TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti soroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
Menurutnya jeda waktu maksimal 2 tahun 6 bulan antara pemilu nasional dan daerah jadi polemik.
"Sebetulnya yang menjadi masalah itu sekarang, karena MK menyebutkan paling cepat 2 tahun, paling lambat 2 tahun 6 bulan," kata Ray dihubungi Jumat (27/6/2025).
Ditegaskannya aturan tersebut bermasalah. Hal itu dikatakannya karena bakal ada banyak Penjabat (Pj), sampai menunggu waktu pilkada daerah berlangsung.
"Jadi kalau diundur misalnya ke 2031. Ratusan daerah di Indonesia itu selama 2 tahun nggak ada itu yang namanya DPRD. Nggak ada juga yang namanya pemerintah daerah, itu riskan," jelasnya.
Menurutnya hal itu yang kurang dipikirkan oleh Mahkamah Konstitusi.
"Masa kita mengulangi Pj terus. 2024 semuanya Pj, 2031 Pj lagi," ungkapnya.
Ray menilai jangka waktu satu tahun sudah cukup seperti pemilu nasional dan pilkada sebelumnya.
"Seperti kemarin, setahun itu sudah cukup ideal sebetulnya. Menurut saya ini dibuat 2 tahun 6 bulan terlalu jauh," tandasnya
Diketahui Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak dalam waktu yang bersamaan.
Pemilu akan dibagi menjadi dua tahap, pemilu nasional dan pemilu lokal dengan jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.
Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI.
Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
MK menyatakan bahwa pelaksanaan serentak dalam satu waktu untuk seluruh jenis pemilu menimbulkan banyak persoalan, seperti beban berat penyelenggara pemilu, penurunan kualitas tahapan, serta kerumitan logistik dan teknis.
“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
MK menilai ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai sebagai kewajiban melaksanakan seluruh pemilu pada waktu yang sama.
Karena itu, MK memberi penafsiran baru bahwa pemungutan suara dilakukan dalam dua tahap: pertama untuk pemilu nasional, lalu beberapa waktu setelahnya untuk pemilu lokal.
Norma-norma lain terkait teknis pelaksanaan pemilu juga wajib disesuaikan dengan penafsiran baru MK tersebut.