TRIBUNJATIM.COM - Insiden tenggelamnya kapal penumpang KMP Tunu Pratama Jaya membuat keluarga korban syok.
Salah satunya, Imam Bakri yang berharap istri dan anaknya selamat.
Namun sang istri, Fitri April Lestari (33) dan buah hatinya, Afnan Agil Mustafa (3) tewas dalam insiden tersebut.
Bakri hanya bisa diam dan banyak merenung saat di Posko ASDP Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Kamis (3/6/2025).
Wajahnya cemas menanti kabar sang istri dan anak keduanya yang belum ditemukan sejak menerima kabar tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya pukul 03.30 wita.
Imam mengatakan, istri dan anak keduanya bermaksud untuk menemui dirinya yang bekerja di Kota Denpasar.
Keduanya berangkat dari Kecamatan Cluring, Banyuwangi dengan menumpang travel.
"Kontak terakhir saya dengan istri saat dia memberi kabar sudah naik kapal. Setelah itu tidak ada kabar lagi," ucapnya, dikutip dari Wartakotalive.
Hingga sekitar pukul 03.30 Wita, Imam menerima panggilan telepon dari pihak travel, yang mengabarkan terjadi kecelakaan kapal.
Sekitar pukul 04.00 wita, ia bergegas menuju Gilimanuk untuk mencari keberadaan istri dan anaknya.
Namun hingga Kamis siang, belum ada kabar bagaimana keberadaan sang istri maupun nasib anaknya.
"Saya terus berdoa sambil cari data keberadaan istri dan anak, namun sampai saat ini belum ada informasi. Saya berharap anak dan istri saya segera ditemukan dan dalam kondisi selamat," ucapnya.
Namun penantian dan harap-harap cemas Imam Bakri kini malah berujung duka.
RSU Negara mengonfirmasi jenazah terakhir yang dievakuasi, Kamis 3 Juli 2025 sore.
Korban adalah seorang anak berusia 3 tahun yang diketahui bernama Afnan Agil Mustafa.
Korban merupakan anak dari jenazah yang sebelumnya ditemukan, Fitri April Lestari (33).
"Sudah diidentifikasi, anaknya korban yang datang sebelumnya, Ibu Fitri," ungkap Direktur RSU Negara, dr Ni Putu Eka Indrawati saat dikonfirmasi, Kamis 3 Juli 2025.
Dengan kedatangan satu jenazah tersebut, total sudah ada 6 orang korban meninggal dunia karena insiden KMP Tunu Pratama Jaya tenggelam di Selat Bali.
Sementara data lainnya menyebutkan sudah ada 31 orang yang ditemukan dalam keadaan selamat.
Sebelumnya, satu orang korban insiden KMP Tunu Pratama Jaya kembali ditemukan meninggal dunia, Kamis 3 Juli 2025.
Adalah seorang balita laki-laki yang saat ini sudah dievakuasi ke RSU Negara. Tim forensik masih melakukan identifikasi terkait identitasnya.
"Nggih (korban), satu orang lagi tiba di RSU Negara," kata Kabid Pelayanan Medik dan Kendali Mutu RSU Negara, dr Gusti Ngurah Putu Adnyana saat dikonfirmasi, Kamis 3 Juli 2025 malam.
Dia melanjutkan, jenazah tersebut dikonfirmasi adalah seorang balita laki-laki yang sebelumnya dievakuasi oleh Puskesmas Pengambengan.
Saat ini masih identifikasi oleh tim kepolisian dan RSU Negara.
"Seorang balita laki-laki, masih proses identifikasi," sebutnya.
Sementara itu, warga terus berdatangan ke Pantai Pebuahan, Desa Banyubiru Kecamatan Negara, Jembrana untuk ikut memantau kemungkinan adanya korban yang ditemukan.
Warga rela menunggu dengan cara duduk di atas revetment atau pengaman pantai di lokasi.
Hal serupa dialami Febriani yang kehilangan istri tercinta, Cahyani.
Cahyani merupakan penumpang KMP Tunu Pratama Jaya yang tenggelam.
Padahal, Febriani dan Cahyani adalah pasangan pengantin baru yang belum genap dua pekan lalu menikah.
Febriani yang berusia 27 tahun itu harus merelakan kepergian Cahyani, yang menjadi korban tewas tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya.
Tangis dan penyesalan pecah serta menyelimuti Febriani, yang tidak menyangka perjalanan singkat Cahyani menyeberang selat Bali berujung perpisahan abadi.
"Tidak ada yang mengira KMP Tunu Pratama Jaya tenggelam," kata Febriani di Posko ASDP Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Bali, Kamis.
Febriani dan Cahyani (30) sama-sama merantau ke Denpasar, Bali, untuk bekerja.
Keduanya memutuskan pulang kampung di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, untuk menikah pada 20 Juni 2025.
Setelah 12 hari menikah, Febriani memutuskan kembali merantau ke Denpasar untuk bekerja.
"Kami berangkat pukul 22.00 WITA, sampai Pelabuhan Ketapang sekitar pukul 22.30 WITA, dan langsung naik kapal," ujar Febriani.
Sebagai orang yang sering melakoni perjalanan Bali-Jawa, Febriani merasa olengnya kapal yang dirasakannya saat itu adalah hal biasa.
Menurutnya itu karena pengaruh gelombang air laut.
Namun lama-kelamaan, hal yang dianggap biasa menjadi perasaan cemas.
Bagian depan kapal terlihat miring ke kiri.
Apalagi ditambah beban yang berat di sisi depan, kapal mulai oleng kurang dari tiga menit.
Semua orang sontak berhamburan berupaya menyelamatkan diri.
Mirisnya saat itu tidak ada informasi dari pihak kapal maupun alarm bahaya.
"Kami semua menyelamatkan diri sendiri, ambil pelampung sendiri," ujar Febriani.
Kondisi kapal saat itu semakin miring, lampu dan mesin kapal juga mati.
Cahyani yang tidak bisa berenang diminta memeluk tubuh Febriani, kemudian keduanya memutuskan melompat ke laut.
Sayangnya, disaat bersamaan kapal yang terjatuh mengakibatkan gelombang kuat.
"Saat itulah pelukan istri saya terlepas," kata Febriani.
Ia baru sadar saat muncul ke permukaan, berusaha mencari Cahyani.
Pandangannya menyapu sekitar, sembari berteriak memanggil nama istrinya itu.
Setelah sekian lama, panggilannya tidak kunjung mendapat jawaban dari Cahyani saat suasana di perairan begitu gelap.
Ia akhirnya memutuskan untuk menaiki kapal karet, bergabung dengan 11 penumpang lainnya yang selamat.
"Saya dibantu orang-orang naik ke kapal karet, saat itu masih coba memanggil istri saya, tapi tetap tidak ada jawaban hingga saya putus asa," ucap Febriani.
"Saya masih berusaha berpikir positif, mungkin istri saya di perahu karet lain," ujarnya.