TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat kualitas sumber daya manusia Indonesia. Diluncurkan pada 6 Januari 2025 berdasarkan Perpres Nomor 83 Tahun 2024, Badan Gizi Nasional (BGN) ditunjuk sebagai pelaksana utama program pemenuhan gizi nasional yang menyasar 17,9 juta penerima manfaat ke dalam empat kelompok utama ini.
Program MBG ini dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto sebagai komitmen untuk menghapus kelaparan di Indonesia.
“Tidak boleh ada anak-anak yang menangis karena tidak makan,” ujar Presiden Prabowo dalam acara Bimtek Anggota DPRD PAN Seluruh Indonesia dan Rakornas Pemenangan Pilkada Tahun 2024, di Jakarta, Kamis (9/5/2024).
Dengan target awal 17,9 juta penerima manfaat, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp71 triliun dalam APBN 2025 untuk program ini. Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan, program ini bukan hanya soal makanan gratis, tapi juga strategi dalam memutus rantai kemiskinan. Pasalnya, 70 persen penduduk Indonesia belum mampu mengakses makanan bergizi seimbang.
Rendahnya rata-rata lama sekolah dan skor PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia, tingginya angka stunting, ditambah rata-rata jumlah anggota keluarga per kelas ekonomi, menjadikan program ini sebuah urgensi.
“Kalau kita tidak intervensi dari sekarang, kita bukan dapat bonus demografi, tapi mungkin bencana demografi,” jelas Dadan.
Adapun, empat kelompok prioritas penerima program MBG adalah, 1) peserta didik dari jenjang PAUD hingga SMA/sederajat; 2) anak usia di bawah lima tahun yang masuk dalam periode kritis dalam tumbuh kembang anak; 3) ibu hamil, untuk mencegah komplikasi kehamilan dan stunting; dan 4) ibu menyusui, guna mendukung kualitas ASI dan tumbuh kembang bayi.
Hadirnya MBG ini bertujuan untuk menurunkan angka stunting, memperbaiki pola makan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui pemberdayaan UMKM serta penggunaan bahan pangan lokal.
Program ini akan dilaksanakan secara bertahap di kabupaten/kota yang telah memiliki infrastruktur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), dengan perluasan ke daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) sebagai prioritas selanjutnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, apabila program MBG dijalankan dengan baik sebagai bagian dari belanja APBN 2025 akan memiliki potensi besar dalam meningkatkan kualitas SDM dan mengentaskan kemiskinan.
“Dari sisi fiskal, dengan surplus primer yang terjaga, manajemen utang yang sehat, serta kebijakan efisiensi anggaran, program ini masih aman dan berkelanjutan,” ujar Josua Pardede dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/6/2025).
Saat diluncurkan Januari lalu, program MBG telah menjangkau 570 ribu anak melalui 190 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Hingga Januari 2025, program telah berjalan di 31 provinsi dengan total 238 SPPG.
Pemerintah terus mengawal realisasi program prioritas MBG untuk memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang memadai. Hingga 21 Mei 2025, program ini telah menjangkau 3,97 juta penerima manfaat, termasuk siswa SD hingga SMA, serta ibu hamil. Pelayanan dilakukan melalui 1.386 dapur umum atau SPPG yang tersebar di berbagai wilayah.
Menurut Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara target penerima MBG tahun ini pun telah meningkat menjadi 82,9 juta orang pada kuartal IV-2025.
“Pemerintah pun telah menyiapkan tambahan anggaran hingga Rp100 triliun melalui APBN untuk memastikan program ini berjalan optimal sesuai target yang ditetapkan,” jelas Suahasil.
Kementerian Keuangan memastikan anggaran MBG tetap dialokasikan di tahun-tahun mendatang. Pada 2026, program ini tetap menjadi prioritas nasional dalam Program Hasil Terbaik Cepat, sesuai dengan Asta Cita Presiden Prabowo. Selain itu, target jumlah penerima juga akan ditentukan berdasarkan hasil pemantauan dan kesiapan infrastruktur.
Badan Gizi Nasional (BGN) memiliki peranan penting dalam memastikan kecukupan gizi MBG lewat penetapan standar komposisi gizi. Pada prosesnya, ahli gizi akan menyusun standar menu bulanan sesuai komposisi gizi yang ditetapkan, yang kemudian diolah dan didistribusikan oleh SPPG.
“Di setiap satuan pelayanan wajib ada satu ahli gizi yang meracik menu dengan komposisi gizi yang sama. Menunya disesuaikan dengan selera setempat dan dengan sumber daya lokal yang tersedia. Jadi, yang kami (BGN) tetapkan (adalah) standar komposisi gizinya, bukan standar menu,” ungkap Dadan.
Makanan yang diberikan pun harus memenuhi standar gizi seimbang, yakni mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Sedangkan, untuk aspek pemantauan dan evaluasi, program MBG ini memiliki sistem untuk memantau status gizi kelompok secara berkala.
Selain mendistribusikan makanan bergizi, peran BGN dalam program MBG ini juga mencakup sosialisasi edukasi gizi kepada masyarakat melalui pelatihan, media sosial, dan penyuluhan.
Guna mempercepat pembangunan serta operasional SPPG, di samping menggunakan alokasi anggarannya sendiri, BGN juga berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti Pemda, Kementerian/Lembaga, BUMN, TNI, dan pihak swasta.
Program MBG tak hanya memberi manfaat bagi empat kelompok sasaran utama, tapi juga pada sektor ekonomi dengan melibatkan UMKM dan petani lokal sebagai penyedia bahan pangan. Pemerintah pun menggandeng Kementerian Desa dan Kemenkop UKM agar BUMDes dan koperasi bisa menjadi bagian dari rantai pasok program.
Bahkan, program MBG ini juga menjadi motor penggerak ekonomi desa, salah satunya SPPG di Warungkiara, Sukabumi, yang berhasil menjalin kemitraan dengan petani dan peternak lokal serta memanfaatkan kembali lahan pertanian yang sebelumnya tak produktif.
Dengan menggunakan bahan baku yang banyak berasal dari produk pertanian lokal, program MBG ini berpotensi meningkatkan produktivitas daerah melalui pemberdayaan lahan, petani, peternak, dan nelayan lokal, UMKM, serta penyerapan tenaga kerja dari masyarakat di sekitar SPPG.
Presiden Prabowo dalam penyerahan DIPA dan TKD 2025 pada Desember 2024 lalu menyebutkan, program ini bisa meningkatkan peredaran uang di desa hingga Rp8 miliar per desa per tahun dan berpotensi mendongkrak perekonomian daerah.
“Kita ingin program ini tidak hanya sebagai investasi SDM jangka panjang, tapi juga membangkitkan ekonomi daerah,” tegas Dadan.
Josua pun menilai, program MBG ini memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, terutama jika program ini melibatkan UMKM dan petani lokal dalam rantai pasok bahan makanan bergizi.
“Realisasi seperti pembelian gabah, beras, dan komoditas pangan lain dengan volume tinggi yang diserap melalui BULOG mencerminkan dukungan pada petani lokal, menjaga stabilitas harga sekaligus meningkatkan pendapatan petani,” ujar Josua.
Josua menyebut, melibatkan UMKM dan petani lokal di rantai pasok akan memperkuat dampak ekonomi lokal sehingga menciptakan siklus ekonomi yang inklusif. Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada validitas data, transparansi distribusi, pengawasan ketat, serta koordinasi lintas sektor.
“Pemerintah harus mewaspadai risiko inefisiensi agar program ini benar-benar menjadi investasi produktif, bukan sekadar belanja sosial yang berdampak jangka pendek. Dengan demikian, MBG bisa menjadi tonggak pembangunan nasional yang komprehensif, responsif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di tengah dinamika ekonomi global yang penuh tantangan,” pungkas Josua. (*)