Seruan Ganti Rezim Iran Kian Menguat, Gampang Diucap, tapi Sulit Dijalankan
Endra Kurniawan June 20, 2025 02:31 AM

TRIBUNNEWS.COM - Desakan untuk mengganti rezim di Iran semakin keras terdengar, baik dari dalam negeri maupun luar.

Berbagai pakar memperingatkan bahwa pergantian rezim di negara tersebut sangat sulit terwujud.

Hal ini mengingat kuatnya sistem keamanan, perpecahan oposisi dan riwayat kelam campur tangan luar di masa lalu.

Sejarah yang Tak Bersahabat

Sebagian pengamat menyoroti bahwa upaya mengganti pemerintahan dengan intervensi asing sering kali justru membawa kehancuran.

Martin Kettle dari The Guardian menyebut bahwa ide menggulingkan rezim Iran adalah “gagasan indah, tapi hampir mustahil,” mengacu pada kegagalan di Irak, Libya, dan Afghanistan.

“Orang-orang yang mudah berbicara tentang perubahan rezim harus belajar dari sejarah."

"Intervensi Barat jarang menciptakan demokrasi yang stabil,” tulis Kettle, dikutip dari The Guardian, Kamis (19/6/2025).

Oposisi Iran: Beragam, tapi Terpecah

Di tengah tekanan terhadap pemerintahan ulama di Iran, berbagai kelompok oposisi bermunculan.

Di luar negeri, Reza Pahlavi—anak dari Shah Iran yang terguling—secara vokal menyerukan perubahan.

Tetapi, dukungannya di dalam negeri tetap terbatas.

Warga Iran, yang lebih fokus pada ekonomi dan keamanan, masih skeptis terhadap tokoh-tokoh eksil.

Di dalam negeri, aktivis seperti jurnalis Narges Mohammadi dan rapper Toomaj Salehi mewakili wajah perlawanan rakyat.

Represi yang brutal terhadap demonstrasi besar pada 2009 dan 2022 membuat pergerakan sipil terhambat.

Tentara dan Garda Revolusi: Pilar Rezim

Salah satu rintangan utama dalam perubahan rezim di Iran adalah kekuatan militer dan Garda Revolusi Islam (IRGC), yang sangat setia pada pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.

Tanpa restu atau dukungan dari mereka, transisi kekuasaan hampir mustahil terjadi.

Sebagian pakar percaya bahwa bahkan jika revolusi rakyat terjadi, kekuatan militer bisa mengambil alih dan membentuk pemerintahan transisional yang represif—mirip dengan pola di negara-negara lain.

Dunia Internasional: Tidak Satu Suara

Sementara beberapa negara Barat mengutuk keras Iran, lainnya memperingatkan agar tidak mendorong perubahan rezim tanpa rencana pasca-transisi yang matang.

Dalam KTT G7 terbaru, Prancis menolak keras dukungan terhadap pemberontakan militer, sementara Jerman menyebut Iran sebagai “negara sponsor terorisme”, tetapi tetap menghindari dorongan terbuka terhadap perubahan rezim.

“Pengalaman Irak dan Libya menunjukkan bahwa menggulingkan pemimpin tanpa rencana hanya menciptakan kekosongan kekuasaan,” kata analis kebijakan luar negeri Prancis, Jean-Luc Brière.

Risiko Kekosongan Kekuasaan

Kekhawatiran terbesar dari skenario perubahan rezim adalah vacuum kekuasaan. Iran adalah negara multietnis dan multikultur dengan sejarah panjang ketegangan sektarian.

Kekosongan pemerintahan bisa memicu konflik sipil berkepanjangan, seperti yang terjadi di Suriah dan Irak pasca-2003.

“Perubahan sistem di Iran hanya akan berhasil jika berasal dari dalam, melalui tekanan sipil damai dan reformasi bertahap,” kata sejarawan Iran-Amerika, Dr Neda Moaveni, dikutip dari Al Jazeera, Kamis (19/6/2025).

( Andari Wulan Nugrahani)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.