Belanja Online Kian Populer, Perlindungan Hak Konsumen Dinilai Harus Menjadi Prioritas
Hasiolan Eko P Gultom June 20, 2025 12:32 AM

Belanja Online Kian Populer, Tapi Bagaimana dengan Keamanannya?
 

TRIBUNNEWS.COM - Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara masyarakat bertransaksi, termasuk dalam kegiatan jual-beli secara daring.

Platform digital seperti marketplace menawarkan kemudahan bagi pelaku usaha dan konsumen, namun di sisi lain juga membuka celah bagi peredaran produk ilegal dan barang palsu.

Kementerian Perdagangan mencatat sepanjang 2022, lebih dari 37 ribu tautan dihapus karena diduga menjual barang yang tidak memenuhi ketentuan hukum, seperti produk palsu atau tanpa izin edar.

Fenomena ini menunjukkan, meskipun regulasi seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan UU ITE telah tersedia, implementasinya di ranah digital masih menemui tantangan.

Bahkan pada awal 2025, DPR RI mengungkap adanya penjualan mesin judi melalui lapak-lapak daring, tepat ketika pemerintah tengah gencar memberantas praktik perjudian online.

Ini menjadi sinyal kuat bahwa pengawasan terhadap transaksi digital belum sepenuhnya efektif.

Kondisi ini mendorong berbagai pihak untuk lebih aktif menjaga hak-hak konsumen.

Sejumlah perusahaan pernah mengalami langsung dampak pemalsuan produk, baik di toko fisik maupun digital. 

Dalam beberapa kasus, upaya penegakan hukum dan edukasi ke masyarakat dilakukan bersamaan, sebagai bentuk tanggung jawab dalam menciptakan ekosistem belanja online yang aman.

Merespon fakta tersebut, PT Altusnusa Mandiri, selaku distributor Snowman di Indonesia, melihat kalau perlindungan konsumen harus menjadi prioritas.

Sebagai informasi, jenama alias merek Snowman pernah menjadi korban pemalsuan produk, baik offline maupun online

Saat itu mereka melakukan langkah hukum dan edukasi sekaligus untuk menunjukkan komitmen korporasi dalam mendukung gerakan pemberantasan produk palsu.

Bahkan Mei lalu, mereka menangkap langsung penjual produk Snowman palsu di online shop. Hal itu menurut Snowman sebagai bukti bahwa mereka sangat concern menjaga kualitas produk dan melindungi konsumen.
 
Hal itu sebagaimana dikatakan Ronny Wijaya SH MH, penasihat hukum PT Altusnusa.

Ronny Wijaya yang sering menangani isu perlindungan konsumen, menyatakan bahwa perlindungan hak konsumen perlu menjadi prioritas dalam pengembangan ekosistem digital. 

Menurutnya, tindakan penegakan hukum harus dibarengi dengan kampanye edukatif agar masyarakat memahami bahaya produk ilegal serta pentingnya membeli produk yang sah.

Ia menambahkan, “Banyak pelaku usaha kecil sangat terbantu dengan kehadiran marketplace. Konsumen juga diuntungkan dari sisi harga dan pilihan. Namun, tetap diperlukan ketelitian dan kesadaran tinggi agar tidak menjadi korban penipuan atau pembelian produk ilegal.”

Dari sisi konsumen, daya tarik belanja online tak bisa dipungkiri.

Terdapat lima alasan utama yang mendorong pertumbuhan transaksi digital, yakni kemudahan akses, ragam produk yang luas, efisiensi waktu, transparansi melalui ulasan pengguna, dan fleksibilitas waktu belanja. Semua ini mendorong adopsi e-commerce di Indonesia semakin meningkat.

Data Kementerian Perdagangan menunjukkan kalau pada 2023, terdapat sekitar 58,6 juta pengguna e-commerce di Indonesia. 

Angka ini diprediksi akan naik menjadi lebih dari 99 juta pengguna pada 2029.

Dengan potensi sebesar itu, ekonomi digital menjadi salah satu sektor strategis yang mendukung pertumbuhan nasional.

Namun demikian, pertumbuhan tersebut harus diiringi investasi negara dalam bentuk sistem pengawasan dan perlindungan hukum yang kuat bagi konsumen.

Tanpa itu, platform digital bisa menjadi ruang rawan yang disusupi pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.

Ronny menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memastikan kalau marketplace bukan hanya menawarkan kemudahan, tapi juga menjamin keamanan dan kenyamanan bagi konsumen.

 "Marketplace seharusnya menjadi pasar yang menyenangkan, bukan justru menjadi ladang kekhawatiran," katanya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.