TIMESINDONESIA, PASURUAN – Pondok Pesantren (Ponpes) Besuk, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, mengeluarkan fatwa tegas yang mengundang perhatian luas masyarakat. Dalam forum Bahtsul Masail yang digelar bertepatan dengan Satu Muharram 1447 Hijriah, Ponpes Besuk mengharamkan penggunaan sound horeg, tanpa syarat apakah suara tersebut mengganggu atau tidak.
Fatwa ini disampaikan langsung oleh Pengasuh Ponpes Besuk, KH Muhibbul Aman Aly (Kiai Muhib), yang menegaskan bahwa keputusan tersebut bukan semata didasari alasan teknis kebisingan, tetapi juga berdasarkan konteks sosial dan nilai syariah.
“Kami putuskan perumusan dengan tidak hanya mempertimbangkan aspek dampak suara, tapi juga mempertimbangkan mulazimnya disebut dengan sound horeg bukan sound system,” tegas Kiai Muhib, dikutip dari unggahan @ajir_ubaidillah, Senin (30/6/2025).
Kiai Muhib menekankan bahwa hukum haram ini berlaku secara independen, tidak bergantung pada ada tidaknya larangan pemerintah.
“Kalau begitu, maka hukumnya lepas dari tafsir itu sudah, di manapun tempatnya dilaksanakan, mengganggu atau tidak mengganggu, maka hukumnya adalah haram,” ujarnya.
Pernyataan itu kemudian dikonfirmasi oleh KH Muhammad Ajir Ubaidillah, yang menyebut bahwa keputusan fatwa ini lahir dari keresahan sosial yang semakin menguat akibat maraknya penggunaan sound horeg dalam berbagai acara masyarakat.
Dalam forum Bahtsul Masail tersebut, dipaparkan bahwa penggunaan sound horeg kerap diidentikkan dengan syi’ar fussaq (syiar orang-orang fasiq), karena sering kali mengundang aktivitas yang tidak pantas, termasuk berjoget secara bebas dan campur baur antara laki-laki dan perempuan.
“Penggunaan sound horeg adalah haram, baik mengganggu pihak lain atau tidak,” tegas salah satu poin dalam keputusan forum.
Selain merusak ketertiban sosial, praktik ini juga dianggap bertentangan dengan nilai kesopanan dan prinsip-prinsip syariat Islam, meski masih banyak yang memandangnya sebagai bagian dari hiburan tradisional.
Ponpes Besuk berharap fatwa ini dapat menjadi rambu moral bagi masyarakat Muslim, khususnya di wilayah Pasuruan dan sekitarnya, dalam menentukan bentuk hiburan yang sesuai dengan nilai-nilai agama.
Banyak tokoh agama lokal pun menyambut baik fatwa ini. Mereka menyerukan agar pemerintah daerah ikut mengkaji ulang keberadaan sound horeg yang marak digunakan dalam acara perayaan, khitanan, hingga karnaval di jalanan.
“Kami harap masyarakat bisa mempertimbangkan aspek keberkahan, bukan sekadar kegembiraan sesaat,” ujar salah satu peserta forum.
Fatwa ini juga menjadi bagian dari upaya pesantren untuk mengawal nilai-nilai syariah dalam kehidupan sosial masyarakat yang terus bergerak dinamis di era modern.(*)