TIMESINDONESIA, SURABAYA – Setiap tahun, Gereja merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Sebuah perayaan yang mengangkat roti dan anggur menjadi lambang kasih Allah yang hidup, nyata, dan hadir di tengah dunia.
Namun lebih dari sekadar ritus liturgi, perayaan ini adalah panggilan untuk merenungkan misteri yang menjembatani langit dan bumi, keilahian dan kemanusiaan, kontemplasi dan aksi.
Roti dan Anggur: Bayangan dari Misteri yang Akan Digenapi
Dalam bacaan pertama (Kejadian 14:18–20), muncul tokoh misterius: Melkisedek, Raja Salem dan Imam Allah Yang Mahatinggi. Ia datang bukan membawa senjata, melainkan roti dan anggur. Simbol kedamaian, kelimpahan, dan penghiburan.
Ia memberkati Abram, yang kemudian membalas dengan memberikan sepersepuluh dari hasil kemenangannya.
Melkisedek adalah bayang-bayang dari Kristus sendiri. Seorang Imam Abadi yang kelak mempersembahkan diri, bukan dengan kurban hewan, tetapi dengan tubuh dan darah-Nya sendiri. Di sini, roti dan anggur telah menjadi tanda awal dari Ekaristi — pemberian surgawi yang menjangkau dunia fana.
”Inilah Tubuh-Ku… Inilah Darah-Ku” Saat Surga Menyatu dengan Dunia
Bacaan kedua (1 Korintus 11:23–26) membawa kita ke momen intim: malam terakhir sebelum Yesus disalibkan. Ia mengambil roti dan anggur, memberkati, memecahkan, dan memberikannya kepada para murid-Nya. Tapi ini bukan hanya kenangan. Ini realitas abadi.
Dalam setiap Ekaristi, Kristus yang sama hadir kembali: tubuh-Nya diberikan, darah-Nya dicurahkan.
Ekaristi bukan sekadar ritus yang dilakukan berulang. Ekaristi adalah jembatan lintas waktu. Jenbatan menghadirkan masa lalu (pengorbanan salib), masa kini (kehadiran nyata Kristus), dan masa depan (pengharapan akan kedatangan-Nya kembali). Ia adalah misteri kasih yang melampaui logika, dan menyentuh relung terdalam jiwa manusia.
Mukjizat Pembagian: Ketika Roti Menjadi Kasih yang Terbagi
Bacaan Injil hari ini (Lukas 9:11b–17) menceritakan penggandaan lima roti dan dua ikan. Ketika murid-murid ingin menyuruh orang banyak pulang karena lapar, Yesus justru berkata, “Kamu harus memberi mereka makan.” Lalu Ia mengambil roti itu, menengadah ke langit, mengucap berkat, memecahkannya, dan membagikannya.
Ini bukan hanya mukjizat logistik. Ini adalah prakata Ekaristi: Yesus tidak hanya memberi makanan, Ia menjadi makanan. Ia mengambil, memberkati, memecah, dan membagikan. Sama seperti yang dilakukan-Nya di Perjamuan Terakhir. Dan dalam setiap Misa, pola ini terulang, bukan hanya di altar, tetapi juga dalam hidup nyata.
Di dunia yang lapar — akan pengharapan, perhatian, kebenaran, dan kasih — Yesus memanggil kita hari ini: Jadilah tangan-Ku. Bagikan apa yang kau punya. Jadilah roti yang dipecah dan kasih yang dibagikan.
Ekaristi: Persatuan Ilahi dan Misi Duniawi
Hari Raya ini mengajarkan bahwa menerima Ekaristi bukan hanya soal hubungan pribadi dengan Tuhan, tetapi juga tentang persatuan komunitas dan pengutusan misi. Tubuh dan Darah Kristus mengalir ke dalam tubuh kita, supaya melalui kita, kasih Allah mengalir ke dunia.
Dalam setiap orang yang lapar, menderita, atau ditinggalkan — Kristus hadir. Maka siapa pun yang menyambut Ekaristi dipanggil untuk menjadi Ekaristi hidup: tubuh yang siap dipecah demi sesama, kasih yang siap dibagikan untuk dunia yang luka.
Roti Kehidupan: Harapan untuk Dunia yang Baru
Hari ini, kita diajak untuk tidak hanya menyambut Kristus, tetapi juga menjadi seperti Kristus. Seperti Abram yang merespons berkat Melkisedek dengan pemberian, kita pun diajak untuk memberi. Bukan hanya sepersepuluh dari hidup kita, tetapi seluruhnya.
Roti dan anggur bukan sekadar lambang. Di tangan Kristus, keduanya menjadi hidup yang mentransformasi: memulihkan yang hancur, menguatkan yang lemah, dan memperbarui dunia dengan kasih yang tak terbatas.
Semoga setiap Ekaristi mengubah kita menjadi bagian dari mukjizat yang terus berlangsung. Mukjizat yang ketika langit dan bumi bersatu dalam sepotong roti yang diberkati, dipecah, dan dibagikan untuk kehidupan dunia. (*)