Pengamat: Tren Kedatangan Imigran Baru Tiongkok ke RI Berbeda dengan yang Terjadi di Awal Abad 20
Malvyandie Haryadi June 27, 2025 03:32 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kedatangan imigran asal Tiongkok ke Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara dalam beberapa dasawarsa terakhir menjadi perhatian banyak kalangan, terutama pemerhati internasional, khususnya China.

Namun, ada persepsi yang dianggap tidak tepat dan rancu memicu problem akademis dan sosial ketika mempersepsikan kedatangan para imigran tersebut dianggap akan tinggal permanen ke negara yang didatanginya. 

Peneliti senior ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, Profesor Leo Suryadinata menilai, orang-orang Tiongkok yang datang ke sejumlah negara tujuan tersebut dinilai temporer alias hanya untuk sementara waktu, baik karena alasan pekerja, pelajar, pebisnis, maupun kegiatan lainnya. 

Umumnya, mereka datang untuk sementara dan dalam kelompok relatif besar, mereka tak dapat diharapkan untuk melakukan proses adaptasi dalam hal sosial dan budaya, seperti pendahulu mereka, yaitu etnis Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk orang-orang Tionghoa Indonesia. 

Profesor Leo Suryadinata menyampaikan pendapat tersebut saat menjadi pembicara dalam seminar berjudul “Peran Migran Baru Tiongkok (Xin Yimin) di Asia Tenggara,” yang diselenggarakan Program Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) dan Magister Ilmu Hubungan Internasional (MHI) Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Rabu, 25 Juni 2025. 

Seminar dibuka dengan pernyataan pembukaan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPH, Profesor Edwin Martua Bangun Tambunan, yang menekankan bahwa studi migrasi, termasuk migrasi asal Tiongkok di abad ke 21 ini, adalah simpul dari dinamika besar dunia.

“Tanpa memahami fenomena migrasi, kita tidak bisa memahami dunia,” tutur guru besar dalam bidang ilmu keamanan dan perdamaian itu, dalam keterangan yang diterima, Jumat (27/6/2025).

Profesor Leo Suryadinata yang pernah menerima Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 2018 mengemukakan berbagai kharaktersitik dari migran baru asal Tiongkok.

Dalam Bahasa Mandarin mereka disebut dengan istilah Xin Yimin. Menurut pandangannya, mereka ini jauh berbeda dari karakteristik etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia yang disebut sebagai migran lama. 

Dia mengatakn, orang-orang Tionghoa yang termasuk sebagai migran lama meninggalkan Tiongkok menuju negara tujuan, kebanyakan ke Asia Tenggara, selambatnya pada awal abad XX dan dilatarbelakangi faktor ekonomi, khususnya kemiskinan. 

“Orang-orang Tionghoa itu sebagian besar menuju dan bermukim di Asia Tenggara, dan menganggap Asia Tenggara sebagai tanah air mereka,” terang ahli Hubungan Internasional yang juga pemerhati Tionghoa Asia Tenggara tersebut.

Berbeda dengan Xin Yimin, mereka yang dikategorikan sebagai migran lama rata rata berasal dari provinsi-provinsi di Selatan Tiongkok, seperti Fujian, Guangzhou, dan Hainan.

Berbeda dari etnik Tionghoa yang sudah berakar di Asia Tenggara dan Indonesia, migran baru asal Tiongkok tidak datang untuk menetap. 

Menurut Leo, mereka menjadikan negara-negara tujuan sebagai tempat untuk transit dalam proses migrasi yang bersifat sementara itu.

Karena itu, mereka tak lagi berpegang pada istilah luodi shenggen (berakar di tanah yang mereka pijak) dan cenderung berpindah-pindah seperti daun teratai yang tak berakar. 

“Karena mereka datang dengan jumlah besar, mereka akan berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama kelompok mereka, sehingga proses integrasi antara mereka dan masyarakat setempat menjadi sangat sulit,” tutur Leo. 

Menurutnya, kesulitan untuk berintegrasi dengan masyarakat setempat itu menjadi sebuah persoalan yang muncul akibat kehadiran migran baru asal Tiongkok itu. Persoalan lain yang muncul adalah kegiatan mereka yang terkait dengan berbagai proyek investasi dari Tiongkok. 

Namun ia berpesan agar para peneliti tak melupakan bahwa proyek-proyek tersebut sebenarnya membawa pula hasil positif. 

“Transfer teknologi dari Tiongkok, yang secara biaya cukup murah, adalah salah satu dampak positif dari datangnya migran baru dari Tiongkok,” ungkap Leo. 

Namun ia juga mengingatkan bahwa terdapat pula dampak negatif yang tak kalah penting, seperti kerusakan lingkungan akibat pertambangan, kurangnya pelibatan tenaga kerja lokal dalam proyek-proyek asal Tiongkok akibat faktor bahasa, serta fenomena perjudian online, yang melibatkan orang-orang asal Tiongkok yang membentuk sindikat lintas negara di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Laos, Myanmar, dan Filipina. 

Menimbang dampak positif dan negatif di atas, Leo beranggapan bahwa fenomena migran baru asal Tiongkok harus dikaji dengan sebuah pendekatan baru yang meskipun tetap kritis, tetapi tanpa bersifat apriori. 

Ketua Forum Sinologi Indonesia yang juga Dosen Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) Universitas Pelita Harapan (UPH), Johanes Herlijanto, menyesalkan masih adanya pandangan yang menyamakan antara warga Tionghoa yang baru dengan etnik Tionghoa di Indonesia dan Asia Tenggara. 

Johanes menyatakan bahwa pandangan semacam itu kurang adil terhadap etnik Tionghoa yang bukan hanya telah berakar dan beradaptasi, tetapi juga telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi kawasan Asia Tenggara, tempat mereka menetap selama berabad-abad. 

“Tionghoa Indonesia, misalnya, telah memberikan sumbangsih yang signifikan bagi bangsa Indonesia. Mereka adalah orang Indonesia yang selalu mengedepankan identitas kebangsaan Indonesia,” tutur pemerhati Tionghoa asal UPH itu. 

Johanes berpandangan bahwa sikap mengedepankan keindonesiaan itu terlihat dalam pengamatan terhadap berbagai individu dan kelompok muda Tionghoa dalam aktivitas media sosial mereka belakangan ini.

Generasi muda Tionghoa tersebut cenderung menekankan bahwa mereka adalah Tionghoa Indonesia dan tak dapat disamakan dengan orang-orang asal Tiongkok ataupun penduduk Tiongkok daratan. Johanes menghimbau agar sikap tersebut dipertahankan, dan didukung oleh masyarakat Indonesia yang menyokong kehadiran Indonesia yang multikultural. 

Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Triyono, S.Sos., M.A., sependapat dengan Profesor Leo Suryadinata dalam hal dampak positif dan negatif dari kehadiran investasi dan migran baru asal China. 

“Kehadiran industri smelter di Sulawesi Tengah dan Tenggara menghidupkan perekonomian di daerah tersebut, ini hal yang jarang diungkap ke public,” tuturnya. 

Namun sosiolog tamatan Universitas Gajah Mada (UGM) itu juga menuturkan mengenai adanya persoalan budaya yang diakibatkan kehadiran migran baru asal Tiongkok itu.

Persoalan itu antara lain mencakup miskomunikasi, mispersepsi, serta praduga antara migran asal Tiongkok dan masyarakat setempat, yang dalam pandangannya berpotensi memunculkan konflik.

Dalam pandangan Triyono, untuk meredakan konflik yang pernah ada, serta mencegah terjadinya konflik di masa mendatang, perlu dilaksanakan berbagai upaya. 

“Di antaranya adalah upaya membangun lembaga kerja sama sebagai wadah diskusi untuk mengatasi masalah dalam relasi kerja, memfasilitasi adaptasi sosial budaya tenaga kerja Tiongkok agar memahami tradisi dan budaya lokal, serta meningkatkan implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap komunitas lokal, seperti dalam aspek pengelolaan limbah dan upaya pelestarian lingkungan,” kata Triyono.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.