Manusia dan Penguasaan Diri
maximus conterius June 28, 2025 02:30 AM

Oleh:
Ambrosius Loho M.Fil
Dosen Fakultas Pariwsiata Universitas Katolik De La Salle Mando
Pegiat Musik Tradisi

TOPIK tentang manusia dan segala sesuatu tentang manusia sangat relevan, demikian kata Poespowardojo. Dengan demikian, kita tidak bisa memungkiri bahwa peristiwa besar apapun yang terjadi, pasti akan berhubungan dengan manusia. Jika berpijak dari eksistensialisme, manusia (wajar) adalah manusia konkret, seperti yang kita lihat dan saksikan sehari-hari. Oleh karena itu, penghayatan pada manusia yang konkret itu, harus semakin didalami sehingga semakin bermakna kehidupannya. Sebagai manusia yang konkret, manusia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia membutuhkan pelbagai macam hal antara lain: Makanan dan minuman untuk bisa memberi asupan tenaga baginya, agar tetap segar dan sehat, bahkan ia membutuhkan hiburan agar hidupnya menarik dan tidak membosankan, dan lain sebagainya. 

Dengan demikian maka manusia serba membutuhkan, baik fisik maupun rohani. Dengan kata lain, manusia mempunyai banyak kebutuhan, karena kebutuhan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai atau tidak pernah puas akan berbagai macam hal berkaitan dengan kebutuhan hidupnya. (Huijbers 1977: 39).

Sejalan dengan fakta bahwa manusia sarat dengan berbagai kebutuhan sebagaimana diuraikan di atas, terdapat juga hal lain yang penting untuk dijadikan titik berangkat dalam refleksi ini. Hal tersebut tampak dalam sebuah realitas bahwa dalam diri manusia terdapat keinginan untuk selalu memenuhi hal-hal yang material. Ada keyakinan bahwa dengan mendapatkan apa yang sangat dibutuhkan, manusia akan merasakan nikmat dan puas. Plato, misalnya, mengatakan bahwa ketika kita mendapatkan hal yang dimaksud, kebutuhan kita justru tidak berhenti. Objek-objek lain mulai menggoda untuk dikejar dan dicari.

Dengan fakta ini, justru epithumia seorang individu-lah yang paling bertanggung jawab atas hal itu. Epithumia adalah gambaran untuk nafsu di bawah perut yang tak pernah berhenti, tak mau dibatasi, tak terbatas dan dia menciptakan peperangan dalam diri individu dan antar individu  (Bdk. Wibowo 2017: 28). Kendati demikian, apapun itu, nafsu dan keinginan seseorang adalah hal yang alamiah terjadi dalam diri seseorang. Hal itu pula tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan seorang individu terutama dalam setiap pemenuhan kebutuhannya. 

Berhadapan dengan  realitas kebutuhan yang tak pernah habis dalam diri manusia itu, apa yang paling penting untuk dilakukan? Dengan menjawab pertanyaan ini, maka paling tidak, jawaban atas pertanyaan itu, cukup mampu menguak (walaupun sedikit) sisi penting dalam hal pengendalian nafsu yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Hemat penulis, penguasaan diri (sophrosune) merupakan suatu jalan tengah yang berkaitan dengan kenikmatan inderawi: pencecap dan peraba. Misalnya ia menjadi jalan tengah bagi dua ekstrem yang terlalu menikmati nafsu makan, minum, seks tanpa bisa mengendalikannya dan di ekstrem lain terlalu mengekang diri dari semua kenikmatan itu. jalan tengah berfungsi agar seseorang lebih moderat dalam menyikapi kenikmatan daging agar ia memperoleh kesehatan jasmani. (Ross 2009).

Bagaimana yang dimaksud dengan penguasaan diri (sophrosune) itu? Penguasaan diri adalah pengendalian (penguasaan) diri atau kontrol atas kenikmatan-kenikmatan. Dengan ini dapat pula dipahami bahwa pengendalian diri ini dipahami juga sebagai ketenangan lahiriah. Dalam tulisan yang pernah penulis publikasikan sebelumnya, pernah pula diuraikan bahwa keugaharian menunjuk pada sebuah keutamaan, dalam arti kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya, mengontrol dirinya dan juga karena dia mengetahui batas. Ia bertindak demikian karena ia tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik. Dengan kata lain, hal itu menunjuk pada hikmat praktis yang membimbing orang dalam pilihan-pilihan bertindak. 

Seorang yang ugahari adalah sosok pribadi yang santun, tidak ugal-ugalan tetapi bukan pengecut, tahu malu dan berpenampilan sederhana. Di samping itu, dia juga merupakan sosok yang tidak pernah bermewah-mewahan. Misalnya dalam dunia politik praktis, orang yang ugahari adalah seorang (calon) politisi yang bisa menjadi moderator, yang bukan hanya sekedar pendengar tetapi menjadi penengah dalam diskusi (baca: Kehidupan bersama), menjadi orang yang bisa mengantarai sebuah pembicaraan. Maka menjadi moderator dia juga harus mampu dan bisa memobilisasi, menggerakkan sebuah kelompok masyarakat yang dia pimpin. (Setyo Wibowo 2015: 14-15). Hal ini mungkin saja terlalu ideal. Kendati begitu, kita perlu melihat dari sisi kebijaksanaan bahwa orang yang ugahari adalah satu-satunya orang yang akan mengetahui dirinya sendiri, orang sadar akan dirinya, dan tahu batas. Terpenting juga adalah bahwa tidak ada orang lain yang memiliki kemampuan seperti itu, jadi orang yang ugahari adalah orang yang tahu diri, tahu tentang yang ia ketahui dan yang tidak ia ketahui. (Ibid).

Berkaca dari sini, kita harus menyadari bahwa setiap manusia dalam arti subjek, sarat dengan keugaharian, asalkan kita menyadari apa yang kita tahu, bukan karena kita sok tahu, melainkan benar-benar tahu apa adanya. Dengan itu, subjek bertindak berdasarkan kebijaksanaan sebagaimana telah diuraikan oleh para pemikir Yunani klasik terdahulu itu. 

Apa konsekuensi etis bagi kita zaman now? Hal penguasaan diri adalah sesuatu yang bisa saja sulit untuk dilakukan oleh setiap individu. Kendati demikian sulit, toh hal itu adalah sesuatu yang lekat dengan individu itu. Maka dari itu, kemampuan akal budi manusia yang mampu memiliki pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan, bisa menjadi pengarah bagi setiap subjek manusia. Pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan yang dipandang sebagai keugaharian itu, atas cara tertentu menjadi satu-satunya ilmu yang mampu menunjukkan tujuan mana yang layak direalisasikan, dan yang benar-benar mewujudkan kebaikan sejati dan dari situ kebahagiaan sejati pun muncul untuk manusia. Jadilah manusia yang mampu menguasai diri! (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.