I am Nobody: Ketika Kehampaan Menjadi Pintu Menuju Eksistensi
Julpadli July 01, 2025 12:20 PM
Dalam hidup ini, ada 3 pertanyaan eksistensial yang mudah diucapkan namun hingga kini masih menjadi perdebatan panjang. Salah satunya adalah pertanyaan: "kamu siapa?" Dan kita pun biasa merespons dengan nama, pekerjaan, gelar, atau pencapaian. Tapi bagaimana jika jawabannya adalah: "Saya bukan siapa-siapa." Kalimat itu terdengar menyedihkan, bahkan mengkhawatirkan. Tapi dalam serial Netflix I Am Nobody, justru dari kata itulah semuanya dimulai.
Serial fantasi asal Tiongkok tersebut bukan hanya menyuguhkan aksi dan kekuatan super, tapi juga membuka pintu bagi perenungan eksistensial yang mendalam. Melalui tokoh Zhang Chulan, seorang mahasiswa biasa yang mendadak terjebak dalam dunia supernatural, kita diajak melihat bagaimana makna "nobody" ternyata bukan kekurangan, melainkan potensi.
Dalam filsafat, mengakui bahwa kita tidak tahu apa-apa adalah tanda awal kebijaksanaan. Sokrates mengatakan ”satu-satunya kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa kamu tidak tahu apa-apa”.
Dalam konteks serial ini, Zhang Chulan adalah representasi manusia yang tidak tahu siapa dirinya, tidak sadar akan kekuatannya, dan tidak merasa istimewa. Tapi justru karena itu, dia bisa belajar, tumbuh, dan memilih jalannya sendiri. Ada semacam kerendahan hati yang tulus dalam ketidaktahuan itu.
Dalam dunia yang penuh kompetisi, penuh pamer pencapaian, menjadi 'tidak tahu' atau 'tidak penting' bisa jadi terasa seperti mundur. Tapi dalam pandangan eksistensialis, itu justru ruang yang murni untuk tumbuh.
Jean-Paul Sartre, dalam filsafat eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia tidak dilahirkan dengan esensi tertentu. Existence precedes essence, katanya. Kita ada terlebih dahulu, lalu membentuk diri. Menjadi "nobody" adalah kebebasan itu sendiri. Tidak ada beban masa lalu, tidak ada label sosial.
Saat ini, dunia seakan menuntut kita untuk menjadi "seseorang". Harus punya banyak pengikut, harus sukses, harus menonjol. Menjadi "nobody" dianggap kegagalan. Tapi bagaimana kalau justru di situlah letak keotentikan kita? Kita dibombardir oleh standar dan ekspektasi, dari dunia kerja, media sosial, bahkan dari orang-orang terdekat. Tapi kejujuran untuk berkata "saya tidak tahu, saya tidak pasti, saya belum jadi apa-apa" adalah bentuk keberanian yang langka. Dalam konteks ini, "nobody" menjadi bukan sekadar status sosial, tetapi sikap batin.
Filsafat Timur, seperti Zen dan Taoisme, justru mengajarkan nilai kekosongan. Dalam Zen, kita belajar untuk tidak melekat. Dalam Taoisme, menjadi seperti air yang tidak punya bentuk tapi memberi kehidupan.
Ketika seseorang tidak sibuk mempertahankan citra, ia bisa benar-benar melihat dunia. Zhang Chulan tidak sibuk ingin terlihat kuat atau jadi pahlawan. Ia hanya mencoba memahami siapa dirinya. Dalam proses itulah kekuatannya muncul, bukan dari pencitraan, tapi dari penerimaan. Ia hadir, bukan sebagai simbol atau mitos, tapi sebagai manusia yang belajar.
Dalam proses mengenali dirinya, sang tokoh tidak berusaha menjadi seperti orang lain. Ia justru belajar berdamai dengan kebingungan, dengan masa lalu yang tak jelas, dan dengan dunia yang ingin menekannya. Dan dari sana, ia mulai "menjadi (being)". Inilah yang disebut Carl Jung sebagai proses individuasi: menjadi diri yang utuh, bukan yang ideal. Proses ini tidak instan, bahkan seringkali menyakitkan. Tapi justru melalui rasa tidak tahu dan keterasingan itulah kita menemukan jalan pulang ke diri sendiri. Dan jalan itu tidak selalu penuh cahaya. Kadang ia sunyi, panjang, dan membingungkan. Tapi di situlah letaknya keaslian hidup.
Barangkali dalam dunia yang riuh, menjadi "nobody" adalah bentuk perlawanan paling lembut namun radikal. Ia tidak membentak, tapi diam. Tidak menguasai, tapi hadir. Tidak menuntut pengakuan, tapi menghidupi keheningan. Di tengah hiruk pikuk dunia yang mengejar validasi, orang yang mampu berdiam dan berkata "aku bukan siapa-siapa, dan itu tidak apa-apa" adalah jiwa yang merdeka. Justru karena ia kosong, ia bisa merangkul apapun. Justru karena ia tidak punya nama, ia bisa punya bentuk yang paling sejati.
Dan dari kesadaran itulah, muncul kekuatan yang tenang tapi kokoh. Dalam langkah-langkah kecil Zhang Chulan, kita melihat refleksi diri kita sendiri. Seseorang yang mencoba menavigasi dunia yang rumit, dengan bekal kejujuran dan keberanian untuk tidak tahu.
Dan siapa tahu, dalam langkah-langkah kita sebagai "bukan siapa-siapa", justru di sanalah kita menemukan makna terdalam dari menjadi manusia: bebas, sadar, dan sungguh-sungguh hadir. Karena pada akhirnya, 'I am Nobody' bukan berarti kosong. Tapi berarti siap untuk benar-benar menjadi.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.