TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pasar global bersiap menghadapi gejolak saat perdagangan kembali dibuka menyusul serangan militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran.
Para investor memperkirakan reaksi pasar akan "panas", terutama di sektor energi, dengan harga minyak mentah diproyeksikan melonjak tajam.
Harga minyak mentah Brent saat ini tercatat sebesar USD 79,04 per barel, naik sekitar 20 persen dalam sebulan terakhir.
Menurut proyeksi yang dirilis JPMorgan, dalam skenario terburuk, harga minyak bisa melonjak hingga mendekati USD 130 per barel atau setara dengan kurs rupiah saat ini yakni Rp 1,9 juta hingga Rp 2,1 juta (Rp 16.200 per dolar AS).
"Harga minyak akan naik," ujar Mark Spindel, analis dari Potomac River Capital. Ia menyoroti ketidakpastian terkait respons lanjutan Iran serta skala kerusakan fasilitas strategis yang diserang AS.
Selain risiko energi, Spindel mengingatkan bahwa lonjakan harga minyak juga bisa mendorong kenaikan inflasi global yang signifikan.
Situasi ini berpotensi mengikis kepercayaan konsumen dan menekan daya beli masyarakat.
"Inflasi yang tinggi akan mempersulit The Fed untuk memangkas suku bunga," jelasnya, mengacu pada tekanan terhadap bank sentral AS di tengah ekonomi yang telah lebih dulu terdampak tarif dagang era Presiden Donald Trump.
Ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah juga diperkirakan akan memperburuk volatilitas di pasar global, terutama pada komoditas energi, emas, serta nilai tukar negara-negara berkembang.
Dalam konteks ini, pelaku pasar dan pemerintah di seluruh dunia kini menanti reaksi lanjutan dari Iran dan sekutu regionalnya.
Eskalasi lebih lanjut dapat memperparah gangguan pasokan minyak dari kawasan Teluk, yang menyumbang hampir sepertiga dari pasokan energi dunia.
Tak hanya minyak mentah, harga produk turunan seperti solar dan avtur juga meningkat pesat. Di Eropa, harga jet fuel melonjak 45 persen, sementara harga solar naik 60 persen akibat kekhawatiran pasokan terganggu dari Timur Tengah.
Goldman Sachs menyatakan bahwa lonjakan harga energi ini berpotensi menambah tekanan inflasi global, terutama di negara-negara yang sangat bergantung pada impor energi seperti negara-negara Eropa dan Asia.
Sementara itu analis JP Morgan memperingatkan investor untuk waspada lantaran pasar akan tetap berfluktuasi dalam beberapa minggu kedepan, tergantung pada respons Iran dan arah kebijakan luar negeri AS serta sekutu-sekutunya.
Pemicu utama lonjakan harga minyak akhir pekan ini yaitu serangan Amerika Serikat ke fasilitas nuklir Iran.
Serangan ini membuat situasi politik dan keamanan di Timur Tengah memanas.
Iran pun mengancam akan membalas, termasuk dengan menutup Selat Hormuz, jalur laut penting tempat seperlima minyak dunia melewati setiap hari.
Di mana setiap harinya, lebih dari 20 juta barel minyak mentah melewati selat ini. Minyak itu berasal dari negara-negara seperti Arab Saudi, Kuwait, UEA, Irak, dan Iran sendiri, lalu dikirim ke Asia, Eropa, dan Amerika.
Walaupun belum ada blokade resmi di Selat Hormuz, namun ancaman penutupan itu sudah cukup membuat pasar panik. Jika selat itu ditutup, maka jutaan barel minyak tidak bisa dikirim ke negara-negara pembeli seperti Tiongkok, India, Jepang, dan negara-negara Eropa.
Akibatnya, pasokan menjadi terbatas, sementara permintaan tetap tinggi hal inilah yang membuat harga minyak melonjak.
Selain itu lonjakan harga energi akan menimbulkan inflasi tinggi, mengganggu stabilitas ekonomi global, dan memicu gejolak pasar keuangan.
Bursa saham dunia diprediksi mengalami tekanan besar, sementara nilai tukar negara berkembang bisa melemah akibat sentimen negatif investor.
Perusahaan pelayaran internasional kemungkinan akan mengalihkan rute atau menunda pengiriman, memperparah gangguan pada rantai pasokan global.
“Selat Hormuz adalah leher botol sistem energi global. Jika ditutup, efeknya akan langsung terasa di pom bensin dari Jakarta hingga London,” ujar James Martens, analis energi dari Global Risk Insights. (*)