Laporan Wartawan TribunJatim.com, Luhur Pambudi
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Anggota Polsek Tegalsari Polrestabes Surabaya memasang garis batas Polisi (Police Line) pada bangunan milik warga yang sebelumnya dikuasai oleh preman berkedok organisasi masyarakat (ormas) di dekat Pasar Keputran kawasan Jalan Keputran Nomor 24, 34, dan 42, Keputran, Tegalsari, Surabaya, pada Selasa (17/6/2025) siang.
Pemasangan garis batas Polisi pada bangunan tersebut merupakan tindak lanjutan dari penangkapan lima orang anggota ormas yang kasusnya diselidiki Anggota Unit Reskrim Tegalsari dan Satreskrim Polrestabes Surabaya, beberapa waktu lalu.
Terpantau di lokasi, proses pemasangan Police Line tersebut berlangsung sejak pukul 13.00 WIB hingga 14.30 WIB. Terdapat tiga bangunan yang dilakukan penyegelan untuk kepentingan penyelidikan kepolisian.
Kondisi bangunan rumah yang disegel tersebut, merupakan kategori bangunan lawas khas zaman kolonial. Konstruksi utama bangunan tampak masih kokoh meskipun warna dinding tampak kusam.
Tiga bangunan yang disegel tersebut, menyerupai garasi kendaraan yang mampu menampung dua bus angkutan besar untuk perjalanan penumpang antar kota antar provinsi (AKAP).
Artinya, tidak ada sekat antar ruangan seperti konstruksi rumah pada umumnya, seperti ruangan tamu, teras, dan kamar, pada bangunan tersebut.
Diketahui para tersangka sudah merenovasi ulang bangunan tersebut agar dapat menampung belasan hingga puluhan lapak pedagang.
Pantas saja, saat proses penyegelan Police Line tersebut, ditemukan meja lapak dagangan penjual berbahan kayu bambu.
Lokasinya, tertata berpetak-petak memenuhi rongga bangunan yang sudah 'dipapras' bak garasi tersebut.
Bahkan, tampak juga tumpukan sayur mayur dagangan yang masih diwadahi karung.
Lalu, ada juga dagangan sayur mayur yang sudah dipajang di sebuah terpal berukuran persegi agar tampak menarik minat para pembeli.
Memang, renovasi yang dilakukan oleh para tersangka tak main-main.
Pada bangunan nomor 34 saja, bagian atapnya sudah diganti dengan atap jenis seng dengan rangka berbahan galvalum warna silver.
Selain itu, terdapat kabel listrik yang terhubung pada bagian ujungnya dengan meteran listrik digital. Ternyata, bangunan tersebut, memang sengaja dimodifikasi agar menjadi pusat perbelanjaan tradisional.
Kapolsek Tegalsari Polrestabes Surabaya Kompol Rizki Santoso mengatakan, pihaknya sengaja memasang Police Line tersebut agar memastikan aset bangunan milik warga yang asli sebagai pemilik sah, tidak disalahgunakan kembali oleh orang tak bertanggungjawab.
Apalagi sampai sampai direnovasi ulang tanpa seizin pemilik sah, dan dikomersialkan untuk mereguk keuntungan pribadi.
Dan yang tak bisa ditoleransi, menurut Rizki, tiga bangunan tersebut, merupakan area locus delicti dalam kasus hukum yang sedang diselidiki oleh Anggota Polsek Tegalsari Polrestabes Surabaya.
Benar, beberapa orang warga; pemilik sah bangunan rumah tersebut, telah membuat laporan kepolisian atas dugaan memasuki bangunan tanpa izin dan penyerobotan bangunan rumah mereka di SPKT Mapolsek Tegalsari, beberapa waktu lalu.
Setelah laporan tersebut diselidiki, Rizki mengungkapkan, hasilnya dari penyelidikan kasus tersebut, lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka dipersangkakan atas pelanggaran tindak pidana Pasal 363 KUHP, Pasal 170 KUHP, Pasal 385 Ayat 4 KUHP dan Pasal 167 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama tujuh tahun penjara.
Mereka diantaranya berinisial MS (45), M (41), B (25), AA (23), dan IZ (42). Ternyata, para tersangka itu mengatasnamakan diri sebagai Forum Pemuda Madura Indonesia (FPMI).
"Jadi kami dari kepolisian bersama tiga pilar untuk hadir untuk menyelamatkan aset-aset pribadi milik warga untuk kami police line sementara berlangsungnya proses Penyelidikan dan penyidikan. Kalau sudah selesai akan kami kembalikan kepada pemiliknya yang sah," ujarnya pada awak media di lokasi.
Rizki menerangkan, para tersangka sebenarnya berupaya menguasai enam bangunan di sepanjang jalanan menuju Pasar Keputran tersebut.
Bangunan rumah yang dikuasai oleh para tersangka itu, adalah bangunan yang sengaja dikosongkan dan tidak manfaatkan sebagai tempat tinggal sehari-hari.
Namun, hanya tiga bangunan rumah warga yang berhasil dikuasi oleh para tersangka. Karena, tiga bangunan lain yang gagal dikuasi oleh para tersangka sudah terlanjur diamankan terlebih dahulu oleh si pemilik sahnya masing-masing.
"Dari 6 TKP yang dilakukan atau diupayakan oleh kelompok tersebut ternyata hanya tiga yang tidak berhasil dikuasai karena sudah diendus pemiliknya dan digagalkan polsek Tegalsari," jelasnya.
Ternyata, para tersangka memanfaatkan tiga bangunan tersebut untuk mencari keuntungan pribadi. Caranya, dengan menciptakan lapak-lapak kaki lima yang dapat disewakan oleh para pedagang sayur mayur.
Setelah diselidiki, tercatat dalam satu bangunan dimanfaatkan oleh para pelaku agar dapat menampung 15-30 lapak pedagang.
Satu lapak disewakan seharga kisaran Rp2-4 juta per bulan. Dan, praktik lancung yang dilakukan para tersangka sudah berlangsung kurun waktu enam bulan.
Sehingga, Rizki mengkalkulasi kisaran keuntungan para tersangka selama kurun waktu sebulan mengoperasikan tiga rumah tersebut menjadi lokasi lapak pedagang sewaan, sekitar Rp90 juta.
"Keuntungan paling kecil dijadikan 6 kios, paling banyak 15 kios. Kalau diambil rata-rata 3 jutaan, kurang lebih 30 kios, 90 juta per bulan. Sudah berjalan 6 bulan," katanya.
Tak ingin berhenti pada penangkapan lima orang tersangka sebelumnya. Rizki tak menampik, bakal ada penambahan tersangka baru atas kasus tersebut, seiring dengan adanya upaya penyegelan Police Line di tiga bangunan rumah tersebut.
Terbaru, ia sedang menyelidiki dugaan tindak pidana pencurian benda-benda di dalam rumah yang dikuasi oleh lima tersangka sebelumnya. Termasuk, soal dugaan penyerobotan bangunan.
Pasalnya, terdapat korban yang mengaku kehilangan benda-benda berharga di rumah yang dikuasi para tersangka. Mulai dari besi tua, hingga pompa air listrik, dengan nilai kerugian kisaran Rp30 juta.
Mengenai jumlah saksi yang sedang menjalani pemeriksaan. Rizki mengungkapkan, pihaknya sudah memeriksa sekitar enam orang saksi atas pengembangan kasus tersebut.
"Dan tidak menutup kemungkinan, keluarga atau masyarakat yang turut membantu turut serta proses penyidikan akan kami libatkan sebagai pelaku," pungkasnya.
Sementara itu, pemilik rumah bernomor 42, Tantri Tan (57) mengatakan, rumah tersebut merupakan peninggalan mendiang neneknya.
Sebelum akhirnya dikosongkan pada tahun 2017 silam, rumah tersebut sempat ditinggali oleh saudara dari ibundanya. Namun, kini rumah tersebut menjadi pengawasannya.
Selama dikosongkan itu, kondisi rumah dalam keadaan tertutup dan terkunci rapat. Terkadang, beberapa anggota keluarga termasuk dirinya berkunjung untuk memeriksa kondisi bangunan. Itu pun juga jarang, seingatnya, setahun sekali.
Namun, pada Januari 2025, Tantri Tan mengaku kaget, tatkala berkunjung ke sana, kondisi rumahnya mendadak menjadi kios pedagang kaki lima dan gudang dagangan sayur mayur.
"Kondisi pintu tertutup, kayu jati, hilang semua, kayaknya dijebol. Kalau di dalam kosong. Cuma pintu ini, bahan jati semua," ujarnya saat ditemui awak media seusai penyegelan Police Line di lokasi.
Ia berupaya bertanya ke semua orang di sekitar lokasi tersebut, mulai dari tukang parkir hingga para tetangga di kanan dan kiri rumahnya.
Ternyata, ungkap Tantri Tan, mereka memilih bungkam diduga merasa takut jika membocorkan pihak-pihak yang menyerobot bangunan rumahnya.
"Sekitar bulan Januari 2025, baru tahu. Saya sudah tanya ke tukang parkir atau warga asli sekitar. Mereka semua angkat tangan. Kayaknya mereka takut, preman-preman ini," pungkasnya.
Di lain sisi, koordinator lapak pedagang, Trias (36) mengatakan, pihaknya mengapresiasi langkah Kapolsek Tegalsari Kompol Rizki Santoso mengedepankan rasa kemanusiaan untuk memberikan kesempatan para pedagang untuk memindahkan barang dagangan ke lokasi lain yang lebih aman.
"Sudah 3 bulan menyewa. Saya jual sayur. Hasil diskusi sama Pak Kapolsek, dikasih waktu, alhamdulillah kemanusiaannya masih ada. Kami pedagang yang gak tahu menahu," ujar pria bertopi hitam itu, saat ditemui awak media di lokasi.
Sekadar diketahui, dikutip dari Kompas.com, lima orang preman yang mengaku sebagai anggota organisasi masyarakat ditangkap oleh Polisi setelah menduduki lahan milik orang lain dan menyewakannya di Kota Surabaya.
Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Aris Purwanto mengungkapkan kelima pelaku, yaitu MS (45), M (41), B (25), AA (23), dan IZ (42), mengeklaim diri sebagai anggota Forum Pemuda Madura Indonesia (FPMI).
"Karena pemilik lahan tidak ada di tempat, mereka memasang bendera FPMI dan kemudian menyewakannya kepada orang lain," kata Aris di Mapolrestabes Surabaya, Selasa (3/6/2025).
Aris menjelaskan, terdapat tiga lokasi yang telah diberi tanda dengan bendera ormas tersebut, yaitu di Jalan Keputran Nomor 24, 34, dan 42, Kecamatan Tegalsari, Surabaya.
Ia mengungkapkan bahwa masing-masing pelaku memiliki peran dalam kejahatan tersebut.
Salah satu tersangka, MS, bertindak sebagai otak dan bertugas mencari bangunan kosong.
"M yang melakukan pengambilan barang di rumah korban. Dia juga melakukan pembongkaran dan menarik sewa dari lahan yang dikuasai. Uang hasil sewa diserahkan kepada MS," ujarnya.
Sementara itu, tersangka B, AA, dan IZ berperan membantu M mengambil perabotan di dalam rumah korban.
Ketiganya juga berfungsi sebagai penjual sejumlah barang tersebut. Dari hasil penjualan perabotan rumah korban, para tersangka menerima uang sebesar Rp 1.250.000
Kelima pelaku dijerat dengan Pasal 363 KUHP, Pasal 170 KUHP, Pasal 385 Ayat 4 KUHP dan Pasal 167 KUHP. Ancaman hukumannya, paling lama tujuh tahun penjara.