KKP, Jepang, dan UNDP Luncurkan seaBLUE: Bangun Masa Depan Nelayan Menuju Perikanan Berkelanjutan
Brand Creative Writer June 25, 2025 05:32 PM

TRIBUNNEWS.COM - Masa depan ketahanan pangan laut Indonesia bertumpu pada lebih dari dua juta nelayan skala kecil yang menjadi penopang utama produksi perikanan nasional, menyumbang lebih dari 80 persen dari total hasil tangkapan ikan. Namun demikian, para pelaku utama inilah yang justru paling rentan terhadap guncangan perubahan iklim, keterbatasan akses infrastruktur, dan minimnya teknologi ramah lingkungan yang dapat meningkatkan produktivitas serta efisiensi usaha mereka.

Menjawab tantangan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama United Nations Development Programme (UNDP) dengan dukungan pendanaan dari Pemerintah Jepang, secara resmi meluncurkan inisiatif Strengthening Livelihoods of Small-Scale Fishers and Promoting Sustainable Local Economic Development through the Blue Economy (seaBLUE).

Program ini menjadi bagian dari implementasi Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia 2023–2045, dan selaras dengan arah pembangunan nasional Presiden Prabowo Subianto, yang menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai motor penggerak pertumbuhan pedesaan dan ketahanan pangan nasional, yang tangguh, inklusif, serta selaras dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.

“Inisiatif ini mencerminkan komitmen kami untuk membangun ekonomi kelautan dan perikanan yang lebih tangguh dan inklusif melalui pemberdayaan nelayan skala kecil serta penguatan sistem pendukungnya. Kami ingin memastikan bahwa nelayan, bahkan di wilayah terpencil sekalipun, dapat mengakses teknologi rendah karbon, pembiayaan, pelatihan, serta pasar yang layak. Masa depan mereka tak boleh lagi dibayangi ketidakpastian,” tegas Didit Herdiawan, Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan RI.

Solusi Nyata untuk Masyarakat Pesisir

SeaBLUE dirancang sebagai program jangka panjang yang tidak hanya menyentuh aspek peningkatan kapasitas individu nelayan, tetapi juga penguatan kelembagaan desa pesisir dan infrastruktur pendukungnya. Di tahap awal, lebih dari 1.600 nelayan skala kecil di Morotai, Maluku Utara, dan Tanimbar, Maluku, akan menjadi penerima manfaat langsung program ini, dengan setidaknya 30 persen di antaranya adalah perempuan. 

Dalam laporannya, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPPSDM KP), I Nyoman Radiarta, menyampaikan apresiasi atas sinergi yang terbangun dalam pelaksanaan program ini serta menegaskan pentingnya penguatan kapasitas nelayan skala kecil sebagai pilar utama pembangunan ekonomi biru yang berkelanjutan di Indonesia.

“Sebagai institusi yang berkomitmen pada pengembangan sumber daya manusia kelautan dan perikanan, BPPSDM KP memandang penting upaya penguatan kapasitas nelayan skala kecil melalui peningkatan keterampilan, akses teknologi ramah lingkungan, dan dukungan kelembagaan yang memadai.

Melalui kolaborasi dengan UNDP dan Pemerintah Jepang, program ini tidak hanya memberikan solusi praktis bagi nelayan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan mereka, tetapi juga mendorong transformasi menuju praktik perikanan yang lebih berkelanjutan dan adaptif terhadap tantangan perubahan iklim. Kami meyakini bahwa penguatan dari aspek hulu ke hilir ini akan menjadi fondasi penting dalam mewujudkan blue economy yang inklusif dan berdaya saing di tingkat global,” ucap Nyoman.

Nantinya, para nelayan tersebut akan menerima pelatihan keterampilan diversifikasi usaha, pengelolaan hasil tangkapan berbasis teknologi ramah lingkungan, serta penguatan manajemen kelembagaan. Program ini juga memperkenalkan penggunaan kapal listrik, pendingin portable bertenaga surya, serta fasilitas cold storage berbasis energi terbarukan guna mengurangi kerugian pasca panen, menekan emisi karbon, dan meningkatkan kualitas hasil tangkapan.

Selain pemberdayaan teknis, seaBLUE juga berfokus pada penguatan sistem data Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA) sebagai sarana identifikasi digital nelayan skala kecil, untuk memudahkan mereka mengakses program asuransi, pembiayaan mikro, pelatihan, dan subsidi dari pemerintah.

Sebanyak 1.500 nelayan baru ditargetkan terdaftar dalam sistem ini, disertai pelatihan untuk 100 petugas pemerintah daerah agar dapat meningkatkan kualitas pendataan dan pelayanan publik di kawasan pesisir. Perbaikan sistem perizinan kapal daerah melalui pengembangan SIMKADA, serta penerapan teknologi Automatic Identification System (AIS) berbasis QR code, juga akan diterapkan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, serta penelusuran hasil tangkapan dari laut hingga pasar.

Dukungan Penuh dari Jepang dan UNDP

Inisiatif seaBLUE mendapat dukungan penuh dari para mitra internasional yang selama ini berperan aktif dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Pemerintah Jepang menegaskan komitmennya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi biru Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan, sejalan dengan berbagai program kerja sama yang telah berjalan di wilayah timur Indonesia. 

“Jepang berkomitmen untuk mendukung pembangunan Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan. Kami bangga dapat berkolaborasi dalam inisiatif ini bersama KKP dan UNDP, guna memperkuat mata pencaharian sekaligus menjaga ekosistem laut yang menjadi milik bersama kita. Kami berharap proyek baru UNDP ini dapat menciptakan sinergi yang baik dengan kerja sama Jepang yang sedang berjalan di lokasi proyek yang sama, yaitu di Pulau Morotai dan Pulau Saumlaki, di mana JICA baru saja membangun pelabuhan perikanan, pasar, dan fasilitas pembekuan baru,” papar Mr. Hajime Ueda, Minister of Economic Affairs and Development di Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia.

Di sisi lain, UNDP Indonesia menaruh perhatian besar pada pemberdayaan manusia sebagai pusat dari perubahan. Bagi UNDP, teknologi dan infrastruktur tidak cukup tanpa investasi pada kapasitas dan potensi sumber daya manusia lokal, terutama perempuan dan komunitas pesisir, yang menjadi motor penggerak utama transformasi ekonomi biru. 

“Kami percaya pada kekuatan inovasi dan optimisme masyarakat pesisir di Indonesia. Melalui seaBLUE, kami berinvestasi tidak hanya pada teknologi, tetapi juga pada manusia, khususnya perempuan, yang menjadi tulang punggung sektor perikanan kita,” ujar Ms. Sujala Pant, Deputy Resident Representative UNDP Indonesia.

Manfaat Langsung untuk Masyarakat

Melalui seaBLUE, sekitar 8.000 warga di wilayah sasaran diproyeksikan akan terdampak secara langsung maupun tidak langsung, melalui diversifikasi sumber penghasilan nelayan dan UMKM pesisir yang membuka jalan baru untuk kesejahteraan keluarga, peningkatan akses pada teknologi hijau untuk meningkatkan kualitas dan daya saing hasil perikanan, serta penguatan kapasitas kelembagaan desa pesisir agar mereka mampu mengelola sumber daya laut secara mandiri, berkelanjutan, dan inklusif. 

Sebagai bagian dari peluncuran ini, turut dilaksanakan diskusi panel bertajuk ‘Opportunities and Challenges for Small-Scale Fisheries in Indonesia’ yang menghadirkan para pakar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, BRIN, IPB University, JICA, serta pelaku inovasi teknologi hijau di sektor perikanan.

Diskusi ini membahas integrasi teknologi terbarukan dalam perikanan skala kecil Indonesia, mulai dari adopsi perahu listrik hingga sistem pendinginan ramah lingkungan, sebagai solusi konkret dalam menghadapi krisis iklim dan meningkatkan efisiensi rantai pasok perikanan nasional.

Menutup pernyataannya, Didit Herdiawan menegaskan bahwa Indonesia tidak ingin nelayannya hanya mampu bertahan hidup, tetapi juga bertumbuh, berkembang, dan mampu membangun masa depan yang lebih cerah bersama keluarganya. “Kami tidak ingin nelayan Indonesia hanya bertahan. Kami ingin mereka tumbuh, berkembang, dan mampu membangun masa depan yang lebih cerah bersama keluarganya. SeaBLUE adalah langkah nyata untuk mewujudkan harapan itu.”

Sebagai informasi, Morotai di Maluku Utara dan Saumlaki di Kepulauan Tanimbar, Maluku, dipilih sebagai lokasi pelaksanaan program seaBLUE karena merepresentasikan tantangan utama pengembangan perikanan skala kecil di Indonesia bagian timur.

Kedua wilayah ini sangat bergantung pada sektor perikanan sebagai sumber penghidupan utama masyarakatnya, namun dihadapkan pada berbagai keterbatasan, mulai dari tingginya angka kemiskinan (Tanimbar 26,2 persen, Morotai 11,4 persen) hingga minimnya infrastruktur rantai pasok seperti cold storage dan teknologi pasca panen.

Selain itu, kedua daerah ini juga mengalami permasalahan gizi kronis yang tercermin dari tingginya prevalensi stunting di atas rata-rata nasional, serta kerentanan terhadap dampak perubahan iklim dan praktik perikanan ilegal (IUU Fishing). Peran penting perempuan dalam aktivitas pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di wilayah ini pun belum sepenuhnya mendapat pengakuan dan dukungan yang memadai.

Pelaksanaan seaBLUE di dua lokasi ini sekaligus melengkapi berbagai investasi infrastruktur perikanan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Jepang melalui JICA, sehingga diharapkan dapat menciptakan sinergi yang mempercepat transformasi ekonomi biru yang inklusif dan berkelanjutan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.