Deep Learning dan “Death Valley” Pendidikan
Mailizar July 01, 2025 03:20 PM
Pernahkah Anda mendengar tentang Death Valley? Lembah luas yang terletak di negara bagian California dan Nevada, Amerika Serikat, di mana matahari membakar tanpa ampun, udara terasa kering menusuk, dan tanahnya mengeras hingga retak-retak. Sepanjang tahun, hamparan ini tampak tandus, nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan—hanya pasir, batu, dan sesekali angin panas yang berhembus.
Namun, siapa sangka, pada musim semi tahun 2005, keajaiban terjadi. Setelah hujan deras yang sangat langka mengguyur, Death Valley tiba-tiba berubah wajah. Ribuan bunga liar bermekaran serentak, mewarnai tanah yang sebelumnya gersang dengan warna ungu, kuning, dan merah muda. Lembah yang selama ini dianggap mati ternyata hanya tertidur, menunggu waktu dan kondisi yang tepat untuk menunjukkan betapa suburnya kehidupan yang tersembunyi di bawah permukaannya.
Kisah ini diceritakan oleh Ken Robinson untuk menggambarkan sistem pendidikan yang “kering”—penuh potensi, tapi tidak pernah benar-benar tumbuh karena iklim yang salah. Pertanyaannya, apakah pendidikan Indonesia juga sedang berada di “Death Valley”? Dan jika iya, apakah deep learning bisa menjadi “hujan” yang membangkitkan kehidupan di dalamnya?
Potret “Death Valley” Sekolah Indonesia
Mari kita sedikit refleksi, berapa banyak siswa Indonesia yang merasa sekolah hanya soal menghafal, mengerjakan soal, dan mengejar nilai ujian? Berapa banyak guru yang terjebak rutinitas, sekadar menuntaskan kurikulum, tanpa sempat menumbuhkan minat belajar? Tak sedikit siswa yang merasa pelajaran tidak relevan dengan kehidupan mereka, bahkan kehilangan semangat untuk bertanya dan bereksplorasi.
Kondisi ini bukan sekadar asumsi. Data studi PISA 2022 menunjukkan bahwa 75% siswa Indonesia usia 15 tahun memiliki kemampuan membaca di bawah standar internasional, dan 82% lemah dalam matematika. Bahkan, di beberapa daerah, masih ditemukan siswa SMP yang belum bisa membaca dan belum hafal abjad. Fakta-fakta ini menegaskan bahwa fondasi literasi dan numerasi kita sangat rapuh—sebuah potret “kekeringan” yang nyata di dunia pendidikan.
Sistem pendidikan tanpa memperhatikan keunikan dan kebutuhan setiap anak, menciptakan sekolah yang kering—seperti Death Valley. Potensi siswa tetap ‘dorman’, tidak pernah benar-benar berkembang.
Di tengah keprihatinan ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menetapkan kebijakan penerapan deep learning di sekolah-sekolah. Pendekatan ini menekankan pemahaman mendalam, berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, serta penerapan pengetahuan dalam kehidupan nyata. Tujuannya bukan sekadar membuat siswa menghafal, melainkan benar-benar memahami dan mampu menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi sehari-hari.
Pertanyaannya, apakah deep learning benar-benar bisa menjadi solusi bagi “Death Valley” pendidikan kita? Atau justru hanya akan menjadi jargon baru—seperti berbagai jargon pendidikan sebelumnya—yang akhirnya tidak membawa dampak nyata?
Tantangan penerapan deep learning tidak sederhana. Banyak siswa masih terbiasa dengan pola belajar pasif, menunggu instruksi, dan takut salah. Mereka cenderung hanya mengikuti arahan guru tanpa berani mengemukakan pendapat atau bertanya, karena khawatir dianggap bodoh atau keliru. Budaya sekolah yang menekankan pada ketaatan dan hasil akhir membuat siswa enggan mengambil risiko dalam proses belajar, sehingga kreativitas dan rasa ingin tahu mereka terhambat.
Kenyataan di kelas-kelas kita menunjukkan bahwa banyak siswa masih kesulitan menguasai kemampuan dasar yang seharusnya menjadi fondasi pembelajaran. Membaca teks sederhana pun sering kali menjadi tantangan, apalagi ketika mereka diminta untuk memahami, menganalisis, atau mengaitkan informasi. Keterbatasan ini membuat siswa mudah merasa tidak percaya diri, terutama saat dihadapkan pada tugas-tugas yang menuntut pemikiran kritis, pemecahan masalah, atau kerja sama.
Di sisi lain, selain harus menuntaskan target kurikulum yang padat, guru juga dibebani dengan berbagai tugas administrasi yang menyita waktu dan energi. Akibatnya, kesempatan untuk merancang pembelajaran yang inovatif, melakukan eksplorasi bersama siswa, atau mengadakan diskusi yang mendalam menjadi sangat terbatas.
Di sinilah pertanyaan penting muncul: apakah deep learning bisa benar-benar tumbuh di tanah pendidikan Indonesia yang masih kering? Atau justru akan layu sebelum berkembang?
Deep Learning Merubah ‘Iklim’?
Meski tantangannya besar, deep learning menawarkan harapan. Pendekatan ini mengakui bahwa setiap anak unik dan punya cara belajar berbeda. Ia menumbuhkan rasa ingin tahu alami siswa, mendorong mereka untuk aktif bertanya dan mencari tahu. Deep learning juga membangkitkan kreativitas—kemampuan yang sangat dibutuhkan di era perubahan cepat seperti sekarang.
Jika diterapkan dengan konsisten, deep learning bisa menjadi “hujan” yang membangkitkan benih-benih potensi siswa Indonesia. Namun, perubahan iklim pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan guru atau sekolah. Diperlukan dukungan dari sistem: kurikulum yang fleksibel, penilaian yang menekankan proses, serta budaya sekolah yang menghargai keunikan dan kreativitas siswa.
Apakah deep learning benar-benar solusi untuk keluar dari “Death Valley” pendidikan Indonesia? Atau, apakah kita hanya mengganti istilah tanpa mengubah cara berpikir dan bertindak? Jawabannya ada pada keberanian kita untuk mengubah iklim pendidikan—bukan sekadar menambah metode, tapi benar-benar menciptakan lingkungan yang memungkinkan setiap anak tumbuh dan berkembang.
Seperti Death Valley yang akhirnya bermekaran setelah hujan, pendidikan Indonesia pun bisa hidup kembali—asal kita berani menghadirkan “hujan” perubahan.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.