Mengapa Investor Global Ramai-Ramai Tinggalkan Dolar AS?
kumparanBISNIS June 19, 2025 09:22 AM
Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) semakin kehilangan pamor di mata investor global. Sepanjang tahun ini, Dolar AS mengalami penurunan tajam terhadap hampir seluruh mata uang utama dunia, mulai dari euro, pound sterling, hingga franc Swiss.
Fenomena ini menjadi indikasi kuat bahwa para pelaku pasar keuangan internasional mulai menjauh dari mata uang yang selama ini dianggap paling dominan di dunia.
Penyebabnya tak lepas dari situasi politik dan kebijakan ekonomi AS di bawah Presiden Donald Trump. Sejak Trump kembali menjabat, nilai tukar dolar telah turun lebih dari 10 persen terhadap sejumlah mata uang utama.
Kebijakan proteksionis seperti kenaikan tarif impor, tekanan terhadap bank sentral, hingga rencana pemotongan pajak besar-besaran dinilai menciptakan ketidakpastian pasar yang mendalam.
Mengutip Bloomberg, pelaku pasar mulai membaca arah kebijakan ekonomi Trump sebagai potensi risiko. Kekhawatiran meningkat ketika ada dugaan bahwa pelemahan dolar mungkin disengaja untuk mendorong daya saing sektor manufaktur.
Kecurigaan ini sempat memicu pelemahan tajam dolar terhadap mata uang Asia, termasuk dolar Taiwan yang sempat menguat 4 persen terhadap dolar AS hanya dalam satu jam.
Di tengah situasi itu, investor asing mulai waspada. Kebutuhan pembiayaan pemerintah AS yang kini menembus USD 4 triliun per tahun sangat bergantung pada investor global.
Namun, jika nilai dolar terus merosot, imbal hasil investasi mereka bisa tergerus saat dikonversi kembali ke mata uang lokal.
“Trump benar-benar bermain api,” ujar Stephen Miller, konsultan dari GSFM di Australia. Ia memperingatkan bahwa pelemahan bertahap dolar bisa berubah menjadi krisis jika investor global mulai menarik dananya.
Sinyal bahwa kepercayaan pada dolar mulai memudar juga terlihat dari data perdagangan. Menurut CFTC, pada pertengahan Juni posisi jual bersih terhadap dolar mencapai USD 15,9 miliar, level yang mencerminkan tekanan bearish dari para spekulan.
Bank of America bahkan mencatat bahwa kepemilikan dolar di kalangan manajer dana global saat ini berada di titik terendah dalam dua dekade.
Lembaga keuangan besar pun mulai merevisi pandangannya terhadap dolar. Morgan Stanley memperkirakan dolar akan anjlok ke level terendah sejak awal pandemi, sementara Goldman Sachs menilai bahwa dolar saat ini masih overvalued hingga 15 persen.
Tekanan ini semakin diperburuk oleh kondisi fiskal AS yang terus memburuk. Moody’s telah menurunkan peringkat utang pemerintah AS pada Mei lalu, seiring defisit yang kini melampaui 6 persen dari PDB. Selain itu, RUU pajak baru yang sedang digodok versi Trump diproyeksi menambah defisit hampir USD 3 triliun dalam satu dekade.
Kondisi ini turut mempengaruhi pasar obligasi. Ketika imbal hasil surat utang AS meningkat, dolar justru tetap melemah. Padahal, secara teori, yield yang tinggi seharusnya menarik dana masuk. Fakta tersebut menandakan bahwa investor mulai meragukan status obligasi AS sebagai aset safe haven.
“Begitu investor global mulai mendiversifikasi aset dari dolar, nilainya akan makin turun. Dan jika itu sudah terjadi, sangat sulit untuk dibalikkan,” ujar Leah Traub, manajer portofolio dari Lord Abbett.