TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menilai para pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing yang memadai.
Hal itu disampaikan Supratman sebagai perwakilan pemerintah untuk menyampaikan keterangan dalam sidang lanjutan UU TNI di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (23/6/2025).
Menurut Supratman, pemohon dalam salah satu perkara uji UU TNI nomor 81/PUU-XXIII/2025 yang berasal dari kalangan organisasi masyarakat sipil, tidak memiliki hubungan langsung dengan substansi UU yang digugat.
"Para pemohon perkara 81 yang merupakan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat serta para pemohon lainnya yang berprofesi mahasiswa, aktivis, ibu rumah tangga tidak memiliki pertautan langsung karena," ujar Supratman.
"Para pemohon bukan prajurit aktif dan bukan siswa sekolah kedinasan militer serta tidak mendaftar sebagai calon prajurit TNI," tambahnya.
Supratman juga menyebut para pemohon bukan addressat atau pihak yang dituju oleh undang-undang UU TNI.
Serta bukan pula pegawai di instansi sipil yang berpotensi dirugikan dengan diperluasnya kesempatan militer untuk menduduki jabatan sipil.
"Para pemohon bukan merupakan addressat dari undang-undang a quo dan bukan merupakan pegawai di instansi sipil yang berpotensi dirugikan dengan diperluasnya kesempatan bagi militer untuk menduduki jabatan sipil," tuturnya.
"Sehingga tidak dapat dikualifikasi memiliki kepentingan atas materi muatan undang-undang a quo," sambung Supratman.
Untuk diketahui, agenda sidang kali ini mendengarkan keterangan resmi dari pihak Pemerintah dan DPR terhadap lima perkara uji formil dan materiil atas UU TNI.
Selain gugatan 81, ada pula perkara yang didaftarkan dengan nomor 45/PUU-XXIII/2025, 56/PUU-XXIII/2025, 69/PUU-XXIII/2025, 75/PUU-XXIII/2025, dan 81/PUU-XXIII/2025.
Gugatan terhadap revisi UU TNI ini diajukan oleh sejumlah pemohon dari berbagai latar belakang.
Mulai dari akademisi, mahasiswa dari lintas universitas, hingga organisasi masyarakat sipil seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial, dan LBH Jakarta.
Para pemohon menilai pembentukan UU TNI hasil revisi tidak memenuhi asas partisipasi publik karena dinilai dilakukan secara tertutup.
Selain itu, mereka juga mengkritisi beberapa substansi dalam beleid tersebut, termasuk perluasan kewenangan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) dan ketentuan yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil.