TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Sejumlah fakta baru kembali terungkap dalam sidang kasus dugaan perundungan dan pemerasan kasus di program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip)
Diantaranya soal perintah sembunyikan barang bukti hingga teman Aulia Risma pilih cabut laporan.
Teman Aulia Risma bernama Edo awalnya melaporkan kasus tersebut ke Polda Jateng.
Ia pun menceritakan kronologi dan alasan mencabut laporan.
Baca juga: "Saya Lihat Jasad Dr Aulia Risma Genggam Suntikan" Diah Saksi Kasus PPDS Undip Bongkar Semuanya
"Iya, saya sempat bikin laporan itu kira-kira bulan September atau Oktober (2024) tetapi saya cabut kembali besok atau lusanya," jelas Edo saat menjadi saksi dalam persidangan kasus tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (18/6/2025).
Edo mengaku, mencabut laporannya karena tidak merasa menjadi korban.
Selain itu, dia melakukan pelaporan atas intruksi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Waktu itu, saya dan residen lainnya dipanggil ke ruangan Kasubdit 4 (Ditreskrimum Polda Jateng) bahwa kasus Aulia Risma sudah masuk tindak pidana, Sebagai ASN ada kewajiban melaporkan," terangnya.
Edo awalnya melaporkan kasus itu karena sebagai ASN ada kewajiban melaporkan sesuai ketentuan pasal 108 KUHAP yang menyebutkan setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, atau menjadi korban tindak pidana berhak untuk melaporkan kejadian tersebut.
Kala itu, Edo melaporkan kasus tersebut dengan dugaan perbuatan tidak menyenangkan.
Belakangan, Edo mencabut laporan itu.
Dia berdalih ketika membuat laporan belum bisa berpikir jernih.
"Ibu saya ketika itu masuk ke rumah sakit jadi ketika memberikan keterangan polisi tidak bisa berpikir jernih setelah itu langsung menyusul ibu ke rumah sakit," ungkapnya.
Sebelum mencabut laporan, Edo ternyata bertemu terlebih dahulu dengan tim pengacara dari Undip Semarang.
Edo menyebut, dalam pertemuan itu tidak ada paksaan apapun dari tim hukum Undip.
"Saya mencabut laporan itu karena tidak merasa mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan," paparnya.
Kasus Aulia Risma tetap bisa diproses polisi selepas Ibu Aulia Risma Lestari, Nuzmatun Malinah melaporkan kasus itu ke Polda Jateng pada 4 September 2024.
Kendati begitu, Edo dalam pertanyaan lain yang diajukan oleh Jaksa sempat mengaku mendapatkan tekanan selama mengikuti program PPDS Undip.
Dia dalam angkatannya masuk ke divisi logistik.
Tugas Edo yaitu menyediakan kebutuhan harian seniornya di antaranya harus mengganti galon air yang habis.
"Ya sempat kebingungan harus bereaksi seperti apa (jadi mahasiswa PPDS) namun saya hanya berpatokan ke pasal anestesi (senior selalu benar, junior tidak boleh membantah)," katanya.
Edo mengakui pula sempat mendengarkan curahan hati dari Aulia Risma selama mengikuti program PPDS terutama di semester 1.
Menurut Edo, Aulia sempat cerita soal dimarahi seniornya gegara salah pesanan atau orderan.
"Zahra memarahi almarhumah, dia kambingnya (kakak pembimbing)," terangnya.
Selain Edo, teman seangkatan Risma menceritakan pula kerja-kerja per divisi PPDS angkatan 77.
Saksi Sunu mengatakan, masuk di divisi Transportasi. Tugasnya menyediakan mobil bagi senior.
Dia menyebut, dalam menyediakan mobil minimal bensin harus setengah isi. Bahkan, kalau bisa tank bensin penuh.
Kemudian di dalam mobil harus ada tisu dan makanan.
"Jenis mobil bebas. Mobil digunakan untuk operasional senior ketiga bertugas bukan kepentingan pribadi," katanya.
Selama menjalani program PPDS, dia pernah pula melakukan kesalahan seperti yang dialami almarhumah Risma.
Dampaknya, dia mendapatkan hukuman berdiri, last man (pulang terakhir) dan menambah jadwal daftar jaga.
"Kalau soal salahnya apa, saya lupa," terangnya.
Sementara, saksi Rian mengungkap, masuk sebagai divisi olahraga.
Tugasnya mempersiapkan alat-alat olahraga yang hendak digunakan oleh senior.
Alat-alat itu biasanya sudah ada sebelumnya tinggal menyiapkan.
Tak hanya alat, dia juga harus menyediakan konsumsi untuk kebutuhan olahraga senior.
"Ya selain divisi itu, ada divisi kerohanian untuk menyiapkan pengajian, ada divisi ilmiah betugas mengerjakan PPT (bahan presentasi) bagi senior dan tugas ilmiah senior," ungkapnya.
Rian selama betugas juga pernah melakukan kesalahan.
"Saya pernah dimarahi dibentak dan dibilang anjing, goblok oleh senior, bullying itu ada," tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, Sidang tersebut menghadirkan pula tiga terdakwa meliputi Zara Yupita Azra yang merupakan senior dari korban Aulia Risma Lestari, Kepala Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran (FK) Undip Taufik Eko Nugroho dan Kepala Staf Medis Prodi Anestesiologi FK Undip Sri Maryani.
Dalam sidang kali ini, para kolega dari ketiga terdakwa tampak banyak yang hadir.
Mereka tampak mengobrol dengan ketiga terdakwa.
Sebaliknya, dari pihak korban mendiang Aulia Risma hanya dihadiri oleh Ibunda Risma, Nuzmatun Malinah yang datang sendirian dari Tegal.
Dia tampak mencatat beberapa keterangan dari para saksi.
"Kalau statemen nanti ke pengacara kami ya," katanya seusai sidang. (
Sidang kasus dugaan perundungan dan pemerasan di program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Undip mengungkap soal peran terdakwa Taufik Eko Nugroho dalam memerintahkan mahasiswa untuk menyembunyikan barang bukti.
Perintah itu dilontarkan Taufik selepas kasus kematian Aulia Risma Lestari mahasiswi PPDS Anestesi Undip angkatan 77 viral sehingga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) turun tangan.
Fakta itu terungkap saat saksi Herdaru menyatakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (18/6/2025).
Herdaru merupakan teman satu angkatan Risma dalam program PPDS Undip yang masuk angkatan 77.
"Ada perkataan itu dari Pak Taufik (memberikan alasan handphone hilang atau ganti) kalau ditanya dari tim Kemenkes," ujar Herdaru.
Taufik saat memberikan intruksi tersebut berkapasitas sebagai Kepala Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran (FK) Undip.
Intruksi tersebut muncul karena ada beberapa mahasiswa PPDS Anestesi Undip ada yang sudah dimintai keterangan oleh Kemenkes soal dugaan bullying yang menimpa Risma selama menjalani program PPDS Undip.
"Seingat saya ada beberapa mahasiswa PPDS sudah dipanggil tapi belum semua. Intruksi (dari Taufik) itu keluar," beber Herdaru.
Selain Herdaru, dalam sidang tersebut menghadirkan tiga teman satu angkatan lainnya dari Aulia Risma. Ketiganya meliputi Rian, Edo dan Sunu.
Dua dari tiga saksi tersebut juga membenarkan kondisi yang dialami oleh Herdaru.
"Iya, kami ketika itu dikumpulkan dokter Taufik, semua residen tempatnya di Fakultas kesehatan Undip, Tembalang, saya lupa tanggal dan bulannya tapi selepas surat keputusan Kemenkes (soal kasus Risma) keluar," terangnya.
Kendati ikut pertemuan itu, Edo tidak terlalu memahami intruksi dari Taufik. Dia berdalih tidak terlalu memperhatikan.
Jaksa penuntut umum kemudian mengejar keterangan dari saksi Rian untuk memperjelas peran Taufik dalam rapat persiapan klarifikasi dari Kemenkes.
Rian membenarkan adanya arahan itu. Namun, perintah detailnya tidak terlalu paham.
"Kalau adanya intruksi iya benar. Detailnya saya tidak terlalu paham," ungkap Rian.
Selepas keterangan dari para saksi, Majelis Hakim lantas mempertanyakan kepada Taufik menerima keterangan tersebut atau tidak.
"Saya tidak (keberatan) yang mulia," ucapnya ketika ditanyakan soal keberatan atau tidak soal keterangan itu.
Sidang menghadirkan pula dua terdakwa lainnya meliputi Zara Yupita Azra yang merupakan senior dari korban Aulia Risma Lestari dan Kepala Staf Medis Prodi Anestesiologi FK Undip Sri Maryani.
Dalam sidang kali ini, para kolega dari ketiga terdakwa tampak banyak yang hadir. Mereka tampak mengobrol dengan ketiga terdakwa.
Sebaliknya, dari pihak korban mendiang Aulia Risma hanya dihadiri oleh Ibunda Risma, Nuzmatun Malinah yang datang sendirian dari Tegal.
Dia tampak mencatat beberapa keterangan dari para saksi.
"Kalau statemen nanti ke pengacara kami ya," katanya seusai sidang. (Iwn)