Kebersahajaan Orang Sasak Senaru di Lereng Rinjani Menjaga Tradisi
Moh. Habib Asyhad June 29, 2025 09:34 PM

Budaya asing sering dituding sebagai perusak budaya asli. Tapi di Dusun Senaru, kaki Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat, adat istiadat Sasak tak berubah hanya oleh kedatangan orang asing. Berikut catatan yang dibuat oleh G Sujayanto dan Mayong S. Laksono, yang tersusun atas bantuan Khaerul Anwar di Mataram yang tayang di Majalah Intisari pada Februari 1992.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Musim panen tiba, hampir semua warga pergi ke sawah. Yang tertinggal hanyalah wanita-wanita tua, anak-anak, angsa, ayam, dan anjing. Rumah-rumah berderet rapi, bersebelahan dengan lumbung padi yang membisu di pekarangan bersih dan apik, menyiratkan kesunyian asli Senaru. "Semua orang pergi ke sawah atau ladang, dari pagi sampai sore, jelas,” Amak Nuli Ajib, seorang warga.

Kesunyian tetap terasa, kendati sedikit di hadapannya, pendaki Rinjani – entah domestik atau turis mancanegara - lewat nyaris tanpa henti. Satu-dua ada yang masuk - sekadar melihat-lihat atau memotret.

Begitulah Senaru, salah satu dusun dalam wilayah Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Lombok Barat bagian utara. Terletak pada ketinggian sekitar 550 m dari permukaan laut dan bersuhu berkisar 22°C, Senaru merupakan desa terakhir menuju ke puncak Gunung Rinjani. Suatu pemukiman berbentuk potongan kue tar (sempit di bagian depan tapi lebar di bagian belakang) yang dikelilingi pagar, dengan jumlah penghuni tetap, yakni 13 KK.

Komunitas Senaru hanyalah bagian kecil dari seluruh warga Desa Bayan yang jumlahnya sudah mencapai ribuan. Namun di sinilah unsur-unsur dan pola-pola kehidupan asli Sasak masih terpelihara.

Rumah barat - timur

Seperti desa-desa lainnya, kehidupan Senaru pun tak menggebu. Aktivitas keseharian praktis diisi kerutinan. Para warga menggantungkan hidup dari sawah dan ladang yang ditanami padi atau kopi. Pertanian memang jadi andalan. Salah satu bukti, bahwa mereka sangat dekat dengan alam.

Sekaligus menghormatinya, lantaran alam menyediakan semua kebutuhan hidup orang Senaru. Perwujudannya adalah filosofi khas adat Sasak, yakni wefu telu, antara lain berisi ajakan menghormati segala sesuatu yang tumbuh, yang bertelur dan yang beranak.

"Ayam termasuk diadatkan karena bertelur," ungkap Raden Gedarip (41), pemuka masyarakat Bayan. "Orang yang mau potong ayam, harus memenuhi ketentuan. Kalau sekadar untuk ramai-rainai dan tidak ada fungsinya, dilarang oleh adat."

Ini berlaku juga untuk berbagai hal lain semisal penebangan pohon. "Harus seizin pemuka adat," sela Nuli Ajib.

Begitupun berbagai keyakinan dan ketetapan hati. "Mata air yang dikeramatkan, sebaiknya dibiarkan apa adanya. Kalau dibuatkan kolam, sumber airnya malah akan mati. Inilah yang masih jadi kepercayaan," ujar Gedarip.

Kesimpulan yang ditarik berdasarkan keyakinan. Bila alam diganggu, manusialah yang akan menanggung akibatnya. Segala karunia yang ada di alam, yang setiap hari dijumpai pada perjalanan Senaru-puncak Rinjani, bukan hal yang boleh diperlakukan sembarangan.

Maka, ketika beberapa warga mengulurkan tangan sebagai pemandu pendakian, biasanya dibarengi anjuran agar jangan merusak alam. Nyatanya alam di sekitar tetap terjaga. "Orang sini pun merasa senang dapat penghasilan sebagai pemandu," kata Nuli Ajib.

Sisi-sisi kehidupan luar yang berpengaruh kepada masyarakat Senaru memang cukup hanya sampai di sini. Selebihnya, mereka masih hidup dan berpandangan sebagaimana diwariskan para leluhur. Bentuk rumah beserta tata cara pendiriannya, bagian-bagiannya, masih sama. Rumah didirikan di atas pondasi tanah setinggi 25 cm, tiangnya terbuat dari kayu dengan dinding kulit bambu dan atap alang-alang. Setiap rumah tanpa jendela dan hanya punya satu pintu yang menghadap ke arah timur atau barat. Sebuah keyakinan turun-temurun, bahwa rumah adalah pusat segala kegiatan keluarga. "Lagi pula, dengan hanya satu pintu, rezeki yang sudah masuk rumah tidak mudah lepas lagi," kata Gedarip.

Setiap rumah terdiri atas beberapa bagian bangunan menurut fungsinya. Ada hinan bale alias rumah induk tempat menyimpan barang-barang, ada geleng atau sambi atau lumbung untuk menyimpan beras, ada pula bangunan khusus yang disebut beruga, yakni panggung bertiang (saka) enam tempat menerima tamu atau menyemayamkan jenazah. Masing-masing tersusun rapi, membentuk formasi yang sangat teratur. Di sebelahnya terdapat rumah pembekel atau keliang, petinggi dusun. Semuanya masuk dalam satu halaman luas yang sekelilingnya dipagari dengan dua pintu, masing-masing di bagian depan dan belakang. “Lagi-lagi maksudnya agar rezeki cepat terkumpul,” jelas Gedarip.

Rumah yang menyatu menjadikan suasana kekerabatan terasa erat. Walau sebagian kecil warga ada yang melanjutkan sekolah ke ibukota provinsi misalnya, tapi sebenarnya tradisi merantau tidak mereka kenal. Pergi ke luar daerah termasuk kegiatan yang dienggani. “Lebih baik mati di tempat daripada mati di negeri orang,” jelas Gedarip. Ini disebabkan rasa cinta keluarga yang mendalam, rasa aman tinggal di lingkungannya. Namun, meski hubungan antarindividu demikian kuat, masyarakat membuat semacam larangan atau pamali. Antara lain larangan berzinah, mencuri, dan lainnya. Warga yang melanggar dijatuhi berbagai sanksi. Dari yang berupa denda sampai diusir dan tidak diterima oleh adat lagi. “Makanya, salah satu cara menghindari awig-awig itu, banyak kaum pria yang berpoligami. Ini lebih dimungkinkan daripada berzinah,” kata Gedarip seraya menyebut contoh dirinya yang punya empat istri, dengan 14 anak.

Potong gigi dan kunyah sirih

Kendati ladang Senaru banyak menghasilkan kopi, masyarakatnya jarang minum kopi. Orang lebih banyak mengunyah sirih daripada merokok atau minum kopi. Tanda yang cukup khas dari warga Senaru – dan Sasak tradisional pada umumnya – adalah gigi dan bibir merah karena sirih yang kerap dikunyah. Plus tanda lain yang mirip dengan orang Bali, yakni gigi yang diasah rata. Istilahnya merosok, dilakukan sebagai pertanda saat seseorang memasuki masa akil balig.

Sirih, kapur, pinang, dan tembakau dalam tempat yang disebut pabuan, selalu ada di setiap rumah. Sejak usia muda, seorang laki-laki sudah berkenalan dengan ramuan kunyah-kunyah ini. Hingga dewasa, pabuan selalu ada di setiap kegiatan. Malah terkadang dihidangkan untuk para tamu.

Dalam beberapa hal, Sasak di Senaru mirip dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta. Setidak-tidaknya ini yang dibenarkan oleh Raden Geradip. Pengaruh Hindu, Budha, dan Islam cukup dominan. Jauh sebelum sampai pada bentuknya sekarang, Senaru dulunya disebut negara suwung (kosong). Sebagian besar masyarakat masih menganut paham animisme. Namun sejak abad ke-16. gaung ajaran Islam oleh para wali sampai juga di sana. Selain memberikan pengajaran agama, para wali juga menyiapkan pengganti ketika mereka tidak lagi di situ. Salah satu yang tersisa hingga sekarang adalah masjid kuno Bayan Beleq yang terletak sedikit di bawah Dusun Senaru.

Masjid yang sudah reot itu terletak di atas sebuah bukit, dengan dinding yang terbuat dari kulit kayu, dan atapnya terdiri atas potongan-potongan bambu yang diruncingkan. Di sampingnya terdapat dua makam kiai yang pernah memimpin umat, dan tak jauh dari situ mengalir sebuah sungai kecil, yang sebagian diteduhi pohon-pohon rindang tempat monyet berkeliaran. Betul-betul sebuah tempat yang dipilih dengan perhitungan yang amat matang.

Meski umumnya masyarakat Senaru memeluk agama Islam, namun sebagian belum meninggalkan adat peninggalan leluhur yang disebut wetu telu tadi. Seorang anak yang berumur 4 atau 8 hari, misalnya, diperingati dengan upaya mbuang awu, sekaligus diberi nama oleh dukun anak. Dua atau tiga tahun kemudian dia harus menjalani potong rambut untuk pertama kali, kemudian dikhitan oleh kiai pada saat umur seorang laki-laki menginjak tujuh tahun.

Ketika dewasa, dia harus menyiapkan diri untuk menikah. Pola pernikahan biasanya berlangsung menurut keinginan dua pihak yang akan kawin. Masyarakat Senaru percaya bahwa perkawinan berdasarkan suka loka (dijodohkan) jarang mencapai kebahagiaan. Berdasarkan anjuran warga di bawah pimpinan pembekel, pihak laki-laki harus menyiapkan aji adat, yaitu harga sesuatu yang harus dibayarkan kepada pihak perempuan. Istilah yang dipakai adalah dedosan, yaitu denda adat yang ditujukan kepada ahli waris, yakni mempelai laki-laki. Bentuknya bisa berupa uang bolong (logam yang bagian tengahnya berlubang), beras, atau kerbau. Uang bolong adalah ciri cukup unik, lantaran sampai sekarang masih ada, meski sekadar untuk simbol. Waktu penagihan dedosan jatuh belakangan, dimaksudkan sebagai wirang, yakni pengganti seandainya perkawinan gagal karena pihak laki-laki tak sanggup membayar denda.

Sesudah menikah, pasangan suami-istri tak diperkenankan lagi tinggal seatap dengan orangtuanya. Mereka harus membangun rumah untuk keluarga barunya. Jadilah "pemerintahan" kecil di dalam keluarga menurut aturan adat Senaru. Antara lain pembagian hak dan tanggung jawab kepada anak berdasarkan pengertian turun wali untuk anak laki-laki, dan turun bibit untuk anak perempuan. Menurut Raden Gedarip, maksudnya adalah pemberian hak waris yang lebih besar kepada anak laki-laki. Pembagiannya mikul berbanding njunjung, yakni 2 : 1.

Tiga tingkatan kiai

Masyarakat Senaru sangat menghormati arwah leluhurnya. Seorang warga yang meninggal wajib dihormati dengan menempuh berbagai upacara. Mulai hari pertama kematian yang disebut, nusur tanah, melung (hari ketiga), teh ajian (hari kelima), kayu-kayuan (hari keenam), metu (hari ketujuh), sembilan, empat puluh, seratus, dan seribu hari. Mayat tidak harus langsung dikuburkan bila masih menunggu anggota keluarga yang belum hadir. Untuk itu diutus seseorang untuk memberitahukan, yang disebut menutup. Para pelayat datang dengan membawa uang; yang nanti juga akan dibagikan lagi kepada mereka (cacah rambu).

Segala upacara yang menyangkut hajat desa atau perseorangan, biasanya dipimpin oleh pembekel atau keliang. Nama ini yang sejak dulu dikenal, jauh sebelum diganti istilah populer kepala dusun. Pembekel, adalah sosok yang mewakili simbol kekuasaan. Dia harus memerintah dengan bijak, mengambil keputusan penuh pertimbangan. Keseimbangan jiwanya harus dijaga, ke mana-mana harus dikawal dan dibantu agar tidak capek dan bisa mengakibatkan kemarahannya. Meski begitu, keputusannya tidak mutlak, mengingat sikap gotong-royong (besoroan, betulungan) yang masih sangat kuat.

Meski tak soal bahwa dia pria atau wanita, sejauh dipilih secara demokratis, tokoh semacam ini hanya muncul dari lapisan bangsawan (biasanya bergelar raden atau lalu), bukan keturunan rakyat biasa (yang biasanya bergelar amak).

Masyarakat Bayan juga mengenal pimpinan lain, yakni kiai yang di seluruh Desa Bayan berjumlah lebih dari 40 orang. Dalam pengertian biasa, kiai dibagi menjadi tiga macam, masing-masing berdasarkan tingkat sosial dan fungsi kemasyarakatannya. Kiai kagungan adalah yang bertugas sebagai penghulu, khatib, atau modin. Kiai raden adalah unsur bangsawan yang berkedudukan sebagai pemuka agama, sedangkan kiai santri adalah kiai biasa. Meski secara fungsional terpisah, peranan mereka dalam agama sama saja. Mereka mengingatkan umat dalam berpuasa, memimpin salat tarawih, dan sebagainya.

Ketika itu, anak-anak Senaru juga masih sekolah di dua SD yang terdapat di Desa Bayan dan belum lama mendapatkan bantuan saluran air dari UNICEF, menggantikan sumber air mereka sebelumnya yang jaraknya 2 km jauhnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.