TRIBUNJATIM.COM - Kasus penipuan dengan modus janjikan warga jadi PNS terjadi di Kota Cilegon, Banten.
Seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Cilegon, Banten, bernama Syauki dan Muhtar Bahri telah ditangkap.
Kedua pelaku menipu belasan warga hingga rugikan Rp 700 juta.
Cara culas mereka terungkap.
Diketahui, Syauki dituntut hukuman penjara tiga tahun dan Muhtar dituntut dua tahun penjara atas penipuan ini.
"Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan sebagaimana Pasal 378 Jo Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)," ujar Jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilegon, Risky Khairullah di Pengadilan Negeri Serang, Kamis (19/6/2025).
Dalam pertimbangannya, jaksa menyebutkan, tindakan terdakwa telah menimbulkan kerugian bagi korban serta meresahkan masyarakat.
"Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan, terdakwa mengakui perbuatannya," tambah Risky.
Menanggapi tuntutan tersebut, Syauki mengaku menyesali perbuatannya dan berjanji akan mengembalikan uang yang telah diambil.
"Saya memohon maaf kepada korban, dan menyesali perbuatan yang saya lakukan. Mau saya kembalikan, tapi ditolak," ungkapnya.
Melansir dari Kompas.com, aksi penipuan ini bermula pada Sabtu (18/9/2025), ketika seorang korban bernama Shadid bertemu Muhtar di Kantor Federasi Serikat Pekerja Kima Energi dan Pertambangan.
Shadid saat itu sedang mencari lowongan pekerjaan untuk anaknya.
Muhtar, yang mengaku bekerja di Kantor Urusan Agama (KUA) Cilegon, menawarkan kesempatan untuk menjadi PNS dengan biaya sebesar Rp70 juta, di mana korban harus membayar uang muka sebesar Rp35 juta.
Pada 23 September 2021, Shadid menyerahkan uang muka tersebut kepada Muhtar, yang kemudian membuat bukti transaksi berupa kuitansi.
Seiring berjalannya waktu, Muhtar memperkenalkan Syauki kepada Shadid, yang kemudian meminta uang tambahan sebesar Rp20 juta dengan janji bisa memasukkan anak-anak korban menjadi PNS.
Syauki mengeklaim dapat memasukkan orang menjadi PNS dengan biaya Rp60 juta per orang dan memiliki kuota untuk lima orang.
Akibatnya, Shadid mengajak beberapa korban lain, seperti Hayani dan Kasmin, sehingga total kerugian mencapai Rp100 juta.
Untuk meyakinkan para korban, Syauki bahkan memperlihatkan foto Surat Keputusan Pengangkatan CPNS yang telah diedit.
Namun, meskipun telah menunjukkan dokumen tersebut, para korban tak kunjung dilantik menjadi PNS di Kemenag Cilegon.
Merasa ditipu, mereka akhirnya melaporkan Muhtar dan Syauki ke Polres Cilegon.
Dalam kasus lain, seorang ibu bernama Masrikah rugi Rp 225 juta demi anaknya jadi pegawai kantor pos.
Wanita berusia 53 tahun itu berasal dari Desa/Kecamatan Ngantru, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Marikah melaporkan FHN, seorang perempuan warga Desa Kendalbulur, Kecamatan Boyolangu, karena mengaku telah ditipu.
Modusnya, FHN menjanjikan bisa memasukkan anak Masrikah menjadi pegawai kantor pos Tulungagung.
"Kami sudah membuat laporan ke Polres Tulungagung pada 22 Juni lalu," ujar penasihat hukum Masrikah, Fitri Erna pada Rabu (4/6/2025).
Menurut Fitri, kasus ini bermula di tahun 2021, ketika FHN menawarkan pekerjaan sebagai pegawai kantor pos untuk PR, anak Masrikah.
Masrikah awalnya kurang berminat, namun FHN datang ke rumahnya terus membujuknya.
Masrikah akhirnya sepakat, lalu FHN minta uang Rp 50 juta sebagai persyaratan dan mengurus administrasi.
"Saat itu FHN minta uang tali istilahnya. Klien kami membayar Rp 20 juta," sambung Fitri.
Esoknya Masrikah kembali membayar Rp 5 juta lewat transfer antar rekening.
Selanjutnya pembayaran dilakukan bertahap hingga genap Rp 50 juta.
Namun setelah uang yang disyaratkan lunas dibayar, PR tidak kunjung bekerja.
FHN malah minta tambahan uang jaminan agar anak Masrikah bisa diterima sebagai pegawai kantor pos.
Uang jaminan ini akan dikembalikan seutuhnya setelah PR bekerja.
Masrikah kembali menyerahkan uang kepada FHN secara bertahap, hingga totalnya Rp 310 juta.
"Masih di tahun 2021, FHN menyerahkan 4 jenis kain seragam kantor pos, sama petunjuk menjahitkan seragam. Ada yang oranye, abu-abu sama kain batik khas Tulungagung," jelas Fitri.
Setelah kain seragam itu dijahitkan, ternyata PR juga tidak kunjung kerja.
FHN kembali menghubungi, menyatakan PR sudah bisa bekerja namun terkendala pandemi Covid-19.
Karena kondisi pandemi, PR disuruh bekerja namun di bagian lapangan.
Pada hari kerja, PR disuruh berangkat dari rumah, namun tidak ke kantor pos, melainkan disuruh menunggu di sebuah warung kopi atau warkop.
Alasannya, nanti jika ada perintah PR akan dipanggil untuk mengerjakan tugas.
Setelah beberapa Minggu, PR menerima uang Rp 1.200.000 dari Hesti yang disebut sebagai gaji pertamanya.
"Karena setiap hari ngantor di warung kopi, akhirnya anak pelapor ini tidak mau meneruskan. Pelapor mau supaya uangnya dikembalikan semua," tutur Fitri.
FHN sanggup mengembalikan dengan cara diangsur, dimulai dari Rp 10 juta.
Selanjutnya Masrikah menerima pengembalian dengan nominal kecil, mulai Rp 1 juta, bahkan Rp 500.000 hingga terkumpul Rp 70 juta.
Setelah itu tidak ada pengembalian lagi sehingga Masrikah minta pendampingan hukum kepada Fitri.
Sempat terjadi mediasi hingga ada tambahan pengembalian Rp 15 juta, hingga total pengembalian menjadi Rp 85 juta.
Karena tidak ada pengembalian lagi, Masrikah memilih membuat laporan ke Polres Tulungagung.
Masih menurut Fitri, kliennya masih mengalami kerugian Rp 225 juta.
"Laporan pidananya masih berjalan, kami juga berencana menggugat secara perdata. Sementara kami masih konsentrasi untuk gugatan pidananya," tegas Fitri.
Sebelumnya Fitri juga melaporkan FHN dengan kasus serupa, dugaan penipuan dengan modus bisa memasukkan ke Dinas Perhubungan.
Namun saat mediasi, FHN mengembalikan kerugian korban sebesar Rp 85 juta.
Informasi yang didapat di internal Polres Tulungagung, FHN telah dipanggil untuk dimintai keterangan.