TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bayangkan sebuah malam di kampung kita. Bukan di lapangan luas, tapi di sini, di antara rumahrumah kita yang berimpitan, di lorong-lorong sempit tempat anak-anak kita biasa berlari sore.
Udara malam yang biasanya membawa aroma masakan dari dapur tetangga, kini terasa sesak dan berat. Ia bergetar.
Getaran itu bukan lagi dari jauh. Ia menjalar dari aspal gang, merambati pondasi, dan kini, ia seperti tangan tak kasat mata yang menggedor-gedor dinding rumah kita. Ini adalah Sound Horeg, yang kini tidak lagi "manggung" di tanah lapang, melainkan "beradu" di jantung pemukiman.
Bagi gerombolan anak muda yang berkumpul, ini adalah deklarasi eksistensi. Di bawah sorot lampu, panggung tak resmi pun tercipta. Liukan tubuh-tubuh gadis muda, seksi dan penuh energi, menjadi magnet utama. Kerlingan mata yang menggoda berbalas dengan lembaranlembaran uang saweran. Tubuh menjadi tontonan, dan tontonan menjadi komoditas.
Dalihnya terdengar lugas dan menantang: "Saya mencari penghasilan. Ini tubuhku, apa urusan kalian?" Di media sosial, pembelaan serupa menggema dengan riuh. "Ini, kan, cuman setahun sekali, kalau nggak suka, ya, jangan lihat!" cuit seorang warganet.
"Bisanya hanya protes, kenyataannya masyarakat suka, kok!" timpal yang lain. Argumentasi ini membangun sebuah benteng pertahanan diri, seolah penderitaan sebagian warga tidak valid selama mayoritas penonton
terhibur.
Sebuah realitas paradoks yang menyakitkan: aktivitas yang diklaim sebagai pemberdayaan ekonomi, hak individu, dan hiburan rakyat ini nyatanya menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah ekosistem yang merusak.
"Ukuran sejati dari sebuah masyarakat dapat ditemukan dari cara mereka memperlakukan anggota yang paling rentan." - Mahatma Gandhi.
Respons yang gagap dari pemerintah dan sengitnya perdebatan publik menunjukkan betapa kompleksnya masalah ini.
Ini bukan sekadar soal izin keramaian. Ini soal multidimensi: Benturan nilai ini mendorong lembaga keagamaan untuk mengambil sikap tegas. Melalui sebuah forum Bahtsul Masail di Pasuruan, para ulama mengeluarkan fatwa haram terhadap kegiatan sound horeg.
Keputusan ini diperkuat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, yang memandang aktivitas ini lebih banyak mendatangkan mafsadat (kerusakan) dan mudharat (bahaya) daripada manfaat.
Bagi mereka, ini bukan sekadar soal kebisingan, melainkan juga potensi degradasi moral melalui tontonan yang tidak pantas dan percampuran laki-perempuan tanpa batas, yang semuanya berlandaskan prinsip fiqih dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih (menolak kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemanfaatan).
Namun, narasi penolakan berbasis agama dan sosial ini bertemu dengan respons yang tak kalah kuat dari para pelaku usaha di lapangan. Mereka memposisikan diri sebagai fasilitator dari kehendak masyarakat yang menyewa jasa mereka.
Sembari meminta agar tidak hanya dipandang dari sisi negatif, mereka menyoroti adanya perputaran ekonomi bagi pedagang kecil yang ikut mencari rezeki. Lebih jauh, mereka merujuk pada dialog yang konon pernah dilakukan, seperti sebuah Focus Group Discussion (FGD) di Kabupaten Malang yang disebut-sebut telah menghasilkan kesepakatan bahwa kegiatan ini bisa berjalan selama mengikuti aturan main.
Sikap ini, ditambah pernyataan Wakil Gubernur Jatim, Emil Dardak, yang berupaya mencari jalan tengah dengan membuka ruang dialog, menunjukkan betapa rumitnya persoalan ini.
Terjadi tarikmenarik antara suara ulama yang berpegang pada prinsip kemaslahatan umum dengan klaim para pelaku usaha yang mengatasnamakan kreativitas, hobi, dan ekonomi kerakyatan, sambil dengan cerdik menempatkan diri sebagai pihak yang siap diatur jika ada regulasi yang jelas.
Sudah mendesak bagi pemerintah untuk turun tangan, bukan hanya untuk berdialog, tetapi untuk menegakkan regulasi yang jelas dan tegas berdasarkan kajian holistik. Libatkan semua pihak: ahli medis, pakar teknik, sosiolog, agamawan, aktivis perempuan, dan tentu saja, perwakilan pemuda serta para pelaku di dalamnya.
"Kebebasanmu berakhir di mana kebebasan orang lain dimulai."
Kreativitas tidak harus mati. Ia hanya perlu dipandu agar kembali beradab. Mungkin solusinya adalah arena khusus yang teregulasi, di mana ekspresi tidak mengorbankan hak dan kesehatan orang lain, dan di mana martabat manusia tidak direduksi menjadi sekadar komoditas saweran.
Kisah dari lorong-lorong yang terkepung ini adalah pelajaran pahit. Ia mengingatkan kita bahwa kreativitas yang sejati lahir dari empati, bukan dari ego. Ia membangun, bukan merusak. Ia memanusiakan, bukan mengeksploitasi. Sebab, pada akhirnya, suara terindah bukanlah dentuman bass yang dahsyat, melainkan harmoni kehidupan bersama yang saling menjaga.
*) Oleh: Dr. Redy Eko Prastyo (pemerhati sosial, pemerhati bunyi, akademisi, pelaku budaya ruang kampung, inisiator jaringan kampung nusantara. (*)
***
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.