TRIBUNJATIM.COM - Tengah viral di media sosial curhat warga ditagih bayar BPJS Kesehatan karena telat daftarkan bayinya.
Warga itu terlambat mendaftarkan anaknya menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Tagihan yang dibebankan kepadanya mencapai mencapai Rp 2 juta.
“Emang BPJS nih, sy ga tau kalau bayi baru lahir wajib daftar BPJS, pas daftarin anak ke BPJS tiba-tiba kena tagihan 2jt dihitung sejak anak sy lahir, gue gak ikhlas.. Pokoknya ga ikhlas,” tulis akun X @bc****** pada Jumat (18/4/2025), melansir dari Kompas.com.
Terkait masalah ini, Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah menjelaskan, kewajiban mendaftar menjadi peserta JKN telah ada dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 82 tahun 2018.
Ia menegaskan bahwa pendaftaran tersebut harus dilakukan paling lambat 28 hari setelah bayi lahir.
“Sesuai Perpres No 82 Tahun 2018, pada pasal 16 mengatakan bahwa bayi baru lahir wajib didaftarkan menjadi peserta Program JKN paling lama 28 hari sejak kelahirannya,” jelas Rizzky ketika dihubungi oleh Kompas.com pada Kamis (3/7/2025).
Lebih lanjut, Rizzky mengatakan, setelah sang anak didaftarkan, maka layanan program JKN tersebut akan langsung aktif dan dapat digunakan.
Rizzky menjelaskan, jika orangtua terlambat mendaftarkan bayinya (lebih dari 28 hari sejak anak lahir), maka akan dikenakan tagihan yang terhitung sejak bulan kelahiran bayi.
“Bila terlambat mendaftar atau lebih dari 28 hari, maka iurannya akan ditagihkan terhitung sejak kelahiran bayi,” kata Rizzky.
Rizzky juga mengatakan, selama iuran belum terbayarkan, bayi tersebut tidak bisa mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan.
Selain itu, apabila bayi tersebut harus menjalani rawat inap di rumah sakit, maka pihak BPJS akan memberikan sanksi yakni berupa denda pelayanan.
Rizzky mengimbau untuk para orangtua yang baru saja memiliki anak untuk segera mendaftarkan bayinya ke layanan JKN.
“Kami imbau bagi peserta yang baru saja melahirkan untuk segera mendaftarkan anak tersebut, sehingga terjamin dengan Program JKN saat mengakses layanan di fasilitas kesehatan,” jelas Rizzky.
Dalam berita lain, seorang warga Tangerang Selatan, Dina kaget iuran BPJS Kesehatan milik ibunya mengalami kenaikan.
Dina heran kenaikan iuran sebesar 100 persen.
Ia baru mengetahui ketika membayar iuran BPJS ibunya melalui mobile banking.
Dina mengaku biasanya hanya menyetor Rp 35 ribu per bulan.
Namun kini harus membayar iuran BPJS Kesehatan milik ibunya dengan total biaya Rp 70 ribu.
"Bulan lalu sepertinya masih Rp 35 ribu per bulan. Hari ini saya bayar sudah Rp 70 Ribu," katanya, Selasa (1/7/2025), dikutip dari Tribun Tangerang.
Dina mengaku membayarkan iuran BPJS Kesehatan tersebut pada Senin 1 Juli 2025 pukul 16.00 WIB.
Karyawan swasta tersebut mengatakan, memang selalu membayarkan iuran BPJS kesehatan milik sang ibu yang merupakan seorang Ibu Rumah Tangga setiap bulannya karena berstatus bayar mandiri atau bukan pekerja yang menerima upah.
Diketahui iuran BPJS Kesehatan saat ini memiliki 3 klaster untuk kelompok masyarakat bukan pekerja:
Kelas 1: Rp150.000 per bulan per orang.
Kelas 2: Rp100.000 per bulan per orang.
Kelas 3: Rp42.000 per bulan per orang, namun peserta hanya membayar Rp35.000 karena ada subsidi dari pemerintah sebesar Rp7.000.
Namun hingga Senin (1/7/2025) belum ada keterangan resmi dari BPJS soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan 2025.
Jauh sebelum iuran BPJS Kesehatan mengalami kenaikan seperti yang dirasakan oleh Dina, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Ali Ghufron Mukti sudah menyingung soal wacana kenaikan iuran.
Namun dia memang belum bisa memastikan apakah iuran BPJS akan naik atau tetap pada Juli 2025.
Ali Ghufron mengatakan, pihaknya saat ini menyiapkan berbagai skenario seiring dengan BPJS Kesehatan yang mengalami defisit.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024, sebut Ali, iuran BPJS Kesehatan bisa dievaluasi setiap dua tahun.
"Baca di Perpres 59, (bisa) dievaluasi, lalu nanti maksimal 30 Juni atau 1 Juli 2025, nah itu iurannya, tarifnya, dan manfaat tarifnya akan ditetapkan. Jadi saya tidak bilang harus naik atau apa, bukan,” kata Ali usai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024), dikutip dari Kompas.com.
“Tapi di Perpres 59 itu disebutkan seperti itu. (Jadi) iya, (iuran) bisa naik, bisa tetap. Ini kan skenario,” tutur Ali. Namun, Ali menegaskan bahwa BPJS Kesehatan bukan pihak yang menetapkan iuran naik atau tetap.
BPJS Kesehatan hanya menyiapkan skenario.
“BPJS sebagai badan yang mengeksekusi, bukan regulasi ya. Sehingga kami sudah antisipasi berbagai macam skenario. Artinya ini (iuran naik) bisa ya, bisa tidak,” ucap Ali.
Dikutip dari Kompas.id, berdasarkan Rencana Kerja Anggaran Tahunan BPJS Kesehatan Tahun 2024, biaya manfaat yang harus dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan pada 2024 diproyeksi mencapai Rp 176,8 triliun.
Jumlah tersebut lebih besar dari besaran penerimaan iuran yang diproyeksi sebesar Rp 157,8 triliun.
Dari jumlah itu, berarti selisih biaya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai hampir Rp 20 triliun pada tahun ini.
Sementara pada 2023, tercatat besaran beban manfaat mencapai Rp 158,8 triliun, dan penerimaan iuran sebesar Rp 149,61 triliun.
Namun demikian, Ali Ghufron memastikan aset neto atau aset bersih masih sehat.
Ia memastikan BPJS Kesehatan lancar membayar iuran ke rumah sakit (RS) dan puskesmas pada 2025.
Adapun aset neto BPJS Kesehatan saat ini sekitar Rp 50 triliun.
“Maka tahun 2025 kami pastikan kami lancar membayar rumah sakit. Jangan sampai pelayanan sulit atau apa, tiga hari belum terkendali pasien suruh pulang segala macam karena enggak dibayar, kami bayar,” kata Ali.
Ali juga menegaskan tidak ada kebijakan BPJS Kesehatan untuk mengurangi rujukan.
“Atau untuk memulangkan (pasien) sebelum terkendali pasiennya dalam tiga hari,” tutur Ali.
Untuk menekan defisit, Ali mengatakan BPJS Kesehatan telah membuat berbagai skenario, salah satunya menaikkan iuran pada Juli 2025.
“Itu salah satu cara, tapi cara lain banyak. Kami sudah bikin skenario,” kata Ali.