TRIBUNMADURA.COM - Tak ada yang bisa menandingi kalutnya seorang ibu saat tahu buah hatinya menjadi korban kekerasan seksual.
Hal itulah yang dirasakan oleh warga Jambi berinisial IM.
Anak laki-lakinya yang baru berusia 13 tahun dicabuli oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi bernama Yanto alias Rizky Aprianto.
Hati IM tersayat melihat anaknya trauma dan berubah sikap sejak kejadian nahas pada November 2024 lalu.
Dalam kondisi seperti itu, IM ternyata mendapat tawaran Rp1 miliar dari pelaku sebagai uang damai.
Namun wanita tersebut berteguh hati, menolak dengan harapan Yanto tetap dihukum.
Hal tersebut diungkap langsung oleh IM didampingi Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Provinsi Jambi saat diwawancara media, Sabtu (5/7/2025).
Menurut pengakuan, IM kerap didatangi orang tak dikenal dan ditawari uang bernominal fantastis agar kasus kekerasan seksual itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Google News TribunMadura.com
“Saya tidak bisa hitung, berapa orang yang datang ke rumah. Saya ditawarin sampai Rp 1 miliar,” kata IM, saat diwawancarai pada Sabtu (5/7/2025).
Bagi IM, tawaran uang sebesar apa pun tidak dapat menggantikan perjuangannya untuk menuntut keadilan bagi anaknya.
Ia ingin pelaku Yanto alias Rizky Aprianto mendapat hukuman setimpal atas perbuatannya.
Ia menegaskan, keselamatan anak-anak lain jauh lebih penting daripada menerima imbalan materi.
“Saya tidak akan menggantikan keadilan anak saya dengan uang. Saya hanya ingin pelaku dihukum seberat-beratnya,” tegas IM, dikutip dari Kompas.com.
“Saya cuman mau keadilan bagi anak saya. Dan cuman takut akan ada banyak anak-anak lainnya jadi korban,” sambung dia.
Menurut IM, orang-orang yang datang kerap mengaku dikirim untuk “merayu” dirinya agar setuju berdamai.
Bahkan, ia menggambarkan situasi tersebut seperti berada dalam tekanan berulang.
“Orang yang datang itu bilang ‘kami disuruh, siapa yang bisa mendamaikan kasus ini. Nah, kalau gagal, pasti ada orang baru yang datang’. Dan betul, setelah saya tolak, tiga hari berikutnya ada orang baru,” katanya.
Terlebih-lebih anaknya kini trauma dan menjadi korban perundungan di sekolah.
"Anak saya di-bully, diejek, itu yang membuat saya sangat sedih dan terpukul. Sekarang, emosinya tidak terkontrol, apalagi nama saya juga kerap diolok-olok," ungkap IM saat diwawancarai.
IM menjelaskan, sejak kejadian tersebut, kondisi psikologis anaknya tidak stabil. Ia mudah marah dan sulit dikendalikan bahkan untuk hal-hal kecil.
"Apa-apa dia sekarang gampang marah. Cuma ada salah sedikit saja, bapaknya, saya dia marahi. Marahnya bukan seperti anak-anak biasanya," ucapnya.
Saat ini, anaknya memilih untuk tidak lagi bersekolah karena merasa tertekan. Ia juga selalu meminta ditemani jika hendak keluar rumah.
"Ke depan gang saja dia minta ditemani. Saya kesulitan meminta dia untuk tetap berangkat sekolah," tambah IM.
Puncak kekecewaan IM terjadi ketika mendengar vonis dua tahun penjara terhadap pelaku, yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Suwarjo pada Kamis (3/7/2025).
Hakim menyebut terdakwa bersikap sopan dan mengakui perbuatannya sebagai alasan meringankan.
"Saya hanya memperjuangkan keadilan anak saya. Saya sangat kecewa dengan vonis hakim," ujarnya.
Vonis tersebut lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa, yaitu selama tujuh tahun.
Ketua LPAI Jambi, Amsyarnedi Asnawi menilai vonis tersebut sangat ringan dan tidak mencerminkan perlindungan maksimal bagi anak.
"Sangat miris. Kalau ini berulang, yang kasihan adalah anak-anak. Kasus yang naik ke pengadilan justru vonisnya ringan," ujarnya.
LPAI Jambi mendorong agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) segera mengajukan banding, karena menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, kasus seperti ini semestinya memiliki hukuman minimal lima tahun.
"Hari Senin (7/7/2025) kita akan surati Kejari. Jika tidak ada tanggapan, kita akan bersurat ke KPAI pusat," jelasnya.
Diwartakan sebelumnya, kasus ini bermula saat korban sedang dalam perjalanan pulang sekolah.
Pelaku menghampiri korban dengan mobil, berpura-pura menanyakan alamat, dan mengajaknya masuk ke dalam kendaraan.
Di dalam mobil, pelaku meminta korban menonton film dewasa yang diputar dari Handphone pelaku.
Tak berselang lama, pelaku mematikan HP-nya, kemudian melakukan kekerasan dengan menampar korban.
Korban sempat melakukan perlawanan, namun ia takut, ketika pelaku seolah mengambil senjata dari dalam laci mobilnya.
Mendapati korban tak berdaya, pelaku kemudian menjalankan aksi pelecehan seksual.
Sementara itu, pemuda bernama Yusuf juga mengalami penganiayaan dan pelecehan seksual dari enam oknum polisi.
Baca juga: 3 Oknum Wartawan Diringkus Polisi Terkait Dugaan Pemerasan Honorer Pemkot Madiun
Tak tinggal diam, Yusuf juga melaporkan aksi anggota Sat Sabhara Polrestabes Makassar itu ke polisi.
Keenam polisi lantas dipecat dan ditahan selagi penyelidikan kasus berlangsung.
Namun, saat mengira semuanya akan baik-baik saja, dia malah mendapat ancaman dari keluarga pelaku.
Meski minta damai, dia mengatakan aksi keluarga pelaku jauh dari kata tersebut.
Seperti diketahui, pengalaman traumatis ini dialami Yusuf pada Selasa (27/5/2025) lalu saat nongkrong menikmati pasar malam di daerah tempat tinggalnya di Dusun Parang Boddong, Desa Boddia, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar.
Dia tetiba dihampiri enam pria berpostur tinggi yang membawa senjata lalu menodongkannya sekira pukul 22.00 WITA.
Tak lama, mereka memukuli Yusuf.
“Tiba-tiba sekitar enam orang (polisi) datang, lalu menodongkan senjata ke kepala saya lalu langsung pukuli saya,” kata Yusuf dikutip dari Kompas.com.
Yusuf pun diseret ke dalam mobil dan dibawa ke lokasi sepi. Di sana ia diikat, dianiaya, dipaksa membuka seluruh pakaian, hingga dilecehkan secara fisik dan verbal.
“Di tempat sepi itulah saya diikat, dianiaya, terus disuruh buka semua pakaian, mulai dari baju, celana, hingga celana dalam,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Yusuf juga dipaksa mengaku memiliki narkotika jenis tembakau sintetis yang sebenarnya dibawa oleh salah satu anggota polisi, Bripda A. Namun Yusuf menolak mengaku karena memang tidak mengetahui apa-apa soal barang tersebut.
Setelah diamankan selama sekitar tujuh jam, polisi akhirnya menghubungi keluarga Yusuf dan meminta uang tebusan.
“Awalnya mereka minta uang Rp 15 juta, tapi keluarga saya tidak punya uang sebanyak itu. Lalu mereka turunkan jadi Rp 5 juta, tetapi tetap ditolak. Akhirnya baru dilepaskan setelah keluarga bayar Rp 1 juta,” ungkap Yusuf.
Pihak keluarga kemudian melaporkan kejadian ini ke Polrestabes Makassar dan Polres Takalar hingga enam polisi tersebut dicopot dan ditahan.
Namun, proses penanganan hukum dan etik masih berjalan lambat.
Sejak kasus ini dilaporkan, Yusuf menyebut keluarganya kerap didatangi oleh orang-orang yang mengaku sebagai utusan keluarga para pelaku, termasuk beberapa yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya.
“Setiap saat ada orang yang datang ke rumah mertua dan nenek saya mau ketemu saya. Mereka termasuk keluarga juga namun mewakili utusan keluarga para pelaku,” kata Yusuf, Sabtu (21/6/2025).
Yusuf mengaku sangat tertekan dan enggan menemui siapa pun dari pihak pelaku.
Menurutnya, kedatangan mereka bukan untuk memberi dukungan, melainkan untuk membujuk agar kasus diselesaikan secara damai.
“Tertekan saya rasa ini, makanya saya tidak pernah mau temui mereka,” ungkapnya.
Bahkan, dalam beberapa hari terakhir, Yusuf mengatakan ada anggota polisi berinisial A datang ke rumahnya dan menyampaikan pesan yang ia anggap sebagai ancaman.
“Bilangnya, ada pesan keluarga pelaku. Kalau saya tidak mau damai, tidak apa-apa, tapi pesan mereka saya disuruh hati-hati dan jaga diri saja. Itu jelas-jelas bentuk ancaman,” beber Yusuf.
Di sisi lain, pihak Propam Polrestabes Makassar menyatakan berkas perkara masih belum lengkap.
“Untuk sekarang perampungan pemeriksaan. Saksi sudah diperiksa lima orang,” ujar Kasi Propam Polrestabes Makassar, Kompol Ramli.
-----