TIMESINDONESIA, JAWA TENGAH – Indonesia tengah memasuki babak baru dalam lanskap kebijakan pendidikan nasional. Dengan terpilihnya Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka untuk periode 2024–2029, publik menantikan arah baru yang akan diambil pemerintah dalam menjawab tantangan pendidikan yang kian kompleks.
Di tengah gelombang transformasi digital, disrupsi teknologi, hingga kompetisi global tenaga kerja, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana arah kebijakan pendidikan nasional ke depan, dan di mana posisi pesantren dalam ekosistem tersebut?
Selama dua dekade terakhir, reformasi pendidikan di Indonesia telah menempuh banyak jalur, dari desentralisasi pendidikan, perluasan akses, hingga penekanan pada mutu dan relevansi.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan kualitas antarwilayah, rendahnya literasi dasar, dan belum optimalnya penyiapan generasi muda menghadapi era disrupsi. Sementara itu, satu lembaga pendidikan khas Indonesia terus menunjukkan resiliensinya: pesantren.
Dengan jumlah yang melebihi 41.200 unit dan santri yang mencapai jutaan jiwa (data Kemenag 2024), pesantren bukan hanya lembaga pendidikan keagamaan, tetapi juga pilar sosial yang menampung, membina, dan membentuk karakter anak bangsa, terutama di daerah-daerah yang jauh dari akses pendidikan formal yang memadai.
Peran pesantren di masa depan tidak bisa berhenti pada fungsi tradisional semata. Ia harus bertransformasi: menjadi aktor utama dalam menyiapkan generasi unggul, adaptif, dan relevan dengan kebutuhan nasional maupun global.
Arah kebijakan pendidikan Presiden Prabowo Subianto hingga saat ini belum dituangkan secara komprehensif dalam dokumen resmi. Berbagai pidato dan narasi kampanyenya menunjukkan komitmen pada penguatan kualitas SDM, peningkatan akses teknologi, serta perhatian pada pendidikan karakter dan moralitas kebangsaan. Dalam konteks ini, pesantren memiliki posisi strategis, sekaligus tantangan besar.
Pesantren memiliki keunggulan dalam pembentukan karakter, kedisiplinan spiritual, dan ketahanan sosial. Di saat lembaga pendidikan formal sibuk mengejar kurikulum dan angka kelulusan, banyak pesantren tetap menjaga integritas pendidikan yang berbasis nilai, adab, dan pengabdian.
Inilah modal sosial yang sangat berharga di tengah krisis etika dan integritas di berbagai sektor kehidupan publik. Namun, keunggulan ini harus ditopang dengan kesiapan intelektual dan keterampilan abad 21. Karakter kuat saja tidak cukup tanpa literasi digital, kemampuan komunikasi global, dan pemahaman terhadap perubahan zaman.
Perubahan yang dibutuhkan bukan hanya pada kurikulum, tetapi juga tata kelola. Banyak pesantren masih menghadapi kendala manajerial, pendanaan, serta keterbatasan akses terhadap pelatihan guru dan bahan ajar mutakhir.
UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sebenarnya sudah memberikan kerangka hukum yang menjamin pengakuan dan pendanaan negara terhadap pesantren. Namun implementasinya masih parsial dan belum sepenuhnya menyentuh aspek penguatan kelembagaan.
Ke depan, pemerintah perlu memastikan bahwa dana abadi pesantren, pelatihan tenaga pengajar, serta kemitraan dengan dunia usaha dan teknologi benar-benar sampai ke pesantren di lapisan akar rumput.
Langkah lain yang penting adalah memperluas konektivitas antara pesantren dan sistem pendidikan nasional. Tidak sedikit pesantren yang telah memadukan kurikulum diniyah dengan pendidikan formal umum. Bahkan, beberapa telah membuka SMK pesantren, madrasah teknologi, hingga program digitalisasi.
Ini adalah inisiatif-inisiatif yang harus diapresiasi dan direplikasi. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi pesantren yang berinovasi, tanpa harus mengorbankan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan berbasis nilai-nilai keislaman.
Dalam menghadapi masa depan, pesantren juga perlu menjalin kolaborasi strategis dengan lembaga pendidikan tinggi, sektor industri, dan lembaga riset. Program pemagangan santri di perusahaan, pertukaran pelajar ke luar negeri, hingga pelatihan AI dan coding untuk santri adalah hal yang sudah mulai dilakukan di beberapa tempat, dan seharusnya menjadi kebijakan nasional.
Pendidikan global tidak hanya tentang bahasa asing atau akses ke kampus luar negeri, tetapi juga tentang kemampuan menghadapi perubahan dengan integritas dan kompetensi yang seimbang.
Kita tidak bisa berharap pada pesantren untuk berubah sendiri tanpa dukungan sistemik. Negara perlu membangun mekanisme yang adil dan adaptif bagi ekosistem pesantren.
Misalnya, dengan mengembangkan skema akreditasi yang menghargai kekhasan pesantren, memperluas akses pesantren terhadap beasiswa LPDP, serta membangun pusat riset pesantren berbasis data yang kuat.
Tidak kalah penting, pesantren juga perlu memperbarui paradigma pendidikannya dari sekadar transmisi pengetahuan ke transformasi santri sebagai agen perubahan. Santri masa depan bukan hanya ustadz atau kyai, tetapi juga ilmuwan, teknokrat, pebisnis, hingga diplomat.
Untuk itu, kurikulum pesantren perlu memasukkan literasi sains, logika, ekonomi, teknologi digital, dan bahkan isu-isu global seperti perubahan iklim dan keadilan sosial. Dengan begitu, santri tidak hanya hafal kitab, tetapi juga melek dunia dan siap menjadi pemimpin di berbagai lini kehidupan.
Dalam narasi besar pembangunan nasional, pesantren tidak bisa diletakkan sebagai pelengkap atau simpul kultural semata. Ia adalah bagian penting dari arsitektur pendidikan bangsa. Lebih jauh, ia bisa menjadi jangkar moral dan pusat inovasi sosial yang menjembatani nilai-nilai keislaman dengan tantangan zaman.
Ketika dunia pendidikan formal dihadapkan pada krisis arah, pesantren justru bisa menjadi sumber inspirasi: bahwa pendidikan bukan hanya soal prestasi akademik, tetapi tentang penumbuhan manusia seutuhnya.
Tentu, tidak semua pesantren akan siap bergerak secepat itu. Sebagian masih akan berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Tapi di sinilah pentingnya arah kebijakan yang berpihak dan berpandangan jauh ke depan.
Presiden Prabowo dan tim pendidikannya ditantang untuk menjadikan pesantren bukan hanya sebagai objek bantuan, tetapi subjek transformasi pendidikan nasional. Sebab jika diberdayakan dengan sungguh-sungguh, pesantren dapat menjadi kekuatan sosial yang luar biasa membentuk generasi unggul yang cerdas secara intelektual, tangguh secara spiritual, dan berdaya saing secara global.
Kebijakan pendidikan Indonesia ke depan harus menjawab dua hal sekaligus: memperbaiki kualitas secara sistemik dan mengakui keberagaman model pendidikan yang hidup di masyarakat. Pesantren adalah bukti bahwa pendidikan bisa tumbuh dari akar, membentuk karakter, dan tetap relevan dengan dunia modern.
Maka masa depan pendidikan Indonesia haruslah juga menjadi masa depan bagi pesantren, sebagai ruang tumbuhnya manusia Indonesia yang utuh, merdeka, dan bermartabat.(*)
***
*) Oleh : Kholid Abdillah, Ketua DPW Garda Bangsa Jawa Tengah, Anggota Komisi A DPRD Jateng dari PKB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.