Ekonom Minta RI Diversifikasi Pasokan Minyak Antisipasi Konflik Geopolitik
kumparanBISNIS June 30, 2025 06:40 PM
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menjelaskan alasan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa mengurangi ketergantungan pasokan minyak mentah dari Timur Tengah.
Kabar mengenai ancaman penutupan Selat Hormuz yang dilewati oleh 20 persen dan 30 persen ekspor minyak dan gas dunia.
"Mayoritas dikonsumsi oleh negara-negara Asia, terutama China, India, Jepang, Korea Selatan dan ASEAN,” ujar Wijayanto kepada kumparan, Sabtu (28/6).
Menurutnya, tantangan utama yang dihadapi negara-negara konsumen minyak Timur Tengah adalah ketersediaan pasokan dan harga minyak.
Bagi Indonesia, kondisi ketahanan energi saat ini cukup rentan. Cadangan bahan bakar minyak (BBM) hanya cukup untuk 20 hari, jauh lebih sedikit dibandingkan Jepang dan Korea Selatan yang hampir mencapai satu tahun. Hambatan pasokan yang terjadi dalam waktu singkat dapat menghentikan laju ekonomi nasional.
“Dampaknya, hambatan supply sebentar saja, berpotensi membuat ekonomi berhenti bergerak. Dari sisi harga, setiap kenaikan USD 1 minyak per barel, membuat defisit APBN naik Rp 4-6 triliun. Jadi, dampak pertumbuhan ekonomi dan fiskal sangat kental,” jelas Wijayanto.
Dia menegaskan, kedaulatan energi Indonesia masih sangat lemah. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan tiga hal penting: meningkatkan cadangan BBM, melakukan diversifikasi sumber pasokan minyak, dan mendorong transisi energi dengan kecepatan penuh.
“Kedaulatan energi kita sangat lemah, pemerintah perlu melakukan 3 hal yakni meningkatkan cadangan BBM, melakukan diversifikasi supply minyak, dan mendorong transisi energi dengan kecepatan penuh," katanya.
Menurut Wijayanto, energi baru dan terbarukan (EBT) adalah masa depan menuju kedaulatan energi. Namun selama ini, upaya tersebut belum dijalankan dengan serius karena masih dianggap isu lingkungan semata.
“EBT adalah masa depan kita, menuju kedaulatan energi. Selama ini belum dikerjakan dengan serius karena hanya dianggap isu lingkungan saja; padahal sesungguhnya ini isu kedaulatan, isu pertumbuhan ekonomi, isu penciptaan pekerjaan, isu fiskal, selain tentunya juga isu lingkungan," tutur dia.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyampaikan paparan saat Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Kamis (17/4/2025).  Foto: Widya Islamiati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyampaikan paparan saat Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Kamis (17/4/2025). Foto: Widya Islamiati/kumparan
Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, memperingatkan bahwa penutupan Selat Hormuz jalur utama seperempat perdagangan minyak global berpotensi mendorong harga minyak dunia menyentuh atau bahkan melampaui USD 100 per barel. Ketegangan geopolitik seperti konflik Israel-Iran sudah mulai memicu kenaikan harga tersebut.
Bagi Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak, lonjakan harga akan berdampak besar. Biaya impor meningkat, subsidi BBM membengkak, dan APBN pun tertekan. Nailul menegaskan bahwa tanpa kenaikan harga jual BBM, beban fiskal akan terus bertambah.
Lebih lanjut, inflasi global akibat harga minyak tinggi bisa memicu resesi, yang berdampak pada penurunan perdagangan internasional dan permintaan produk Indonesia. Industri dalam negeri yang bergantung pada bahan baku dan teknologi impor juga terancam karena biaya dan risiko pengiriman meningkat.
Meski kenaikan harga minyak bisa menguntungkan ekspor komoditas Indonesia, Nailul menekankan bahwa nilai positif ini tidak sebanding dengan beban subsidi yang membengkak. Pemerintah perlu cermat membaca situasi geopolitik dan menyiapkan strategi mitigasi dampaknya.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.