Menjaga Warisan, Merawat Alam: Jejak Hijau Zie Batik dari Gunungpati Semarang
muh radlis July 06, 2025 09:30 AM

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG — Di sebuah sudut sunyi di Kampung Malon, Kecamatan Gunungpati, aroma tanah basah dan rebusan daun indigo menyambut siapa pun yang datang.


Dari tempat inilah, ratusan lembar kain batik berwarna lembut lahir setiap bulan.


Di tengah krisis iklim dan limbah industri yang mencemari lingkungan, Zie Batik memilih jalur berbeda: membatik sambil merawat bumi.


Adalah Marheno Jayanto (54) pria asal Jakarta, otak di balik gerakan hijau ini. Ia bukan keturunan pengrajin batik. Ia juga bukan asli Semarang.

Namun justru dari tangannya, motif khas Kota Lumpia kembali berdenyut—dengan warna yang berasal dari alam.


"Batik Semarang waktu itu seperti mati suri. Kota sebesar ini enggak punya motif khas.

Saya prihatin,” ujar Heno, mengenang awal kedatangannya ke Semarang pada 2004, belum lama ini.


Bersama almarhum istrinya, Heno memulai segalanya.


Ia masuk ke sekolah-sekolah, mengajarkan teknik membatik pada anak-anak.

Upayanya mendapat sambutan dari Pemkot Semarang, yang kemudian menggandengnya menghidupkan kampung batik di Bubakan.


Namun Heno tak berhenti pada pelestarian budaya. Ia gelisah dengan cara industri batik konvensional bekerja—pewarna kimia, air limbah, dan pencemaran lingkungan.


Maka pada 2010, ia berbelok arah: mendirikan Zie Batik, dengan prinsip sederhana namun tegas—melestarikan budaya tanpa merusak alam.


Heno mengatakan, Zie Batik tak hanya memproduksi kain. Mereka juga menanam bahan bakunya sendiri.


Di perkampungan yang dekat dengan kata asri, sejumlah petani dilibatkan menanam tanaman pewarna alami—indigo, jelawe, tingi, secang.


Petani yang semula tak tahu-menahu soal batik kini menjadi penghasil bahan warna, sekaligus bagian dari rantai produksi yang berkelanjutan.


"Kami tanam sendiri, olah sendiri, pakai sendiri. Ini soal kemandirian, tapi juga tanggung jawab lingkungan," kata Heno.


Bersama para ibu rumah tangga dan pemuda sekitar, Zie Batik memproduksi sekitar 400 lembar kain batik cap dan 20 lembar batik tulis tiap bulan.


Pewarnaannya bukan dengan mesin dan bahan kimia, melainkan rebusan kulit kayu, daun, dan akar—diproses pelan, sabar, dan nyaris tanpa limbah.


Potongan-potongan kain yang tersisa pun tak dibuang. Di tangan para ibu, sisa-sisa itu disulap menjadi tas, dompet, hingga aksesori.


Apa yang dimulai dari kampung pun berbuah manis. Zie Batik sudah tampil di pameran besar seperti Inacraft dan KKI.


Bahkan, batik berpewarna alami itu sempat hadir di forum G20 dan menembus pasar Jepang, Belanda, hingga Singapura.


Bahkan kini, motif Zie Batik tak hanya menampilkan ikon-ikon kota seperti Lawang Sewu dan Tugu Muda.


Mereka mengikuti perkembangan zaman dengan merancang desain yang lebih ringan, kasual, dan bisa dipakai anak muda sehari-hari.


"Kami ingin batik itu bisa masuk ke lemari anak-anak muda juga. Jadi tidak melulu motif klasik," ungkapnya. (idy)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.