Pendidikan kembali menjadi perhatian dalam upaya mendorong keadilan sosial di Indonesia. Ketimpangan akses dan kualitas pendidikan masih menjadi persoalan, terutama di daerah-daerah yang rentan secara sosial dan ekonomi. Salah satu inisiatif yang saat ini dijalankan pemerintah pusat adalah program Sekolah Rakyat. Agar program ini benar-benar bermanfaat, penting untuk meninjau kembali gagasan Paulo Freire tentang pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung.
Ketika Paulo Freire menulis Pedagogy of the Oppressed pada akhir 1960-an, ia menyoroti bagaimana pendidikan sering kali menjadi alat penindasan, bukan pembebasan. Freire menolak model pendidikan “perbankan” yang menempatkan murid sebagai wadah kosong yang harus diisi pengetahuan oleh guru. Ia menawarkan pendidikan dialogis, di mana guru dan murid sama-sama belajar, saling bertanya, dan bersama-sama membongkar realitas sosial yang menindas.
Kini, lebih dari setengah abad kemudian, ide-ide Freire tetap relevan di Indonesia. Program Sekolah Rakyat yang digagas pemerintah menargetkan anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, berupaya memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan berasrama yang inklusif dan transformatif. Data BPS 2024 menunjukkan, angka kemiskinan di Indonesia masih berada di angka 8,57%, atau sekitar 24,06 juta jiwa. Sementara itu, angka putus sekolah di tingkat nasional untuk jenjang SMP dan SMA masih berada di kisaran 1% lebih, dengan tantangan terbesar di daerah-daerah terpencil dan kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Pendidikan sebagai Jalan Pembebasan
Freire percaya bahwa pendidikan sejati adalah proses membebaskan, bukan menindas. Ia menulis, “Hanya melalui dialog, kaum tertindas dapat menemukan dirinya dan berjuang untuk kebebasan.” Dalam konteks Indonesia, ketimpangan sosial, ekonomi, dan pendidikan masih menjadi tantangan. Banyak anak-anak di berbagai daerah masih menghadapi keterbatasan akses, fasilitas, dan kualitas pendidikan. Selain itu, tantangan seperti perkawinan anak, anak putus sekolah karena harus bekerja, serta rendahnya literasi dan numerasi masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa ini.
Program Sekolah Rakyat, dengan konsep berasrama dan kurikulum yang menekankan pendidikan karakter, kepemimpinan, serta keterampilan vokasi, menawarkan harapan baru. Jika dikelola dengan semangat dialogis dan partisipatif, sekolah ini bisa menjadi ruang di mana anak-anak Indonesia tidak hanya belajar membaca dan berhitung, tetapi juga memahami realitas sosial mereka dan mengkritisi ketidakadilan.
Dari Pendidikan “Perbankan” ke Pendidikan Dialogis
Salah satu kritik utama Freire adalah model pendidikan “perbankan”, di mana guru menjadi satu-satunya sumber kebenaran dan murid hanya menerima secara pasif. Model ini masih banyak ditemukan di sekolah-sekolah di Indonesia, di mana kurikulum yang kaku, guru kurang diberdayakan, dan murid tidak didorong untuk berpikir kritis. Akibatnya, pendidikan gagal membangun kesadaran kritis (conscientização) yang menjadi inti perubahan sosial.
Sekolah Rakyat, jika ingin benar-benar membebaskan, perlu berani meninggalkan model ‘perbankan’ ini. Guru diharapkan menjadi fasilitator dialog, bukan sekadar penyampai materi. Murid perlu diajak berdiskusi tentang masalah-masalah nyata di sekitar mereka: kemiskinan, lingkungan, dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan menjadi proses bersama untuk memahami dan melakukan perubahan, bukan sekadar menghafal fakta.
Tantangan Pendidikan di Indonesia
Indonesia adalah negara dengan keragaman sosial, ekonomi, dan budaya yang sangat luas. Namun, tantangan pendidikan masih nyata: kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendidikan. Data BPS 2025 menunjukkan, tingkat penganguran terbuka nasional berada di angka 4,82%. Banyak anak-anak yang harus bekerja membantu keluarga, atau menikah di usia muda—sehingga mimpi untuk mengubah nasib lewat pendidikan sering kali terhenti di tengah jalan.
Di sinilah Sekolah Rakyat bisa menjadi intervensi strategis. Dengan menyediakan pendidikan gratis, asrama, dan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan lokal, program ini bisa menjadi jembatan bagi anak-anak Indonesia untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada keterlibatan masyarakat, guru, dan murid itu sendiri. Tanpa partisipasi aktif dan semangat dialogis, Sekolah Rakyat bisa saja terjebak menjadi proyek formalitas tanpa dampak nyata.
Freire pernah mengatakan, “Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah manusia, dan manusia mengubah dunia.” Harapannya, Sekolah Rakyat dapat menjadi ruang di mana anak-anak Indonesia belajar menjadi manusia merdeka: berpikir kritis, berani bermimpi, dan siap berkontribusi untuk masyarakat. Pendidikan harus membangun kesadaran bahwa mereka bukan korban, melainkan subjek perubahan.
Penulis berharap gagasan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan dapat benar-benar diwujudkan di Sekolah Rakyat. Dengan semangat dialog, partisipasi, dan keberpihakan pada yang kurang beruntung, pendidikan bisa menjadi jalan pembebasan, bukan sekadar alat reproduksi ketidakadilan. Semoga Sekolah Rakyat dapat menjadi langkah nyata menuju masa depan pendidikan Indonesia yang lebih adil dan bermartabat.