Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu, Legislator Gerinda Asal Ponorogo : Berpotensi Langgar Konstitusi
Samsul Arifin July 06, 2025 12:30 PM

Laporan Wartawan Tribunjatim.com, Pramita Kusumaningrum 

TRIBUNJATIM.COM, PONOROGO - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024, pada 26 Juni 2025 yang mengatur skema pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah, menuai pro kontra. 

Satu diantaranya yang bersuara adalah Legislator Partai Gerinda, Supriyanto. 

Dia menilai keputusan MK terkait skema pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah dinilai cukup problematik. 

“Problem Pertama. Putusan MK tersebut  berpotensi melanggar konstitusi,” ungkap Legislator Gerindra asal Ponorogo ini, Minggu (6/7/2025).

Dia menyebutkan bahwa jeda waktu 2-2,5 tahun antara pelaksanaan pemilu nasional dengan pemilu lokal, mengakibatkan pemilihan anggota DPRD tidak dapat dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

“Sehingga tidak sesuai dengan amanat pasal 22 E Undang Undang Dasar Tahun 1945," ujar Kang Pri—sapaan akrab—Supriyanto kepada wartawan.

Anggota DPR Dapil Jawa Timur 7 ini menjelaskan bahwa bunyi Pasal 22 E UUD 1945, secara tegas menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, untuk memilih presiden, wakil presiden , DPR , DPD , dan DPRD. 

Problem kedua,  Mahkamah Konstitusi masuk dan mengambil kewenangan open legal policy ( kebijakan hukum terbuka) yang merupakan kewenangan pembentuk UU, DPR dan pemerintah. 

“Pembentuk UU dapat merumuskan detail pengaturan undang undang, secara lebih spesifik, selama tidak bertentangan dengan konstitusi. MK seharusnya bertindak sebagai Guardian of constitution, pengawal konstitusi," terangnya.

Menurutnya, tugas pokok MK, adalah  melakukan uji materi apakah sebuah UU bertentangan dengan UUD 1945 apa tidak. 

MK tidak boleh menambah norma baru dalam UU. 

"Problem ketiga, MK cenderung tidak konsisten dari waktu ke waktu. Contoh terkait uji materi presidential threshold atau PT. Pada awalnya MK selalu menolak uji materi terkait PT.  MK berdalih bahwa PT merupakan open legal policy, namun pada akhirnya MK menghapuskan presidential Threshold," imbuhnya.

Kemudian contoh lain adalah  Keputusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019, terkait  keserentakan pemilu.

DPR dan pemerintah sepakat mengadopsi sistem keserentakan pemilu yang disarankan oleh MK, dan kemudian diterapkan pada pemilu 2024. 

Pemilu serentak 2024 selesai digelar, namun muncul putusan baru yaitu Putusan MK NO 135/PUU-XXII/2024, tahun 2025 yang mengatur pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah.

Problem lainnya yaitu Keputusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah, justru merusak siklus kepemimpinan, dan pelembagaan pemilu lima tahunan. 

“Sehingga kita semua berharap konsistensi dari MK untuk menjaga demokrasi di Indonesia," pungkasnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.