TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tenggat waktu negosiasi tarif resiprokal dengan Amerika Serikat tinggal menghitung hari.
Setelah ditangguhkan selama 90 hari, pada 9 Juli 2025 negara yang belum menyelesaikan negosiasi harus menerima tarif yang diumumkan Donald Trump pada April lalu.
Indonesia sendiri terkena tarif 32 persen saat diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dengan rincian 10 persen tarif universal dan 22 persen tambahan untuk barang yang datang dari Indonesia.
Dewan Ekonomi Nasional (DEN) berharap pengenaan tarif 22 persen tersebut bisa dipangkas menjadi 10 persen dalam negosiasi yang tengah berlangsung, dimana Indonesia di wakili tim negosiasi yang saat ini sudah berasa di Washington DC.
Pengamat Ekonomi dan Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, Indonesia memiliki peluang untuk mendapatkan pengurangan tarif impor yang akan dikenakan AS.
"Kemungkinan itu ada. Semua bergantung bagaimana reaksi bursa dan masyarakat AS terkait kebijakan Trump terkait tarif. Soalnya bursa dan masyarakat AS tidak pro terhadap kenaikan tarif," tutur Hikmahanto saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (4/7/2025).
Dengan situasi tersebut, pengamat yang juga merupakan akademisi itu menyarankan agar tim negosiasi Indonesia harus berhati-hati dalam menilai.
"Justru tim negosiasi harus hati-hati jangan sampai kita menyerah kalah dengan permintaan AS," jelas Hikmahanto.
Selain negosiasi hingga batas yang ditentukan pemerintah Amerika Serikat, ia juga menilai Indonesia perlu menunggu reaksi dari pengenaan tarif final pada 9 Juli mendatang. Ini agar tim Indonesia bisa menentukan langkah negosiasi lanjutan.
"Kita tunggu saja sampai deadline terlewati. Kalau memang masih tinggi baru kita nego," ungkap Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut.
Optimisme Pengurangan Tarif
Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu menyebut, meski Indonesia akan sulit mendapatkan tarif resiprokal nol persen, setidaknya bisa berada dikisaran angka 10 persen.
"Kayaknya susah untuk dapat nol persen. Kita tentunya harus semaksimal mungkin menurunkan dari 32 persen. Kalau kita lihat yang didapatkan oleh Inggris 10 persen, jadi kalau bisa dapet 10 persen itu jauh lebih baik tentunya dari 20 persen," jelas Mari saat acara Peringatan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) di Menteng, Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Mari menjelaskan, dari 32 persen tarif yang diterapkan, tarif resiprokal yang diberikan untuk Indonesia adalah 22 persen, dimana 10 persen lainnya merupakan tarif universal untuk semua negara.
"Jadi yang dibilang reciprocal tariff itu sebetulnya 22 persen, yang 10 persen itu universal tariff for everyone. 22 persen itu discount 50 persen dari itungan dia untuk reciprocal tarif," kata Mari.