PSHM Undip: Kewenangan Mahkamah Pelayaran Harus Diperluas
Adi Suhendi June 24, 2025 04:31 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Studi Hukum Maritim (PSHM) Ikatan Alumni Fakultas Hukum (IKAFH) Universitas Diponegoro (Undip) mengusulkan perluasan kewenangan Mahkamah Pelayaran. 

Hal itu untuk meningkatkan penegakan hukum pelayaran di Indonesia.

Ketua PSHM Bama Djokonugroho mengatakan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi geografis yang berada di jalur strategis pelayaran internasional, penegakan hukum dan aspek keselamatan dalam aktivitas pelayaran di Indonesia masih jauh dari optimal.

"Salah satunya karena lemahnya kerangka penegakkan hukum yang cenderung menitikberatkan pada pendekatan post factum, yaitu dilakukan setelah terjadinya insiden kecelakaan kapal," kata Bama Djokonugroho di Jakarta, Senin, 23 Juni 2025.

Ia menyebut PSHM mengapresiasi langkah pemerintah yang memperluas fungsi Mahkamah Pelayaran melalui Undangan-Undang Nomor 66 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 

Dalam aturan itu dinyatakan selain memeriksa Nakhoda dan perwira kapal yang terlibat kecelakaan Mahkamah Pelayaran juga sudah bisa memeriksa dan menetapkan sanksi kepada operator, pemilik kapal dan petugas atau pejabat yang terbukti melakukan kelalaian sehingga menyebabkan kecelakaan kapal.

Namun, perluasan kewenangan itu masih jauh dari optimal karena baru bisa dilakukan setelah terjadinya kecelakaan.

Kecelakaan kapal berpotensi menimbulkan kerugian materi dan lingkungan yang massif.

Karena itu, pendekatan yang seharusnya diadopsi adalah yang bersifat ante factum atau dilakukan sebelum terjadinya insiden kecelakaan.

"Pemerintah perlu memperluas lagi fungsi Mahkamah Pelayaran dan juga penyidik pegawai negeri sipil di bidang pelayaran. Mereka harus dapat melakukan pemeriksaan dan menetapkan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Nakhoda, perwira kapal, operator, pemilik kapal dan petugas/pejabat yang berpotensi menyebabkan kecelakaan kapal. Jadi, tidak perlu menunggu sampai terjadinya kecelakaan," saran Bama. 

Jika merujuk pada UU Nomor 66 Tahun 2024, lanjut Bama, saat ini terdapat kerancuan terkait fungsi penegakan hukum pelayaran.

Hal itu karena adanya pergeseran fungsi Syahbandar yang dahulu dianggap memiliki kewenangan penuh untuk menegakkan hukum di wilayah kerjanya, menjadi hanya berfungsi sebagai pengawas dan penyidik.

Kondisi ini menimbulkan kerancuan dan dikhawatirkan akan menyebabkan penegakkan hukum terhadap pelanggaran di bidang pelayaran menjadi domain kejaksaan, yang selanjutnya diperiksa dan diadili di peradilan umum.

Dia mengungkapkan potensi tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha pelayaran.

Hal itu mengingat masih sangat kurangnya pemahaman para hakim di peradilan umum terkait hal-hal teknis pelayaran serta proses hukum di peradilan umum dapat memakan waktu dan biaya yang signifikan.

Karena itu, memberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan putusan terhadap dugaan pelanggaran di bidang pelayaran kepada Panel Ahli di Mahkamah Pelayaran dapat menjadi solusi yang memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan.

Di tempat terpisah, Ketua Mahkamah Pelayaran, Capt Sahattua P Simatupang mengapresiasi pandangan dan masukan dari PSHM.

Dia menyebut tindak lanjut dari amandemen UU Pelayaran melalui UU Nomor 66 Tahun 2024 adalah Mahkamah Pelayaran melakukan diskusi dengan berbagai pihak. 

Salah satunya dengan PSHM dalam rangka konsultasi dan saling memberikan masukan terhadap penyusunan peraturan turunan yang dibutuhkan.

Sementara Direktur Eksekutif PSHM, Johannes Cruz BM Hutagaol menyampaikan terdapat ruang-ruang kosong di bidang hukum privat dari bidang pelayaran. Selama ini, Mahkamah Pelayaran hanya lembaga eksekutif yang berada di bawah Kementerian Perhubungan.

Maka hasil kerja Mahkamah Pelayaran hanya berupa rekomendasi kepada Menteri Perhubungan terkait izin usaha angkutan laut kepada korporasi atau sertifikat kompetensi kepada pelaut yang diterbitkan oleh Menteri Perhubungan.

“Kebutuhan dunia pelayaran Indonesia lebih dari itu. Hal-hal yang sifatnya privat yang selama ini dibebankan kepada peradilan umum perlu juga menjadi perhatian untuk ke depannya dimungkinkan untuk dimasukkan menjadi kewenangan Mahkamah Pelayaran, entah nanti bentuknya akan bagaimana bisa kita bicarakan kemudian. Hal ini disebabkan kebutuhan akan pengetahuan yang sifatnya teknis dan non-teknis di bidang pelayaran, berdasarkan pengalaman kami di lapangan, belum mampu dijawab oleh lembaga peradilan umum,” jelas Johannes. 

Untuk hukum publik sektor pelayaran, Johannes menambahkan Indonesia perlu mengkaji ulang dan menentukan arah kebijakan hukumnya sehingga dapat bermanfaat bagi negara dan pelaku usaha di sektor pelayaran.

Pemerintah harus memikirkan prosedur penegakan hukum yang bisa menjawab tantangan di lapangan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.