Pakar Siber Ahmad Faizun Sarankan Indonesia Punya Aset Teknologi Berdaulat, Ini Alasannya
Eko Sutriyanto June 22, 2025 10:32 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perang dunia di era modern tidak lagi ditandai oleh dentuman bom atau invasi militer bersenjata. 

Medan tempur kini bergeser ke dunia maya, di mana serangan siber, spionase ekonomi, dan sabotase digital dapat melumpuhkan negara dalam senyap.

Terkait hal itu, aakar keamanan siber Ahmad Faizun menyampaikan peringatan tegas kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto agar segera menempatkan investasi pada teknologi berdaulat sebagai prioritas utama kebijakan nasional.

“Ancaman saat ini tidak lagi datang secara konvensional, tetapi hadir melalui jaringan digital yang bisa menyerang jantung perekonomian dan infrastruktur tanpa satu pun peluru dilepaskan,” ujar Faizun dalam keterangan yang diterima, Minggu (22/6/2025).

Faizun mendorong pemerintah supaya mempertimbangkan pengeluaran pertahanan sekaligus dapat menjadikannya sebagai investasi dengan dampak ganda.


Menurut dia, keamanan siber bukan lagi sekadar pos pengeluaran dalam anggaran negara. Namun, keamanan siber harus diposisikan ulang sebagai investasi strategis dalam fondasi ekonomi masa depan.

Menurutnya, langkah ini jalan untuk mengubah kerentanan menjadi kekuatan, dan ancaman jadi peluang ekonomi.

"Inilah satu-satunya arsitektur pertahanan yang relevan dan berkelanjutan untuk mengamankan posisi Indonesia sebagai negara yang benar-benar berdaulat di era digital," ucap Faizun.

Lebih lanjut Faizun mengatakan medan perang konvensional yang dibatasi secara geografis kini telah berubah menjadi teater digital tanpa batas.

"Data sebagai wilayah baru dan jaringan adalah infrastruktur yang paling penting dan rentan," jelasnya.


Faizun mengatakan, konflik global yang ditandai dengan perang dagang AS-Tiongkok, invasi mendadak Rusia ke Ukraina, hingga memanasnya konflik Iran dan Israel serta potensi eskalasi di sejumlah wilayah lain, telah memicu jenis Perang Dunia baru.


Melihat hal itu, Faizun menyerukan pemerintah merancang ulang seluruh paradigma pertahanan Indonesia.


Dari yang sebelumnya sekadar pengeluaran material beralih menjadi investasi strategis dalam arsitektur ekonomi pertahanan yang relevan untuk zaman.


"Perang ini (perang dunia) tidak lagi dideklarasikan, perang ini dilaksanakan melalui serangan siber diam-diam, spionase ekonomi besar-besaran, dan sabotase digital yang dapat melumpuhkan suatu negara tanpa satu tembakan pun dilepaskan," ujarnya.


"Bagi Indonesia, ancaman ini bersifat non-linier, tidak datang secara bertahap tetapi dapat muncul tiba-tiba yang mampu melumpuhkan urat nadi ekonomi kita," tambahnya.


Selain itu pembenahan sektor siber tentu tidak terlepas dari anggaran yang  disediakan pemerintah. 

 


Sebagai perbandingan, Faizun mencontohkan Amerika Serikat memiliki komunitas Intelijen dengan anggaran gabungan melebihi USD 106 miliar untuk tahun anggaran 2024.


Sementara, pemerintah Tiongkok memproyeksikan anggaran keamanan siber sebesar USD 10 miliar untuk 2025. Indonesia pada  2022 mengangarkan sekitar USD 127 juta kepada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sebagai entitas pertahanan siber.


"Ini bukan sekadar kesenjangan, ini adalah kerentanan asimetris . Artinya, investasi berbiaya relatif rendah oleh musuh—negara atau non-negara—dapat menimbulkan kerusakan ekonomi yang jauh lebih besar pada Indonesia," ungkapnya.


Dia menambahkan bahwa dalam kalkulasi risiko apa pun, ini adalah skenario mimpi buruk bagi stabilitas fiskal dan ekonomi nasional. 

 


"Mengira dapat menutup jurang ini hanya dengan menambah anggaran negara secara bertahap adalah salah perhitungan strategis yang fatal," ucap Faizun.


Sebelum memetakan langkah ke depan terkait pembenahan, Faizun mengatakan pemerintah perlu mempelajari doktrin para aktor global utama.


Menurut dia, AS mengelola kemampuan sibernya seperti portofolio investasi yang terdiversifikasi.


Dia menyebut NSA, CIA, CISA, dan USCYBERCOM adalah aset yang berbeda dengan spesialisasi yang berbeda-beda pula, mulai dari intelijen sinyal dan operasi rahasia hingga pertahanan infrastruktur sipil.


"Kekuatannya terletak pada Research and Development yang mendalam, meskipun birokrasi antarlembaga dapat menimbulkan gesekan," paparnya.


Sementara, lanjut dia, Tiongkok menggunakan model monolitik kapitalis-negara. Tiongkok menggunakan pendekatan yang sangat tersentralisasi, yang mana garis antara militer, negara, dan industri menjadi kabur.


Fokusnya adalah pada agresi ekonomi melalui pencurian kekayaan intelektual dan dominasi teknologi untuk keuntungan kompetitif jangka panjang.


"Model ini sangat efisien karena struktur komandonya yang terpadu, tetapi mengorbankan transparansi," ujarnya.


Ada pula model Inkubator Modal Ventura yang diterapkan Israel.


Melalui entitas seperti Unit 8200 IDF, Israel berfungsi sebagai inkubator bakat siber paling efektif di dunia.


Negara itu, kata Faizun, "berinvestasi" pada individu melalui dinas militer. Setelah diberhentikan, para veteran ini mendirikan perusahaan teknologi pertahanan (seperti NSO Group) yang menjadi mesin ekspor bernilai miliaran dolar .


"Ini adalah model di mana pertahanan nasional secara langsung menyemai industri ekspor yang sangat menguntungkan," terangnya.


Dengan menyadari realitas fiskal Indonesia dan belajar dari doktrin-doktrin global tersebut, kata Faizun, Indonesia tidak punya pilihan selain menempuh jalan yang radikal dan cerdas.


"Saya mengusulkan pembentukan Aset Teknologi Berdaulat (Sovereign Technological Asset), sebuah ekosistem industri pertahanan dan penyerangan siber nasional yang dibangun melalui konsolidasi nasional terpusat," katanya. 

 


Menurut dia, ini adalah paradigma yang mana negara, di bawah komando strategis langsung presiden, bertindak sebagai kepala arsitek dan investor tahap awal.


Sektor swasta dengan semua inovasi dan ketangkasannya bertindak sebagai pengembang dan operator utama.


"Di sini, harus memiliki keberanian untuk belajar dari efisiensi komando 'Model Tiongkok' tanpa perlu mengadopsi ideologi politiknya," tambahnya.


Lebih jauh Faizun berpendapat, untuk proyek dengan signifikansi nasional ini diperlukan visi dan komando tunggal.


Hal itu untuk mencegah terjadinya fragmentasi oleh kepentingan sektoral. Tujuannya, bukan saja menciptakan perisai tetapi juga menempa mesin ekonomi baru.


Dia menyatankan pembuatan Open Source Intelligence (OSINT) sebagai Platform Business Intelligence Nasional sebagai salah satu langkah awal merealisasikan proyek itu.


Platform OSINT yang bersifat proprietary akan berfungsi tidak hanya untuk security intelligence tetapi juga sebagai alat untuk analisis ekonomi, pelacakan sentimen pasar, dan penilaian risiko geopolitik.


Hal itu, menjadi investasi dalam kemampuan analisis data skala makro. 


"Dengan pasar OSINT global yang diproyeksikan bernilai hingga USD 14,85 miliar pada 2024 dan berpotensi melampaui USD 49 miliar pada 2029, ini merupakan ceruk pasar yang harus dimasuki dan dikuasai," katanya.
 
 
 
 
 
 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.