TRIBUNJAKARTA.COM - Pemandu, Agam Rinjani mengungkapkan kecemasannya saat mengevakuasi jenazah Juliana Marins.
Pendaki asal Brasil itu jatuh di lereng puncak Gunung Rinjani, Nusa tenggara Barat (NTB).
Agam bersama rekan-rekannya tidud dalam kondisi tidak enak.
Ia juga menyebut ajal akan menjemput bila kondisi saat itu diguyur hujan.
Ia khawatir hujan deras turun membasahi lokasi mereka tidur.
"Berharap itu malam semoga tidak hujan, kalau hujan kita semua mati di bawah. Kalau hujan bakal ada longsor dari atas batu, kedua kita bisa kena hipotermia. Tenda kami bawa tapi kan enggak bisa dipasang," kata Agam Rinjani dikutip dari YouTube YIM Official yang tayang pada Sabtu (28/6/2025).
Agam bersama rekan-rekannya tidur dalam kondisi seadanya di tebing curam.
Dengan kondisi tidur mereka seperti itu, tak menutup kemungkinan ajal bisa saja tiba-tiba datang menjemput.
Agam dan rekan-rekan mengaku tidur dalam posisi yang tidak enak dan harus dekat dengan jenazah Juliana Marins di bawahnya.
"Kami tiba jam 7 malam, di situ udah gelap (area evakuasi). Posisi tidurnya juga enggak enak. Miring 45 derajat. Jadi, kita ngebor batu lagi di bawah, batu yang gede-gede, lebih berat batu dibanding kita kan supaya enggak meluncur. Karena semua batuan lepas," ujar Agam.
Mereka kesulitan tidur karena hawa dingin yang sampai menusuk tulang.
Mereka juga tidur hanya bermodalkan sleeping bag.
"Yang bikin sulit karena dingin banget, enggak ada atap. Sleeping bag masuk cuma setengah badan karena alat semua berada di pinggang," katanya.
Medan terjal
Agam, masih mengingat jelas momen saat tubuhnya tergantung di antara tebing curam Gunung Rinjani.
Bersama enam relawan lainnya, ia melakukan rappelling sedalam 400 meter untuk mengevakuasi jenazah Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang ditemukan tewas di lereng Rinjani.
Malam itu, medan curam dan gelap memaksa mereka bermalam di tebing dalam posisi menggantung.
“Kami merapat ke dinding, cari tempat aman, bikin anchor baru. Kami ngebor batu lagi, bawa dinabol, hammer, bikin anchor buat turuni lagi tebing,” ujar Agam di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).
Menurutnya, kondisi makin berbahaya saat tim mulai menjemput korban.
Proses turun dilakukan bergantian: dimulai tim Basarnas, lalu SAR, dan terakhir relawan. Agam turun paling akhir untuk menyiarkan kondisi langsung dari lapangan.
"Pas turun itu ngeri. Batu jatuh dari atas. Batu kecil jatuh, ikut yang besar. Kami bertujuh di bawah, harus hindari tali, kayak main game. ‘Awas batu, awas batu,’" katanya.
Jarak pandang terbatas karena kabut, sementara batu-batu bisa muncul secara tiba-tiba dari berbagai arah.
“Mata harus fokus betul. Tiba-tiba batu sudah di depan muka, jarak cuma 2 meter, dilempar dari ketinggian 400 meter. Itu berat banget,” ucapnya.
Agam menuturkan bahwa dari pantauan drone, medan tampak datar. Namun saat dituruni, kenyataannya sangat miring dan licin.
“Ternyata miringnya kayak gitu. Saya berdiri aja bisa kepleset. Kami ambil posisi kiri, pasang anchor, turun lagi karena waktu itu korban sudah kelihatan,” jelasnya.
Karena medan yang ekstrem, tim memutuskan menunda evakuasi hingga pagi dan bermalam sambil menggantung di tebing, dengan ruang berpijak yang nyaris tidak ada.
"Kalau kami sentuh, bisa meluncur lagi 180 meter ke bawah. Jadi kami biarin, tunggu pagi. Kami tidur sambil menggantung, pakai anchor di batu. Tempat paling datar cuma sejengkal, itu pun miring,” ungkap Agam.
Proses penarikan jenazah Juliana memakan waktu sekitar 12 jam.
Selama itu, tim berada di medan ekstrem tanpa makanan berat, hanya mengandalkan cokelat dan air minum.
"Sampai di atas, baru semua bersorak: ‘Merdeka! Merdeka!’ Itu momen paling lega,” ucap Agam.
(TribunJakarta.com/Kompas.com)