Politikus PKS Nilai Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal Sebagai Wujud Keluhan Publik
Adi Suhendi July 05, 2025 03:31 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal Pemilu nasional dan Pemilu daerah sebagai hal bagus.

Menurutnya, putusan itu merepresentasikan apa yang dikeluhkan masyarakat.

"Tidak ada dissenting opinion. Selama ini proses pengambilan keputusan di MK selalu transparan. Termasuk pendapat setiap hakim semua dipublikasikan terbuka, ide pemisahan Pemilu nasional dengan Pemilu lokal bagus," ujar Mardani kepada wartawan, Jumat (4/7/2025).

Dia mengatakan keterikatan publik semakin kuat soal soal isu ini.

"Apalagi selama ini pemilu lokal selalu tenggelam oleh hiruk pikuk pemilu nasional. Pilpres khususnya," kata dia.

Legislator PKS itu menilai pemisahan pemilu daerah dan nasional itu juga memiliki dampak positif pada otonomi daerah.

Menurutnya, isu di daerah juga akan mendapatkan perhatian lebih nantinya.

"Isu daerah bisa lebih dibahas secara detail dan mendalam. Sehingga kekuatan daerah bisa tumbuh. Adakah ini melanggar konstitusi? Saya tidak yakin. Mereka punya pemahaman mendalam tentang konstitusi. Tapi ini bagus jadi diskursus publik. Kita tunggu jawaban hakim MK," katanya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak.

Ke depan, Pemilu akan dibagi menjadi dua tahap yakni Pemilu nasional dan Pemilu lokal (daerah) dengan jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.

Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI.

Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

MK menyatakan bahwa pelaksanaan serentak dalam satu waktu untuk seluruh jenis pemilu menimbulkan banyak persoalan, seperti beban berat penyelenggara pemilu, penurunan kualitas tahapan, serta kerumitan logistik dan teknis.

“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

MK menilai ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai sebagai kewajiban melaksanakan seluruh pemilu pada waktu yang sama.

Karena itu, MK memberi penafsiran baru bahwa pemungutan suara dilakukan dalam dua tahap: pertama untuk pemilu nasional, lalu beberapa waktu setelahnya untuk pemilu lokal.

Norma-norma lain terkait teknis pelaksanaan pemilu juga wajib disesuaikan dengan penafsiran baru MK tersebut.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.