Pakar: Mobil Listrik Pakai Baterai Nikel Perlu Insentif Tambahan
kumparanOTO July 02, 2025 07:40 PM
Hilirisasi ekosistem kendaraan listrik terkait pemanfaatan sumber daya nikel di Indonesia jadi salah satu fokus utama pemerintah saat ini. Namun nyatanya, perusahaan mobil listrik banyak yang mengemas baterai Lithium Iron Phosphate (LFP).
Fenomena tersebut tentu tidak sejalan dengan apa yang sedang diusahakan pemerintah. Peneliti sekaligus Founder National Battery Research Institute (NBRI) Prof. Dr. rer. nat. Evvy Kartini menyatakan bahwa pemerintah perlu mendukung industri nikel dengan memberikan insentif lebih bagi produk-produk yang dibekali baterai NCM (Nickel Cobalt Manganese).
“Iya, supaya nanti harganya bersaing ya ditambah insentif (untuk EV dengan baterai NCM), jadi ketika membuat insentif harus dilihat yang berbasis nikel,” ucapnya saat dijumpai di Jakarta Selatan, Selasa (1/7/2025).
Evvy meneruskan, Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar di dunia tentu harus mendorong produksi baterai berbasis nikel. Selain itu, ia menganggap pemerintah perlu membatasi kendaraan listrik yang menggunakan baterai LFP.
Pekerja berjalan di dekat kontainer yang mengangkut sel baterai di pabrik baterai kendaraan listrik PT Hyundai LG Industry (HLI) Green Power usai diresmikan di Karawang, Jawa Barat, Rabu (3/7/2024). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja berjalan di dekat kontainer yang mengangkut sel baterai di pabrik baterai kendaraan listrik PT Hyundai LG Industry (HLI) Green Power usai diresmikan di Karawang, Jawa Barat, Rabu (3/7/2024). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
“Kenapa kita harus bikin nikel? Karena kita paling besar sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Jadi, mau enggak mau itu yang harus dikasih insentif, dan dibatasi kendaraan yang berbasis LFP, itu saja,” imbuhnya.
Maraknya penggunaan baterai LFP karena dinilai mampu menawarkan harga lebih terjangkau, sehingga produsen mobil bisa menarik konsumen lebih banyak.
“Masyarakat perlu diedukasi, mereka enggak pernah tanya baterai mobil ini NCM atau LFP? Tidak pernah. Paling banyak menanyakan harga. (Misal) Hyundai IONIQ (baterai NCM) 800 juta, BYD (baterai LFP) 600 juta. Pasti beli BYD,” ungkap dia.
“Jadi, ketika mereka (baterai LFP) booming, tentu kita tidak mendukung pemerintah. Artinya, perlu ada regulasi yang mewajibkan pabrikan memakai nikel,” tegas Prof. Evvy.
Groundbreaking proyek Ekosistem Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi Antam-IBC-CBL di Kawasan Artha Industrial Hills (AIH) Karawang, Minggu (29/6/2025). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Groundbreaking proyek Ekosistem Industri Baterai Kendaraan Listrik Terintegrasi Antam-IBC-CBL di Kawasan Artha Industrial Hills (AIH) Karawang, Minggu (29/6/2025). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
Lebih lanjut, Prof. Evvy menjelaskan baterai LFP tidak relevan untuk didaur ulang. Sebab, ia berbasis besi yang tidak bernilai ketika dalam kondisi bekas pakai. Berbeda dengan baterai NCM yang seluruh materialnya bisa dikeruk kembali dan dijadikan baterai baru.
“Baterai NMC yang terdiri dari nikel, mangan, dan cobalt itu bisa dipakai kembali semuanya. Ketika nikel habis, maka kita bisa pakai nikel-nikel dari baterai lama yang sudah tidak terpakai,” ujar dia.
Adapun keunggulan baterai NCM atau disebut juga Lithium-ion, yakni dalam hal kepadatan energi, tenaga lebih kuat, dan relevan untuk didaur ulang. Sementara, baterai LFP dinilai lebih aman, harga terjangkau, serta usia pakai lebih panjang.
Saat ini, kebanyakan mobil listrik asal China menggunakan baterai LFP, sehingga memiliki harga lebih terjangkau. Berbeda dengan produsen Jepang seperti Toyota dan Honda yang menyematkan baterai NCM di sejumlah produk hibrida, termasuk Hyundai di beberapa produk elektrifikasinya. Begitu pula EV milik jenama Eropa seperti BMW dan Mercedes-Benz yang tetap mengandalkan baterai NCM.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.