Tak Cukup Miskin untuk Dibantu, Tak Cukup Mampu untuk Bertahan
Rifdah Najwa Luthfiyah June 20, 2025 06:20 PM
Ketika mendengar kata “beasiswa”, sebagian besar orang langsung membayangkan anak-anak dari keluarga tidak mampu yang berhasil kuliah karena bantuan negara. Tapi ada satu kelompok yang jarang sekali masuk dalam percakapan: kami yang berada di tengah-tengah. Tidak miskin menurut data, tapi juga tidak cukup mampu untuk bertahan sendiri.
Kami bukan dari keluarga pejabat. Bukan pula dari kalangan konglomerat. Ayah kami PNS golongan rendah. Ibu kami guru honorer, pedagang keliling, atau ibu rumah tangga. Kami tidak terlihat susah, tapi kami juga tidak bisa dengan mudah membayar biaya pendidikan. Gaji tetap orang tua kami seringkali menjadi penghalang mendapatkan bantuan, meskipun kenyataannya uang itu habis hanya untuk kebutuhan hidup bulanan yang makin mahal.
Sayangnya, sistem beasiswa di Indonesia seperti melihat kehidupan dari angka, bukan dari realita. Kami dianggap tidak layak dibantu, karena gaji orang tua "terlalu besar" untuk dianggap miskin. Padahal, kami tahu sendiri betapa susahnya menyambung biaya kuliah dari bulan ke bulan.
Tidak Cukup Miskin, Tapi Jelas Tak Mampu
Salah satu realita yang sering kami alami adalah penolakan beasiswa karena status pekerjaan orang tua. Jika orang tua kami adalah PNS, guru, atau pegawai tetap, maka otomatis dianggap mampu.
Padahal nyatanya, tidak semua PNS hidup nyaman. Banyak di antara mereka yang bahkan tidak bisa membiayai pendidikan anaknya tanpa berutang. Gaji pas-pasan, potongan sana-sini, tunjangan yang tidak selalu cair, dan kebutuhan hidup yang terus meningkat, itu semua kenyataan yang jarang dimuat dalam formulir pengajuan beasiswa.
Status pekerjaan bukan cermin pasti kesejahteraan.
Kami anak-anak dari keluarga yang “tampak stabil” tapi diam-diam hidup dalam tekanan finansial.
Sistem yang Tidak Menyentuh Akar
Menurut data BPS, garis kemiskinan nasional pada 2023 adalah Rp550.458 per kapita per bulan. Artinya, dalam keluarga beranggota 4 orang, jika penghasilan lebih dari Rp2,2 juta per bulan, maka dianggap “tidak miskin”. Tapi bagaimana mungkin menyekolahkan anak ke universitas dengan biaya kos, makan, UKT, transport, modul, dan pulsa internet hanya dengan penghasilan sebesar itu?
Sistem ini melahirkan ilusi bahwa semua baik-baik saja, padahal kenyataan di lapangan sangat berbeda.
Banyak dari kami harus kuliah sambil bekerja. Ada yang menjadi guru les, admin online shop, atau buka jasa desain dan konten. Kami tidak ingin mengeluh, kami hanya ingin dipahami. Bahwa perjuangan kami juga valid, bahwa kami pun berhak atas bantuan, meskipun kami tidak punya surat miskin atau slip gaji nol rupiah.
Kami sering merasa diabaikan dalam sistem. Beasiswa diarahkan untuk yang “sangat miskin”, dan yang punya koneksi bisa mendapatkannya lewat jalur lain. Sementara kami yang di tengah-tengah, selalu terlewat.
Kami tidak ingin mengeluh karena tak dapat bantuan, tapi rasanya tidak adil jika kami dianggap tidak layak hanya karena gaji orang tua kami lewat sedikit dari ambang batas.
Haruskah Kami Menyerah?
Kami tidak ingin menyalahkan sistem sepenuhnya. Tapi kami berharap negara dan lembaga pendidikan mulai membuka mata terhadap ketimpangan baru ini yang tidak kasat mata, tapi sangat nyata.
Sudah saatnya kebijakan beasiswa tidak hanya melihat angka, tapi juga mempertimbangkan beban riil dan latar belakang ekonomi yang lebih kompleks. Harus ada ruang bagi anak-anak dari keluarga PNS golongan rendah, guru honorer, dan karyawan biasa yang sesungguhnya hidup pas-pasan, meski tak tercatat sebagai keluarga miskin.
Kami tidak cukup miskin untuk dibantu, tapi jelas tak cukup mampu untuk bertahan sendiri.
Kami ingin belajar tanpa dihantui rasa bersalah karena membebani orang tua. Kami ingin menjadi bagian dari perubahan, dari ilmu, dari harapan. Tapi kami tak bisa melakukannya sendirian.