surga, tapi mengoyak jiwa-jiwa kami seperti pembawa neraka. Setelah teman-temanku pulang, aku sering dipaksa tinggal lebih lama.
Katanya, untuk "belajar lebih banyak."
"Latihan kesabaran…," ujarnya, sembari memeluk dan menciumiku.
Lalu... sudahlah! Mestinya itu tidak pernah terjadi!
Aku membeku. Tubuhku kaku. Mulutku terkunci. Seperti patung batu di tengah gelombang badai tornado. Rasa gelisah menelan seluruh alam pikiranku, bagai kabut tebal yang menyesatkan jalan pulang. Kekhawatiran membekapku. Takut Simbok menepis kisahku, dan orang-orang malah menyalahkanku.
Akhirnya aku memilih pergi. Meninggalkan desa masa kecilku, berharap jarak mampu menghapus setiap perih yang kututup di relung terdalam. Ternyata tidak! Duka itu menempel dalam tubuhku. Hidup dalam ingatan, menghantui mimpi-mimpi, menyusupi doa-doaku, menelikungi asaku. Dan… takut itu tetap tinggal. Mengikuti ke mana pun aku pergi, membayangi setiap perjalanan hidupku.
***
Hari ini, aku kembali. Simbok… rambutnya memutih tampak kian renta, menatapku dengan mata yang masih sama. Penuh kasih, meski tak terucapkan. Sembari membetulkan kerudungnya, tangannya sedikit gemetar.
“Mbok... aku mau bilang sesuatu… yang selama ini kupendam...”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Ustaz Darlan, dia menggrawiliku… saat aku masih kecil.”
Simbok mematung. Wajahnya pucat, matanya melebar, penuh keterkejutan. Dalam sekejap… memelukku, seolah ingin melindungiku dari kejamnya dunia.
“Kamu… kamu ndak salah, Nduk,” ucapnya terbata.
“Maapkan Simbok... yang ndak tahu, ndak bisa melindungimu…”
Setelah itu, kami memutuskan untuk mengambil tindakan. Aku menyambangi teman-teman lama. Mereka, yang dulu belajar bersamaku di langgar itu, ternyata menyimpan noda batin serupa.
“Aku selalu membenci suara sandal selopnya di malam Jumat. Aku tahu, itu giliranku,” ungkap Lina, sesenggukan.
“Kupikir aku satu-satunya,” ujar Sari.
“Aku... sejak kelas empat,” kenang Dina.
Lara kami beragam. Bertahun-tahun kami bungkam, saling menyembunyikan kepedihan demi menjaga nama baik yang tak pernah berpihak pada kami. Tapi kali ini kami memilih bersuara. Kami berkumpul, bukan lagi sebagai anak-anak yang dikutuk oleh ketakutan, melainkan sebagai perempuan yang mulai menemukan kembali suara dan martabatnya.
Malam-malam kami dipenuhi perasaan gelisah, takut bercampur amarah, dan ingatan yang tak kunjung sirna. Tapi kami tahu, diam justru memperpanjang kepedihan. Kami menghubungi Mitra Wacana, lembaga pendampingan perempuan di Yogyakarta. Mereka menguatkan dan menemani kami membuat laporan di Unit PPA kepolisian.
***
Proses hukum pun kami tempuh. Berliku, melelahkan, membangkitkan kembali luka-luka lama yang nyaris kami kubur. Namun, untuk pertama kalinya, kami merasa punya tempat berpijak. Tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Tak ada lagi ketakutan yang membelenggu.
Hari ketika palu hakim diketok, saat berita penahanan Ustaz Darlan menyebar di desa, langgar itu tertimpa hujan badai. Atapnya ambruk, tiangnya patah, kusen-kusen kayu berserakan.
Langgar, tempat orang-orang menciumi sajadah demi pahala keabadian, justru menjadi saksi bisu kesucian bejana jiwa kami direnggut paksa manusia bejat. Di sana, azan berkumandang, tapi tangis kami tak pernah terdengar. Tak pernah!
Hujan baru saja reda ketika aku kembali berdiri di depan langgar yang ambruk itu. Udara masih berbau tanah basah. Simbok hanya beberapa langkah di belakangku, diam-diam menyeka air mata. Aku memandangi sisa-sisa bangunan; potongan kaca, rak-rak patah, genting-genting remuk, dan papan nama yang masih tergantung miring.
Dan di antara puing-puing itu, aku melihat sesuatu. Kotak kayu kecil. Separuhnya terendam lumpur. Aku jongkok, menariknya pelan-pelan. Penutupnya longgar. Di dalamnya tumpukan kertas-kertas usang dipenuhi coretan, beberapa foto anak-anak, dan... sebuah pesan tulisan tangan. Salah satunya untuk Simbokku.
Simbok menunduk, tak bergeming. “Mbok... ini tulisan Ustaz Darlan,” suaraku tercekat di kerongkongan. Simbok mendekat. Tak sepatah kata pun terucap, hanya memandangi kotak itu, lama, seolah menyimpan rahasia yang tak sanggup lagi ia pendam. Tatapannya kosong, matanya sembap.
Aku mendongak, memandangi langit yang mulai temaram, kotak di tanganku, dan tatapan kosong Simbok. Untuk sesaat, aku tak tahu, siapa lagi yang menyimpan serpihan-serpihan masa lalu? Mungkinkah selama ini sudah ada yang tahu… tapi bungkam?
Dan entah kenapa, sejak hari itu, aku merasa baru saja membuka retakan di pusaran jiwa yang lebih tua dari ragaku sendiri.
*Cerpen ini dicetak dalam kumpulan Cerita Pendek Kenangan itu Ada Di Sini oleh SIP PUBLISHING 2025.