TIMESINDONESIA, JOMBANG – Tradisi budaya lokal tidak hanya mempertahankan nilai leluhur, tetapi juga mencerminkan wajah asli kedermawanan bangsa. Temuan ini memperkuat laporan World Giving Index 2024 oleh Charities Aid Foundation (CAF) yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia, serta studi Global Flourishing Study yang dilakukan oleh Universitas Harvard, Universitas Baylor, Gallup, dan Center for Open Science (COS) pada April 2025, yang menobatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat perkembangan manusia (human flourishing) tertinggi di dunia.
Survei ini menunjukkan bahwa warga Indonesia memiliki ruang bertumbuh karena memiliki makna hidup, tujuan, dan relasi sosial yang kuat—dimensi penting dari kebahagiaan dan kepenuhan hidup. Harta bukanlah segalanya, dan masyarakat Indonesia dinilai mampu memelihara tradisi yang berakar kuat dalam relasi keluarga, komunitas, dan budaya lokal.
Nyadran menjadi bentuk nyata dari praktik "gift economy"—model ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan pribadi, tetapi pada makna sosial, spiritual, dan hubungan antarwarga.
"Gotong royong, sedekah makanan, kerja tanpa pamrih—semuanya hadir dalam praktik Nyadran. Inilah bentuk ekonomi Indonesia yang sesungguhnya: ekonomi berbasis nilai," terang Hafis Muaddab, peneliti Nyadran dari Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Malang kepada TIMES Indonesia, Senin (30/6/2025).
Ide besar dalam penelitian ini ingin mengangkat bahwa local genius Indonesia telah membuktikan bahwa kedermawanan bukan hanya etika, melainkan sistem sosial yang hidup di tengah tradisi seperti Nyadran.
Hal ini terkonfirmasi melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Hafis Muaddab, peneliti disertasi Budaya Ekonomi dalam Tradisi Jawa: Studi Perilaku Ekonomi dalam Tradisi Nyadran di Kabupaten Nganjuk (2025), yang mengkaji hubungan antara nilai budaya, praktik komunal, dan perilaku ekonomi masyarakat melalui studi lapangan di Desa Sonoageng, Nganjuk. Penelitian ini dilakukan melalui studi etnografi ekonomi di Desa Sonoageng, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk.
Penelitian ini menemukan bahwa total estimasi pembiayaan kolektif selama rentang pelaksanaan Nyadran yang berlangsung hampir 20 hari di dusun tersebut mencapai Rp1,03 miliar. Angka ini belum mencakup kontribusi finansial maupun kehadiran diaspora warga Sonoageng yang telah merantau dan bekerja di luar daerah.
Diaspora ini seringkali tetap terlibat secara aktif, baik melalui pengiriman dana, pulang kampung untuk ikut Nyadran, maupun membantu pelaksanaan acara. Hal ini menunjukkan bahwa Nyadran juga memiliki daya ikat lintas geografis yang memperkuat solidaritas sosial dan ekonomi warga.
Jika kontribusi dari diaspora Sonoageng yang berada di luar daerah diperhitungkan secara utuh—melalui dana yang mereka kirim, partisipasi saat pulang kampung, atau bantuan pelaksanaan acara—angka pembiayaan kolektif Nyadran ini berpotensi menembus Rp2 miliar. Ini memperlihatkan bahwa nilai ekonomi budaya bisa jauh melampaui angka yang tampak di permukaan.
Nyadran—ritual budaya masyarakat Jawa yang berupa doa bersama dan ziarah makam leluhur—memuat praktik ekonomi kolektif yang kuat. Melalui pendekatan ekonomi budaya dengan studi etnografi ekonomi, Hafis menghitung estimasi belanja warga untuk tumpeng, pertunjukan seni, dan logistik panitia, yang mencerminkan dinamika ekonomi partisipatif berbasis nilai spiritual dan solidaritas sosial.
Temuan Riset: Sebaran dan Skala Pelaksanaan Nyadran
Berdasarkan survei awal Budaya Ekonomi Dalam Tradisi Nyadran di Kabupaten Nganjuk terhadap 560 responden dari 20 kecamatan, ditemukan bahwa tradisi Nyadran masih sangat hidup dan melekat di masyarakat.
Sebanyak 91,3% desa masih melestarikan tradisi ini. Lokasi favorit pelaksanaan Nyadran adalah makam leluhur (39,5%), punden desa (17,9%), dan balai desa (17%). Adapun waktu pelaksanaan sebagian besar mengikuti penanggalan Jawa (59,3%), ditentukan oleh tokoh adat (57,9%), dan umumnya digelar pada malam Jumat atau usai panen.
Kabupaten Nganjuk sendiri memiliki 20 kecamatan, 20 kelurahan, dan 264 desa, dari total 666 kecamatan, 777 kelurahan, dan 7.724 desa di Jawa Timur. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya tercatat mencapai 1.096.944 jiwa, dengan luas wilayah 1.224,25 km² dan tingkat kepadatan 896 jiwa/km².
Nyadranomics: Dari Tumpeng hingga Milayaran Rupiah
“Saya lebih suka menyebut pergerakan ekonomi local berbasis tradisi Nyadran dengang istilah Nyadranomics,” kata Mantan Sekretaris PC GP Ansor Jombang itu.
Dalam tradisi Nyadran yang telah berusia ratusan tahun di Desa Sonoageng, setidaknya terdapat 2.685 kepala keluarga (KK) yang berpartisipasi. Umumnya, setiap keluarga membuat dua tumpeng—satu untuk keluarga sendiri, dan satu lagi untuk prosesi bersama di makam. Jika satu tumpeng memerlukan biaya sekitar Rp300.000, maka belanja tumpeng berpotensi mencapai Rp1,6 miliar. Namun, dengan pendekatan konservatif, perhitungan resmi dalam riset ini hanya menggunakan satu tumpeng per KK—yakni senilai Rp805,5 juta.
Di luar itu, tercatat 31 pertunjukan seni dan budaya digelar, terdiri dari campursari, jaranan, wayang kulit, elektone, dan prosesi adat. Biaya pementasan diperkirakan mencapai Rp181,5 juta, ditambah Rp50 juta untuk dekorasi, sewa kostum, sewa panggung dan sound system, konsumsi panitia, dan logistik prosesi nyadran.
Dengan demikian, total pembiayaan kolektif Nyadran Sonoageng 2025 diperkirakan mencapai lebih dari Rp1,03 miliar. Belum termasuk biaya keamanan, dokumentasi, dan pengeluaran tak terduga lainnya. Dengan 31 titik acara, biaya keamanan sendiri diprediksi melampaui Rp30 juta, mencerminkan skala besar acara dan pentingnya kolaborasi dengan aparatur setempat.
"Data ini bukan angka absolut, melainkan pendekatan estimatif berbasis partisipasi masyarakat. Namun, cukup kuat untuk menggambarkan bagaimana budaya menggerakkan ekonomi," terang Hafis.
Seperti Apa Nyadran di Sonoageng?
Desa Sonoageng, yang terletak di Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk, memiliki lima dusun. Kelima dusun tersebut adalah Dusun Sonoageng, Dusun Banyuurip, Dusun Sumber, Dusun Gading, dan Dusun Waung. Masing-masing dusun memiliki tradisi Nyadran mereka sendiri-sendiri, yang dilaksanakan secara komunal dan sesuai dengan kearifan lokal masing-masing wilayah.
Menurut data hasil penelitian yang ada, Prosesi Nyadran di Dusun Sonoageng mulai terlembagakan sejak tahun 1994, yang berarti telah berjalan selama lebih dari 30 tahun, meskipun praktik komunalnya telah berlangsung jauh sebelumnya secara turun-temurun di masyarakat. Dikenal oleh banyak kalangan sebagai ritual Jumat Pahing, yang secara konsisten dijadikan penanda waktu pelaksanaan Nyadran dan telah membentuk pola budaya ekonomi yang kuat dan berulang setiap tahun.
Keyakinan Kepala Desa Sonoageng, Suharto Sanga, tentang pentingnya tradisi Nyadran tidak terlepas dari konsep danyang sebagai pelindung desa, beliau juga menegaskan bahwa Nyadran adalah ritual budaya yang berakar kuat dalam nilai-nilai lokal dan tidak semestinya dipertentangkan dengan agama.
Pria yang akrab disapa Suharto menegaskan bahwa tradisi ini telah menjadi bagian dari cara masyarakat menjalankan spiritualitas dalam bingkai budaya, sehingga kedudukan Nyadran tidak menyalahi ajaran agama, melainkan memperkuat kesadaran sosial dan nilai syukur atas kehidupan. Oleh karena itu, Dalam Agama Jawa, Geertz (2013:23) menjelaskan bahwa danyang merupakan leluhur pendiri desa yang setelah wafat berubah menjadi penjaga spiritual wilayah. Konsep ini membantu memahami mengapa ketiadaan ritual Nyadran, seperti yang dialami Bapak Suharto selama memimpin Desa Sonoageng, sering dikaitkan dengan berbagai musibah yang menimpa warga.
Beatty (1999) dalam penelitiannya memperkuat pemahaman ini dengan menjelaskan bahwa sesaji dalam Nyadran berfungsi sebagai media komunikasi simbolis dengan danyang untuk menjaga harmoni kosmis sekaligus menjadi mekanisme preventif terhadap malapetaka. Lebih dari itu, ritual ini juga berperan sebagai penguat solidaritas sosial melalui partisipasi aktif seluruh dusun.
Praktik Nyadran di Sonoageng ternyata bukan sekadar ritual tahunan biasa. Ritual ini merupakan manifestasi konkret dari kontrak spiritual antara warga dengan leluhur pendiri desa, sekaligus berfungsi sebagai sistem peringatan dini yang diyakini mampu mencegah bencana. Di tingkat yang lebih luas, Nyadran juga menjadi strategi kultural yang efektif untuk memelihara kohesi sosial antardusun.
Untuk Dusun Sonoageng, terdapat tiga makam yang biasanya digunakan untuk tumpengan menjelang prosesi puncak Nyadran. Di antaranya adalah Makam Sonogowok, Makam Syekh Wahdzat atau dikenal sebagai Mbah Wahdzat, dan Makam Mbah Said. Namun dari ketiganya, Makam Mbah Said menempati posisi paling sentral. Mbah Said adalah tokoh pendiri desa yang dianggap sebagai danyang desa atau leluhur yang pertama kali membabat tanah di Desa Sonoageng.
Syekh Wahdzat diyakini merupakan salah satu pasukan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825–1830) yang ikut membabat alas Desa Sonoageng bersama Raden Said Anom dan Mbah Putri. Sementara itu, Mbah Said dikenal sebagai 'Mbahe wong Sonoageng' yang diyakini sebagai tokoh utama yang pertama kali membabat Desa Sonoageng dan menjadi danyang desa. Mbah Said dimakamkan di belakang SDN 2 Sonoageng, di bawah pohon beringin besar, dan menjadi pusat ziarah masyarakat.
Pelaksanaan Nyadran ditentukan pada hari Kamis Legi malam Jumat Pahing, yang dipercaya sebagai hari wafatnya Mbah Said. Menjelang kegiatan Nyadran, warga mulai membuat tumpeng sejak H-10 untuk diujubke di makam, masjid, atau tempat lain sesuai keyakinan, Kepala Desa menghimbau agar tumpengan Nyadran difokuskan di makam sebagai bentuk penguatan identitas budaya lokal, sementara tumpengan di masjid lebih cocok dilaksanakan pada hari-hari besar keagamaan.
Tumpeng yang dibawa ke Makam Mbah Said akan diujubke oleh juru kunci makam yakni Mbah Narto dan Mbah Tohar. Setelah doa dan kenduri selesai, tumpeng tersebut dibagikan kepada semua yang hadir dalam bentuk "nasi berkat", tanpa ada undangan khusus—siapa pun yang hadir berhak mendapatkan bagian.
Sosok Mbah Said atau Eyang Said oleh warga disebut sebagai "Mbahe wong Sonoageng". Banyak warga meyakini nadar di makam Mbah Said sering terkabul, menjadikannya pusat spiritual desa.
Dengan kedalaman nilai, intensitas pelibatan masyarakat, dan kesinambungan sejarahnya, Nyadran di Sonoageng adalah ekspresi utuh spiritualitas kolektif, warisan budaya, dan solidaritas sosial yang hidup dan terus berkembang.
Nyadran sebagai Kalender Ekonomi Budaya
Nyadran di Dusun Sonoageng berfungsi sebagai kalender ekonomi budaya yang menandai puncak aktivitas ekonomi kolektif berbasis tradisi. Dalam pendekatan ekonomi budaya, tradisi seperti Nyadran tidak hanya dilihat sebagai praktik spiritual, tetapi juga sebagai mekanisme distribusi nilai dan sumber daya antarwarga secara berkala. Seiring waktu, Nyadran menjadi penanda siklus tahunan yang ditunggu oleh berbagai pelaku ekonomi lokal.
Momen ini dimanfaatkan oleh pelaku usaha mikro—dari pengrajin sesaji, pedagang bahan makanan, hingga penyewa perlengkapan—untuk meningkatkan perputaran pendapatan. Tidak hanya itu, seniman tradisional seperti grup jaranan, wayang, dan campursari mendapatkan panggung dan penghasilan dari serangkaian pertunjukan yang diadakan secara maraton.
Anak-anak muda dan pelajar pun dilibatkan dalam aktivitas dokumentasi, konsumsi bersama, hingga penataan acara, membentuk ekosistem pembelajaran budaya yang aplikatif dan bernilai sosial tinggi.
Dengan kata lain, Nyadran tidak hanya menciptakan dampak ekonomi langsung melalui belanja komunal, tetapi juga menyusun siklus sosial tahunan yang mempertemukan fungsi ekonomi, budaya, spiritual, dan pendidikan masyarakat lokal dalam satu harmoni.
"Gotong royong, sedekah makanan, kerja tanpa pamrih—semuanya hadir dalam praktik Nyadran. Inilah bentuk ekonomi Indonesia yang sesungguhnya: ekonomi berbasis nilai," tambah Hafis.
Apakah Nganjuk Layak Disebut Kota Nyadran Indonesia?
Berdasarkan temuan penelitian ini, Hafis Muaddab menyampaikan bahwa Kabupaten Nganjuk memiliki landasan kuat untuk dikukuhkan sebagai Kota Nyadran Indonesia. Hal ini tidak semata karena frekuensi dan skala pelaksanaan ritual, tetapi juga karena kedalaman nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.
Tradisi Nyadran terbukti masih terpelihara di hampir seluruh kecamatan di Nganjuk. Survei awal Budaya Ekonomi Dalam Tradisi Nyadran di Kabupaten Nganjuk terhadap 560 responden dari 20 kecamatan menunjukkan bahwa 91,3% desa masih secara aktif melaksanakan Nyadran. Ini bukan sekadar adat istiadat, melainkan bagian dari sistem sosial yang terus dipraktikkan secara turun-temurun.
Di sisi lain, potensi seni-budaya di Nganjuk juga luar biasa. Kabupaten ini menempati peringkat kedua terbanyak dalam jumlah kelompok kesenian dan sanggar budaya di Jawa Timur. Keberadaan komunitas-komunitas seni tersebut menjadi jantung dari kelangsungan tradisi-tradisi lokal seperti Nyadran.
Lebih jauh, Dusun Sonoageng menunjukkan bagaimana Nyadran bisa menjadi kekuatan kolektif desa. Selama hampir 20 hari pelaksanaan, Nyadran di dusun ini menyedot perhatian warga lintas usia, melibatkan ratusan kepala keluarga, dan menggerakkan lebih dari satu miliar rupiah. Fakta ini menjadikan Nyadran Sonoageng sebagai perayaan termegah di Kabupaten Nganjuk dan simbol kekuatan ekonomi berbasis budaya.
Tradisi ini pun mulai masuk ke dalam dunia pendidikan melalui integrasi di Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Selain itu, praktik Nyadran berkontribusi pada tujuan global pembangunan berkelanjutan (SDGs). Nyadran membantu menciptakan:
• Pendidikan berkualitas (SDG 4), melalui pewarisan budaya yang terstruktur.
• Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (SDG 8), melalui keterlibatan UMKM, pelaku seni, dan penyedia jasa lokal.
• Pengentasan kemiskinan (SDG 1), dengan menggerakkan belanja komunal yang berdampak pada pendapatan kelompok marjinal.
• Kota dan pemukiman berkelanjutan (SDG 11), melalui pelestarian identitas dan warisan budaya desa.
"Gotong royong dan tradisi seperti ini menjadi kekuatan lokal Nganjuk yang luar biasa. Tidak berlebihan jika Nganjuk disebut sebagai Kota Nyadran. Inilah wujud kekompakan dan semangat warga Kota Angin dalam merawat budaya dan kebersamaan," ujar Bupati Nganjuk, Marhaen Djumadi, sebagaimana dilansir dalam acara tasyakuran massal bertajuk 1.088 Tumpeng Hari Jadi Nganjuk.
Dengan semua potensi yang dimiliki, Nganjuk selangkah lebih dekat untuk mendapat pengakuan sebagai pusat tradisi Nyadran nasional. Nyadran Sonoageng 2025 sendiri akan berlangsung dalam rentang waktu 4 Juni hingga 4 Juli 2025, meliputi pesta rakyat, bazar UMKM, serta pertunjukan seni budaya setiap malam yang digelar mulai Senin hingga puncak acara pada 3 Juli 2025. Serangkaian agenda ini menjadi bukti nyata bahwa budaya bisa menjadi wahana ekonomi partisipatif yang menghidupkan desa dan mempererat solidaritas. (*)