Peneliti UGM Temukan 7 Spesies Baru Lobster Air Tawar di Papua Barat
kumparanSAINS July 02, 2025 03:20 PM
Tim peneliti dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), berkolaborasi dengan ilmuwan independen dan lembaga riset di Berlin, Jerman, berhasil menemukan tujuh spesies baru lobster air tawar di Papua Barat. Penemuan ini menjadi bagian penting dalam eksplorasi keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia.
Para peneliti mengidentifikasi tujuh spesies baru lobster air tawar dari genus Cherax yang hidup di wilayah Papua Barat. Riset temuannya sudah tayang di makalah berjudul “Seven New Species of Crayfish of the Genus Cherax (Crustacea, Decapoda, Parastacidae) from Western New Guinea, Indonesia” yang terbit di jurnal Quartil 2(Q2) Arthropoda.
“Papua adalah hotspot keanekaragaman hayati yang masih menyimpan banyak misteri. Penemuan ini hanya sebagian kecil dari potensi luar biasa yang belum tereksplorasi,” ujar Dr. Rury Eprilurahman, S.Si., M.Sc., dosen Fakultas Biologi UGM yang merupakan penulis studi, mengutip laman resmi universitas.
Adapun tujuh spesies baru lobster tersebut adalah Cherax veritas, Cherax arguni, Cherax kaimana, Cherax nigli, Cherax bomberai, Cherax farhadii, dan Cherax doberai. Mereka ditemukan di sejumlah lokasi terpencil, di antaranya di Misool, Kaimana, Fakfak, dan Teluk Bintuni.
Semua wilayah ini dikenal sebagai daerah dengan ekosistem air tawar yang masih relatif alami dan belum banyak terjamah aktivitas manusia. Proses identifikasinya dilakukan secara integratif, menggabungkan pendekatan morfologi dan filogeni molekuler berbasis gen mitokondria 16S dan COI. Pendekatan ini memastikan hasil yang kuat secara ilmiah dan akurat dari sisi taksonomi.
“Kami tidak hanya melihat bentuk tubuh dan warna, tetapi juga membandingkan DNA-nya untuk memastikan bahwa ini benar-benar spesies yang berbeda,” papar Rury.
Perbesar
Spesies baru lobster Cherax arguni. Foto: Christian Lukhaup via Universitas Gadjah Mada
Menariknya, sebagian besar spesimen yang diteliti awalnya berasal dari perdagangan akuarium hias internasional. Spesies-spesies ini muncul dengan nama dagang seperti Cherax sp. “Red Cheek”, Cherax sp. “Amethyst”, dan Cherax sp. “Peacock” sebelum diidentifikasi secara ilmiah.
Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan spesies eksotik juga bisa membuka peluang riset keanekaragaman jika dikelola secara kolaboratif dan etis. Rury menegaskan pentingnya kerja sama antara peneliti dan penghobi hewan air dalam mengungkap keanekaragaman spesies. Beberapa kolektor lokal bahkan terlibat dalam pencarian spesimen di lapangan.
“Komunitas pecinta lobster hias justru sering menjadi sumber awal informasi kami, yang kemudian kami tindak lanjuti dengan riset sistematis,” ujarnya.
Sementara dari hasil analisis DNA dan morfologi, ketujuh spesies tersebut tergolong dalam kelompok Cherax bagian utara (northern lineage), yang sebelumnya telah mencakup 28 spesies, dan kini bertambah menjadi 35.
Klasifikasi ini penting karena ini menunjukkan bahwa wilayah Papua Barat merupakan pusat evolusi bagi kelompok ini, berbeda dari spesies yang ada di Australia atau Papua Nugini. Masing-masing spesies memiliki ciri khas, baik dari warna tubuh, bentuk capit (chelae), maupun struktur rostrumnya. Ciri morfologis tersebut menjadi petunjuk penting dalam membedakan spesies baru dari kerabat dekatnya.
Perbesar
Spesies baru lobster diberi nama Cherax nigli. Foto: Christian Lukhaup via Universitas Gadjah Mada
“Misalnya Cherax arguni memiliki tubuh dominan biru gelap dengan belang krem, serta capit dengan patch putih transparan yang khas,” kata Rury.
Sedangkan hasil filogeni molekuler menunjukkan bahwa Cherax arguni merupakan kerabat dekat Cherax bomberai, dengan jarak genetik yang cukup signifikan untuk diklasifikasikan sebagai spesies tersendiri. Analisis ini dilakukan dengan metode Bayesian dan Maximum Likelihood menggunakan data DNA mitokondria.
Penanda genetik ini menjadi landasan utama dalam menentukan batas antarspesies secara objektif, dan memperkuat pentingnya pendekatan genetik dalam taksonomi modern, terutama di wilayah tropis yang biodiversitasnya sangat tinggi.
“Perbedaan pada sekuens DNA mitokondria bisa mencapai 11%, yang menunjukkan adanya isolasi evolusioner yang cukup lama,” kata Rury.
Penemuan ini juga menunjukkan adanya urgensi konservasi spesies air tawar di Papua yang rentan terhadap eksploitasi dan degradasi habitat. Menurut Rury, banyak dari spesies ini hidup di sungai kecil dan anak-anak sungai yang belum banyak terpetakan secara ekologis. Beberapa di antaranya bahkan baru diketahui dari satu titik lokasi, membuatnya sangat rentan terhadap perubahan lingkungan sekecil apa pun.
Lokasi asal spesimen tidak sepenuhnya diungkap dalam publikasi demi menjaga kelestarian populasi alami. Ke depan, riset lanjutan dan pemetaan sebaran spesies akan sangat diperlukan untuk mendukung kebijakan konservasi yang berbasis data.
“Kami harus menjaga keseimbangan antara eksplorasi ilmiah dan perlindungan habitat, apalagi banyak dari spesies ini hidup di wilayah yang mulai terjamah aktivitas manusia,” tambah Rury.