Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Bobby Koloway
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Pemkot Surabaya memberlakukan kebijakan jam malam kepada anak di bawah usia 18 tahun. Rencananya, giat sweeping akan mulai dilakukan untuk mengantisipasi anak-anak keluar malam.
Wali Kota Eri menggandeng berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan komunitas untuk membentuk satuan tugas (satgas) di setiap RT/RW. Satgas ini akan menjadi garda terdepan dalam mengawasi dan memberikan edukasi di lingkungan masing-masing.
"Jam malam ini adalah upaya kita menggerakkan semua komunitas dan LSM untuk mengawasi di setiap RT dan RW. Di sana akan ada satgas yang diisi perwakilan RT, RW, komunitas, dan pemerintah kota," kata Wali Kota Eri di Surabaya.
Nantinya, kebijakan jam malam akan berlaku mulai pukul 22.00 hingga 04.00 WIB.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada keterlibatan aktif orang tua dan seluruh elemen masyarakat, bukan hanya peran pemerintah.
Wali Kota Eri menekankan bahwa tanpa peran orang tua, upaya pemerintah tak berjalan optimal. Kebijakan ini diharapkan dapat mengantisipasi anak-anak yang berkeliaran di malam hari tanpa pengawasan.
Tanpa pengawasan dari orang tua, anak-anak dapat berpotensi menimbulkan kenakalan remaja.
"Tanpa peran orang tua, apa yang dilakukan pemerintah itu tidak ada artinya. Kita sering melihat anak-anak di taman atau di jalan saat jam 10 atau 11 malam tanpa pengawasan. Inilah yang harus kita benahi," ujar dia.
Berbagai potensi kenakalan remaja yang diantisipasi di antaranya minum-minuman keras, tawuran, hingga perilaku gengster yang bisa saja menganggu ketertiban umum. Bukan hanya berbahaya untuk masyarakat, namun juga para pemuda itu sendiri.
Rencananya, kebijakan jam malam ini akan difokuskan pada sweeping di ruang publik terbuka, seperti taman dan jembatan.
Anak-anak yang ditemukan berkeliaran tanpa pengawasan akan dijemput dan diantar pulang.
Orang tua mereka juga akan didokumentasikan sebagai bentuk peringatan dan edukasi.
"Jika ada anak-anak di kafe atau tempat nongkrong lewat dari jam 10 malam tanpa orang tuanya, apakah orang tua mereka tidak mencari? Nah ini tidak masuk akal. Kecuali anak tersebut sedang belajar atau les,” tuturnya.
Tanpa kekerasan, pihaknya akan melakukan upaya penyadaran melalui pendekatan psikologis.
Pemkot Surabaya akan melibatkan psikolog dari perguruan tinggi untuk membina anak-anak yang terjaring sweeping.
“Bagi anak-anak yang terjaring sweeping, Pemkot Surabaya telah menyiapkan program pembinaan. Kalau sudah ditangkap, kita tanya sama orang tuanya, mau diapakan anak ini? Apakah butuh pembinaan psikologi?,” katanya.
Anak-anak yang terjaring sweeping akan menjalani pembinaan selama 7 hari di Rumah Perubahan, lengkap dengan pendampingan psikolog.
Pemkot juga menyediakan fasilitas pendidikan melalui Rumah Ilmu Arek Surabaya (RIAS) bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu dan menghadapi kendala biaya pendidikan formal.
Program RIAS ini memang dirancang khusus untuk memastikan setiap anak Surabaya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar.
"Saya ingin mengubah Surabaya dengan budaya areknya, dan itu bisa. Kita tidak akan menyelesaikan masalah dengan kekerasan, tapi dengan menyentuh akarnya," katanya