TRIBUNNEWS.COM - Eropa disebut gagal memainkan peran penting dalam upaya diplomatik menyelesaikan konflik antara Iran dan Israel.
Serangan militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran pada akhir pekan lalu membuat upaya diplomasi Eropa tampak tak berarti, dilansir RFE/RL.
Hanya 24 jam sebelum serangan itu, para menteri luar negeri dari E3 (Prancis, Jerman, dan Inggris), bersama Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi di Jenewa.
Pertemuan tersebut berakhir tanpa hasil, bahkan tanpa kesepakatan untuk pertemuan lanjutan.
Presiden AS Donald Trump menanggapi dengan sinis. Ia menyatakan bahwa Iran tidak sungguh-sungguh ingin berdialog, dan menganggap pendekatan Eropa tak efektif.
Menteri-menteri luar negeri Uni Eropa kembali membahas krisis ini dalam pertemuan di Brussels.
Mereka menekankan bahwa diplomasi adalah satu-satunya jalan keluar, namun kenyataannya pengaruh Eropa semakin menipis.
“Teheran masih terbuka membahas isu nuklir dan keamanan,” kata Kaja Kallas. Tapi, pernyataan itu tidak berbanding lurus dengan hasil konkret.
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot mengakui bahwa serangan udara saja tak cukup mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir.
“Hanya diplomasi yang bisa menghentikannya,” katanya.
Eropa masih berharap pada semangat Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang dibuat tahun 2015 — sebuah kesepakatan nuklir yang kala itu didukung oleh Presiden Barack Obama dan difasilitasi Uni Eropa.
Kesepakatan itu praktis runtuh sejak Trump menarik AS keluar pada 2018.
Upaya membangkitkannya di era Biden pun berjalan tertatih, dan kini pasca-serangan militer, masa depannya nyaris mustahil.
Uni Eropa sebenarnya masih bisa menjatuhkan sanksi 'snapback' terhadap Iran lewat mekanisme JCPOA.
Akan tetapi, sejumlah diplomat yang diwawancarai RFE/RL menyebut opsi tersebut belum menjadi prioritas pembahasan saat ini.
Ada pula pembicaraan mengenai kemungkinan embargo senjata terhadap Israel atau penangguhan perjanjian dagang UE-Israel karena pelanggaran HAM di Gaza.
Wacana itu diprediksi tak akan berjalan karena Uni Eropa terlalu terbelah.
Di sisi lain, Eropa enggan mengkritik Washington terlalu keras.
Mereka berusaha menghindari perang dagang transatlantik dan berharap AS tetap berkomitmen dalam aliansi militer NATO.
Negara-negara Eropa timur bahkan berharap jumlah pasukan AS di kawasan mereka ditambah, menyusul ketegangan global yang meningkat.
Pada akhirnya, dengan kekuatan terbatas dan pengaruh yang menurun, Eropa kini hanya bisa menyerukan gencatan senjata dan solusi diplomatik — meskipun tak lagi menjadi pemain utama.
Seperti disimpulkan oleh pengamat RFE/RL: “Eropa kemungkinan besar akan tetap menjadi pembayar dalam konflik ini, bukan penentu.”
( Andari Wulan Nugrahani)