Flexing di Media Sosial: Antara Motivasi dan Perangkap Harga Diri
GH News June 22, 2025 04:04 PM

TIMESINDONESIA, BALI – Di era digital yang serba cepat ini, media sosial telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar platform komunikasi; ia adalah panggung raksasa tempat miliaran individu memerankan versi terbaik dari diri mereka. 

Fenomena yang paling mencolok dan sering menjadi perdebatan adalah flexing, sebuah tindakan memamerkan kekayaan, kesuksesan, atau gaya hidup mewah kepada khalayak ramai. 

Sekilas, flexing tampak seperti ekspresi diri yang polos, namun di balik kilauan unggahan dan deretan tanda suka, tersimpan pertanyaan fundamental: apakah flexing benar-benar berfungsi sebagai pemicu motivasi yang sehat, atau justru sebuah perangkap harga diri yang berbahaya?

Bagi sebagian orang, flexing adalah bentuk motivasi visual. Melihat teman, kenalan, atau bahkan selebritas memamerkan pencapaian mereka bisa jadi pemicu untuk bekerja lebih keras, mengejar impian, dan meraih kesuksesan serupa. 

Unggahan tentang liburan mewah, gadget terbaru, atau karier yang cemerlang dapat menumbuhkan ambisi, memicu semangat kompetitif yang positif, dan memberikan gambaran konkret tentang apa yang bisa dicapai. 

Dalam konteks ini, flexing dapat diibaratkan sebagai papan visi digital, di mana orang lain secara tidak langsung menjadi inspirasi untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencapai tujuan finansial atau profesional. 

Ini adalah sisi positif dari flexing, yang menekankan bahwa aspirasi dapat dipupuk melalui paparan terhadap "kemewahan" yang dicapai orang lain, mendorong individu untuk melangkah keluar dari zona nyaman mereka dan berjuang demi tujuan yang lebih tinggi.

Di balik narasi motivasi yang memukau, tersembunyi sisi lain dari flexing yang jauh lebih kompleks dan seringkali merugikan, yakni perangkap harga diri. Ketika media sosial dipenuhi dengan gambaran kesuksesan yang "sempurna", tanpa konteks perjuangan atau kegagalan yang menyertainya, muncul standar yang tidak realistis. 

Individu yang secara konstan terpapar konten flexing cenderung membandingkan diri mereka dengan apa yang mereka lihat, seringkali lupa bahwa yang ditampilkan hanyalah puncak gunung es dari kehidupan seseorang. 

Perbandingan sosial yang tidak sehat ini dapat mengikis harga diri, memicu perasaan tidak cukup, iri hati, dan kecemasan. Seseorang mungkin merasa tertekan untuk "mengejar ketertinggalan" atau bahkan memalsukan citra kesuksesan demi validasi sosial, padahal kenyataannya mereka sedang berjuang secara finansial atau emosional.

Lebih jauh, flexing bisa menjadi sebuah siklus validasi diri yang tak berkesudahan. Keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan kekaguman dari orang lain menjadi motivasi utama di balik setiap unggahan. Semakin banyak "likes" dan komentar positif yang diterima, semakin tinggi pula dopamin yang dilepaskan, menciptakan ketergantungan pada validasi eksternal. 

Ironisnya, ketergantungan ini justru menjauhkan individu dari sumber harga diri yang sejati, yang seharusnya datang dari internal. Ketika nilai diri diukur berdasarkan respons media sosial, identitas seseorang menjadi rentan terhadap fluktuasi opini publik, menyebabkan kecemasan yang konstan dan ketidakmampuan untuk merasa puas dengan pencapaian diri sendiri tanpa adanya tepuk tangan dari audiens daring. 

Individu mungkin mulai mengidentifikasi nilai diri mereka dengan barang-barang material atau pengalaman yang dipamerkan, alih-alih pada karakter, kemampuan, atau hubungan pribadi yang lebih mendalam.

Selain itu, flexing juga dapat memicu budaya konsumerisme yang berlebihan. Dorongan untuk "memiliki" barang-barang terbaru atau "mengalami" liburan paling eksotis demi konten media sosial dapat mendorong pengeluaran yang tidak bijaksana, bahkan menyebabkan utang. 

Alih-alih investasi jangka panjang atau keamanan finansial, fokus bergeser pada gratifikasi instan dan citra superficial. Tekanan untuk mempertahankan "fasad" ini bisa sangat melelahkan, baik secara mental maupun finansial, dan pada akhirnya justru merusak harga diri karena ketidakmampuan untuk hidup sesuai dengan gambaran yang diproyeksikan. 

Ini menciptakan jurang antara realitas hidup seseorang dan narasi yang dibangun di media sosial, yang pada gilirannya dapat memicu stres, kecemasan, dan bahkan depresi.

Pada akhirnya, batas antara motivasi dan perangkap dalam fenomena flexing sangatlah tipis. Meskipun ada potensi inspirasi dari melihat kesuksesan orang lain, risiko terhadap harga diri jauh lebih besar ketika fokus bergeser dari pencapaian pribadi menjadi validasi eksternal. 

Penting bagi kita untuk mengembangkan literasi media sosial yang kuat, menyadari bahwa apa yang kita lihat hanyalah sebagian kecil dari cerita, dan tidak membiarkan standar hidup orang lain mendikte nilai diri kita. 

Harga diri sejati tidak dibangun dari jumlah "likes" atau nilai barang yang dipamerkan, melainkan dari integritas, ketahanan, dan kemampuan untuk mencintai diri sendiri apa adanya. 

Saatnya kita bertanya, apakah pamer di dunia maya benar-benar membuat kita lebih kaya secara batin, atau justru memiskinkan jiwa kita dalam pengejaran validasi yang fana?

***

*) Oleh : Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP N 1 Banjar Seririt Bali.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.