TRIBUNJAKARTA.COM - Pemandu lokal Abdul Haris Agam atau yang akrab disapa Agam Rinjani ternyata sempat dikomplain keluarga Juliana Marins (27).
Juliana Marins merupakan pendaki asal Brasil Juliana Marins yang jatuh di lereng puncak Guning Rinjani, Nusa Tenggara Barat.
Agam Rinjani juga bercerita sosok yang pertama kali menemukan jenazah Juliana Marins. Agam Rinjani menceritakan proses evakuasi hingga sempat kena komplain keluarga Juliana Marins.
Komplain pihak keluarga Juliana Marins saat Agam Rinjani mengunggah video dan foto tandu Juliana.
"Dipikul. Sempat sayya live juga, karena pada mendesak di HP ini, 'mana Julia, mana Julia'. Foto saja tandunya, nih sudah dibungkus,"
"Sempat saya dikomplain sama kueluarganya. 'Tolong dihapus semua foto yang ada tandu'. 'Oh ia maaf. Saya minta maaf'." kata Agam dikutip dari Youtube YIM Official, Sabtu (28/6/2025).
Meski demikian keluarga Juliana Marins tetap mengucap terimakasih pada Agam.
"Tapi dia terimakasih juga sama saya. 'Terimakasih tapi minta maaf tolong dihapus'. Saya hapus semua foto yang ada tandu," kata Agam.
Selain itu keluarga Juliana juga menulis surat terbuka untuk Agam dan tim SAR gabungan.
"Atas nama keluarga Juliana Marins, kami ingin mengucapkan terimakasih yang paling tulus dan mendalam atas semua kemurahan hati, keberanian, dan dukungan yang mereka tunjukan," tulis keluarga Juliana di akun Instagram resgatejulianamarins.
Mereka mengatakan lokasi Juliana jatuh sangat berisiko tinggi.
"Berkat dedikasi dan pengalaman tim akhirnya dapat menjangkau Juliana dan mengizinkan kami, setidaknya untuk momen perpisahan ini," katanya.
Walau begitu mereka tetap berandai jika Agam dan kawan-kawan rescuer tiba lebih awal mungkin ceritanya akan berbeda.
"Dalam perasaan kami jika anda berhasil tiba sebelumnya, mungkin bisa saja berbeda," katanya.
Meski demikian keluarga Juliana Marins tetap menghaturkan rasa terimakasih bagi Agam dan kawan-kawan rescuer.
"Jasa anda tidak akan pernah terlupakan. Terimakasih semua rasa hormat, kekaguman, dan rasa terimakasih kami," tulisnya.
Perjuangan Agam
Tak hanya itu, Agam Rinjani juga menyampaikan perjuangannya bersama rescuerdan tim SAR gabungan saat mengevakuasi jasad Juliana Marins dari jurang Gunung Rinjani sedalam 600 meter.
Ia bersama tim SAR, bahkan sampai menginap dengan tidur terikat tali menggantung di tebing dekat jenazah Juliana.
"Kami berharap tidak hujan. Kalau hujan longsor batu, kedua kami hipotermia," kata Agam di Youtube YIM Official.
Agam termasuk berpengalaman di Gunung Rinjani. Ia sudah 9 tahun bergelut di gunung tersebut.
Walau begitu Agam menganggap evakuasi Juliana yang paling terberat di antara lainnya.
"9 tahun di Rinjani berbagai insiden, evakuasi mayat berapa. Ini kejadian paling sulit dibanding puluhan kasus evakuasi di Rinjani," katanya.
Agam mencontohkan saat mengevakuasi pendaki asal Israel yang lompat di Gunung Rinjani tahun 2023 silam.
"Agustus 2023 bule Israel yang jatuh dari puncak, 180 (meter), saya bilang itu sulit, ini lebih sulit lagi," katanya.
Betapa tidak, saat sedang menaikkan jenazah Juliana menggunakan tandu, ia sempat terkena hujan batu.
"Sempat kami naikkan paling terakhir hujan batu. Sempat hujan air, tiba-tiba berkabut, 3 detik tiba-tiba batu di depan, jarak pandang 2 meter," katanya.
Agam kemudian mencoba menghindari bebatuan ukuran besar.
"Diholding satu-satu, ada gerakan di atas, batu dari 400 meter mengarah ke muka semua. Saya sempat menunduk itu ribuan batu besar-bersar, saya pilih yang kecil-kecil aja, kita tangkis pakai helm, yang gede dihindari. ini sampai luka kaki kena batu," katanya.
Tim membawa jenazah Juliana mulai dari pukul 06.00 Wita sampai di punggung Rinjani pukul 15.00 Wita.
"Berapa jam kami harus menggantung, apalagi harnes yang sudah jadul besi semua, berbekas semua," katanya.
Agam menuturkan semua rescuer dipastikan akan ikut meninggal dunia bersama Juliana Marins jika malam saat mereka menginap di tebing itu turun hujan.
Beruntung mereka masih diberi keselamatan hingga akhirnya bisa membawa jasad Juliana Marins naik ke atas.
Turun ke jurang sedalam 600 meter, kata Agam, merupakan proses evakuasi paling berat yang pernah ia lakukan selama sembilan tahun bekerja sebagai guide di Gunung Rinjani.
Belum lagi kondisi tebing yang merupakan batuan yang langsung jatuh saat diinjak.
Agam yang saat itu sedang berada di Jakarta sempat mendapat kabar soal lokasi Juliana ditemukan.
"Hari itu diterbangkan drone tapi kabut, sempat drone menemukan, tapi kami masih di pesawat. Itu sangat sulit," kata Agam.
Setibanya di Lombok, Agam dan Tyo Survival langsung naik ke Gunung Rinjani malam itu juga. Dirinya mendaki Gunung Rinjani sambil berlarian bersama porter yang membawa tambahan tali.
Ia bertemu dengan beberapa anggota Tim SAR yang sudah kelelahan. Mereka sudah berada di atas selama empat hari dan mulai kehabisan tenaga.
Setibanya di TKP, Agam membentangkan Bendera Merah Putih untuk membakar semangat para tim yang melakukan evakuasi.
Ia bersama enam rescuer turun ke bibir jurang dengan kedalaman 400 meter. Namun saat itu jasad Juliana Marins belum juga ditemukan sehingga harus turun lagi sejauh 200 meter.
Sosok Penemu Jenazah Juliana
Saat itu yang pertama kali menemukan jenazah Juliana Marins adalah anggota dari Basarnas, yakni Khafid.
"Turun pertama waktu itu teman-teman Basarnas. Dia masuk di HT sudah sampai di bawah, gimana kondisinya, sudah MD katanya," tutur Agam.
Saat itu Khafid tidak berani menyentuh tubuh kaku Juliana Marins dan memilih menunggu tim yang lain turun.
"Dia bilang gak berani sentuh tunggu yang lain biar dilihat bersama. Terus turun Tyo, Mas Syamsul, baru saya," ungkapnya.
Sementara tiga rescuer yang lain berjaga di bibir jurang kedalaman 400 meter untuk menjaga tali keempatnya.
"Kita bagi-bagi, gak bisa turun semua tujuh, jadi hanya empat yang turun," kata Agam.
Padahal menurut dia, jasad Juliana Marins awalnya akan dibawa ke bawa melalui danau.
"Karena di lapangan kami melihat masih lebih jauh lagi turun ke danau, masih 400-500 meter. Batuannya tidak seperti di gambar, kita jalan batu jatuh semua, batuan lepas," tuturnya.
Akhirnya mereka pun memutuskan untuk membawa jasad Juliana Marins naik ke atas.
"Akhirnya kita gantian, naik leader Bang Khafid, Tyo, Botol. Saya yang temani mayat," kata Agam.
Puluhan tim yang berada di atas pun perlahan-lahan menarik tali para rescuer dan korban.
"Tarik pelan-pelan, karena harus ada yang naik dan seimbangkan mayat. Kami tarik dari jam 06.00 Wita sampai di atas jam 15.00 Wita," jelasnya lagi.
Sebelum membawa naik jasad Juliana, Agam bersama Khafid, Syamsul alias Botol, dan Tyo bermala dulu di tebing dengan kedalaman 600 meter.
Mereka tidur dengan bantuan tali yang dibor ke batu agar tidak tergelincir ke jurang yang lebih dalam.
"Kita tidur bergantung di batu, berharapnya malam itu tidak hujan," kata Agam.
Sebab jika hujan turun, lanjut Agam, maka dipastikan ketujuh rescuer yang bermalam di tebing dipastikan akan meninggal dunia semuanya.
"Kalau hujan kita semua mati bang. Kalau hujan bakal ada longsor batu dari atas, kedua kita bakal kena hipotermia. Suhu di tebing itu juga mencapai 5 derajat dan mereka hanya tidur menggunakan sleeping bag. Tenda kami bawa tapi gak bisa dipasang," jelasnya.
Bahkan kata Agam, Syamsul saat malam pertama juga sempat menginap di tebing seorang diri. Ia berharap pagi harinya bisa menemukan Juliana Marins.
Padahal kata Agam, apa yang dilakukan Syamsul itu melanggar proses evakuasi karena membahayakan nyawanya karena dilakukan malam hari.
"Tidak safety, tapi teman-teman Lombok Timur melakukan itu demi Juliana hidup, ternyata sampai di lokasi tidak ada. Perjuangan banget, mempertaruhkan nyawanya," kata Agam lagi. (TribunnewsBogor)