DPR Minta Penjelasan Sri Mulyani soal Buka Blokir Anggaran Rp 134,9 Triliun
kumparanBISNIS July 02, 2025 05:00 AM
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah membuka blokir anggaran untuk kementerian dan lembaga (K/L) senilai Rp 134,9 triliun hingga Juni 2025.
Kebijakan ini dilakukan untuk mendorong percepatan realisasi belanja negara dan menyesuaikan dengan prioritas nasional yang baru.
Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI pada Selasa (1/7), Sri Mulyani menjelaskan pembukaan blokir ini berkaitan erat dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 yang sebelumnya memerintahkan efisiensi belanja dan pengendalian anggaran.
"Sampai dengan 24 Juni 2025 Rp 134,9 triliun blokir anggaran yang dilakukan melalui Inpres 1 telah dibuka, dan disesuaikan untuk belanja yang sesuai dengan prioritas yang ditetapkan oleh presiden," kata Sri Mulyani.
Bendahara negara itu menjelaskan, dari total tersebut, sebanyak 23 KL telah melakukan pembukaan blokir sebesar Rp 48 triliun. Kemudian 76 KL melakukan pembukaan blokir senilai Rp 86,9 triliun
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (27/2/2025). Foto: Widya Islamiati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (27/2/2025). Foto: Widya Islamiati/kumparan
Namun, langkah pemerintah ini memicu kritik tajam dari Anggota Banggar Fraksi PDI Perjuangan, Dolfie Othniel Frederic Palit.
Menurut Dolfie, rencana awal pemerintah justru menyebut akan melakukan penghematan sebesar Rp 306 triliun dari total belanja negara yang direncanakan Rp 3.621 triliun pada tahun 2025.
"Harusnya belanja negara Rp 3.621 dikurangi Rp 306 triliun kalau penghematan. Tapi kalau melihat outlook ini ceritanya bukan penghematan, tapi pergeseran atau pinjaman, karena Rp 3.621 ke Rp 3.527 itu Rp 94 triliun, harusnya Rp 305 triliun," tegas Dolfie.
Ia mempertanyakan alasan di balik pembukaan blokir anggaran yang justru berujung pada penambahan utang, serta penggunaan saldo anggaran lebih (SAL).
"Dulu cerita penghematan, terus enggak jadi menghemat, nambah utang. Ini yang perlu kita dapat penjelasan. Kok bisa penghematan nambah utang? Harusnya kalau penghematan, utangnya yang berkurang, ini tidak, bahkan menggunakan SAL," lanjut Dolfie.
Dolfie juga mengkritik dasar hukum pembukaan blokir yang dianggap tidak sesuai dengan Inpres. Pasalnya, Inpres hanya memuat perintah blokir tanpa ketentuan teknis untuk membukanya.
"Ibu Menteri tadi katakan sudah ada buka blokir. Inpresnya jelas blokir. Bahkan di Inpres tidak ada syarat dan ketentuan buka blokir. Jadi, buka blokir ini dasarnya apa? Apakah pemerintah datang lagi ke DPR minta persetujuan? Ini yang harus dijelaskan," ucapnya.
Menjawab kritik tersebut, Sri Mulyani menegaskan pembukaan blokir anggaran dilakukan berdasarkan arahan Presiden melalui rapat terbatas (ratas) dan notulen resmi. Bukan keputusan sepihak Kementerian Keuangan.
Mantan Direktur Bank Dunia itu menegaskan Kemenkeu tidak memiliki kewenangan untuk membuka anggaran selain atas instruksi Presiden Prabowo.
"Tapi karena kita ketahui ada KL baru, ada terjadi pemecahan dan realokasi di antara para KL, plus presiden minta beberapa yang dianggap bisa diefisienkan seperti belanja perjalanan dinas, seminar, itu semua istilahnya dibintang. Karena bintang banyak sekali maka dimunculkan dalam bentuk Inpres itu di-hold," kata Sri Mulyani.
Presiden Indonesia Prabowo Subianto berbicara dengan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani dalam acara kumpul ekonomi bertema "Memperkuat Ketahanan Ekonomi Nasional" di Jakarta, Indonesia, 8 April 2025. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Indonesia Prabowo Subianto berbicara dengan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani dalam acara kumpul ekonomi bertema "Memperkuat Ketahanan Ekonomi Nasional" di Jakarta, Indonesia, 8 April 2025. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
"Jadi kesimpulan rapat, arahan presiden yang ini [hold] dibuka. Pasti ada notulisnya. Kami tidak mungkin buka blokir karena saya pun sebagai Menkeu tidak memiliki kewenangan. Makanya harus ada notulis dari Presiden," jelas Sri Mulyani.
Selain itu, Sri Mulyani juga menyinggung penerimaan negara yang mengalami tekanan akibat rendahnya realisasi pajak dan dividen. Serta restitusi dan turunnya harga komoditas.
"Kalau kita ngomong postur tadi, bagian penerimaan negara akan ceritanya panjang. Ada kondisi PPN enggak jadi, dividen enggak ada, itu sebabkan kita tidak mampu collect Rp 150 triliun sendiri, plus ditambah adanya restitusi, dan dari penurunan harga komoditas batu bara atau barang kena pajak," tutur Sri Mulyani.
Ia menegaskan, tanpa efisiensi, defisit anggaran berpotensi naik lebih tinggi.
"Sebetulnya kalau kita enggak melakukan efisiensi, sementara presiden ada program-program prioritas yang beliau lihat lebih strategis, harusnya defisitnya naik lebih tinggi lagi," katanya.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.