SURYA.CO.ID - Terungkap awal mula Tumini membayar sewa sebesar Rp 1 juta ke Perum Jasa Tirta (PJT), untuk toilet umum yang ditinggalinya selama bertahun-tahun.
Ternyata, Tumini membayar uang sewa sejak awal mengelola toilet umum tersebut pada 2010 silam.
Dan, lima tahun terakhir dia menjadikan fasum tersebut sebagai tempat tinggal.
Pembayaran dilakukan dengan mendatangi kantor PJT di Jalan Karah, Nomor 6, Kecamatan Jambangan, Surabaya.
Di tahun pertama, dia membayar sewa sekitar Rp 1 juta.
“Setelahnya, karena keterbatasan ekonomi kadang bayar tiga tahun sekali atau dua tahun sekali."
"Baru mulai 2017 itu aktif tiap tahun bayar,” kata Tumini, dikutip SURYA.CO.ID dari Kompas.com.
Namun, pada 2022, petugas Jasa Tirta menolak pembayaran uang sewa.
“Ditolak, nggak boleh bayar. Terakhir banyak 2021, tahun 2022 pas ke sana mau bayar ditolak,” tegasnya.
Menurut Tumini, petugas Jasa Tirta beralasan karena sudah tidak ada biaya operasional yang harus dibayar Tumini atas ponten umum tersebut.
“Sampai 2025 ini belum bayar lagi karena waktu itu disuruh nunggu info saja, nanti akan dikabari,” bebernya.
Tumini tak mengetahui secara pasti alasan PJT 1 memberikan izin kepada suaminya di tahun 2010 untuk dipercaya mengelola ponten umum dan melakukan perjanjian pembayaran biaya pemanfaatan lahan.
“Ya disuruh saja, pokoknya almarhum suami saya dipercaya untuk mengelola. Gitu aja,” jelasnya.
Setidaknya, dalam kurun waktu 25 tahun mengelola ponten umum di Taman Lumumba, Tumini membayar sewa ke Jasa Tirta mencapai Rp 15 juta.
“Ada paling kalau sampai Rp 15 juta,” tegasnya.
Tanggapan PJT
Terpisah, Kepala Sub Divisi Pengelolaan Wilayah Sungai Brantas 3 PJT I, Teguh Bayu Aji tak mengetahui secara pasti terkait seluruh biaya sewa yang dibayarkan Tumi selama belasan tahun.
“Kami kurang tahu tepatnya. Untuk perjanjian terakhir 2018-2021 per tahun 1.250.000, perjanjian ini dibuat sebagai bentuk pengamanan sempadan agar tidak dijadikan hak milik oleh warga yang menempati,” bebernya.
Pihak Jasa Tirta sudah tidak lagi menarik biaya operasional sejak tahun 2022 dengan alasan sudah tidak memiliki kemanfaatan atas fasum tersebut.
“Memang ada biaya pemanfaatan lahan sampai dengan tahun 2021 tetapi setelah itu sudah tidak ada mungkin dengan pertimbangan kemanfaatanya sudah tidak seperti dulu,” ucapnya.
Berharap Ganti Rugi
Sementara Tumini berharap mendapat ganti rugi atas fasilitas yang ia buat dengan dana pribadi.
Di antaranya memasang listrik, pompa air, dan membangun sumur sedalam 17 meter sejak awal dia kelola pada tahun 2010.
“Kalau sudah enggak boleh, tidak apa-apa. Tapi maksud saya, listrikku diganti, pasangnya dulu 1 juta, pompa air dulu 1,5 juta, dan sumur sekitar Rp 750.000,” ujar dia.
Uang ganti rugi itu, kata Tumini, akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
"Jika harapan tersebut dipenuhi, uang ganti rugi rencananya digunakan untuk menyambung hidup dan membayar utang."
“Kalau bisa, kan uangnya bisa buat tambahan untuk usaha nanti. Karena saya masih punya pinjaman harian,” kata Tumini.
berharap mendapat ganti rugi atas fasilitas yang ia buat dengan dana pribadi.
Di antaranya memasang listrik, pompa air, dan membangun sumur sedalam 17 meter sejak awal dia kelola pada tahun 2010.
“Kalau sudah enggak boleh, tidak apa-apa. Tapi maksud saya, listrikku diganti, pasangnya dulu 1 juta, pompa air dulu 1,5 juta, dan sumur sekitar Rp 750.000,” ujar dia.
Uang ganti rugi itu, kata Tumini, akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
"Jika harapan tersebut dipenuhi, uang ganti rugi rencananya digunakan untuk menyambung hidup dan membayar utang."
“Kalau bisa, kan uangnya bisa buat tambahan untuk usaha nanti. Karena saya masih punya pinjaman harian,” kata Tumini.
Diketahui, Tumini harus angkat kaki dari toilet umum yang sudah ditinggalinya selama bertahun-tahun.
Sejak kisahnya viral pada Rabu (2/7/2025), Pemkot Surabaya dan jajaran terkait melakukan sterilisasi.
Perabot Tumini yang berada di toilet dikembalikan ke rumah yang berada di RT 1 RW 2 Lumumba, Ngagel.
Tumini pun pusing karena toilet umum tersebut juga menjadi lahan mata pencahariannya selama ini.
Selama menjaga ponten umum, Tumini pernah mengantongi pendapatan Rp 100 ribu-Rp 200 ribu per hari dari konsumen di masa kejayaan Taman Ngagel.
Namun, belakangan sepi dan sekitar lima tahun lalu Tumini membuka warung sederhana menjual minuman dan makanan di ponten umum.
Untuk menjaga barang dan tempat, ibunya terkadang tidur di ponten saat malam hari.
Pendapatannya selain digunakan untuk kehidupan sehari-hari, juga untuk biaya perawatan dan perbaikan ponten.
“Ya pusing, kita harus kerja di mana. Lapangan pekerjaan sempit, apalagi sudah tua gini,” kata Tumini dikutip SURYA.CO.ID dari Kompas.com.
Satu anaknya telah berumah tangga dan satu anak lainnya bekerja sebagai kurir makanan online.
“Anak saya yang terakhir juga sebelumnya kena PHK, terus jadi kurir diberhentikan juga, sekarang Shopee Food. Nyari kerjaan sekarang susah,” ungkapnya.
Sekarang Tumini masih menjaga ponten selagi belum ada keputusan resmi dari Pemkot Surabaya dan Kecamatan Ngagel.
Sebab, sebelumnya Camat Ngagel menjanjikan akan memberikan gerobak dan modal untuk usaha.
“Bu Camat ngasih solusi, ‘mau nggak tak kasih bantuan rombong dan modal’."
"Ya saya mau kan buat makan Saya usul untuk dicarikan tempat (usaha). Karena kalau nyari sendiri mahal banget sewanya di Surabaya sekalipun itu kecil,” ungkapnya.
Tumini bilang, ponten umum akan diambil oleh Pemkot Surabaya dan berencana dikelola pegawai pemkot.
Klik di sini untuk untuk bergabung