Menjaga Tradisi Asyura
Edi Nugroho July 07, 2025 06:31 AM

MEMASUKI 10 Muharam 1447 Hijriah, mulai tampak aktivitas warga membuat bubur Asyura. Aktivitas ini dilakukan secara gotong royong, tidak hanya oleh kalangan ibu-ibu tapi juga bapak-bapak, termasuk anak-anak dan remaja.

Warga sangat antusias melakoni rutinitas tahunan tiap tanggal 10 Muharam, yang kali ini jatuh pada Minggu 6 Juli 2025. Hari itu juga disebut sebagai Hari Asyura.

Seperti dilakukan warga Kelurahan Kupang, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin yang terlihat sibuk membuat bubur asyura di sekitar Masjid Tajul Qur’an Kupang.

 Enam kawah alias wajan besar tampak full dengan adonan bubur yang terbuat dari campuran 41 jenis bahan makanan. Semuanya dikerjakan secara swadaya dan dibiayai sukarela oleh warga setempat. Setelah jadi, bubur dibagikan sama rata untuk dinikmati bersama.

Membuat bubur ini menjadi tradisi khas saat bulan Muharam bagi warga muslim Kalimantan Selatan. Tidak hanya di desa, tapi di perkotaan pun masih terus dipertahankan. Tradisi ini juga masih lestari di sejumlah daerah di Indonesia dan juga kalangan muslim di negara lain.

Seperti diketahui, Muharram adalah salah satu bulan yang sangat dimuliakan dalam Islam bersama dengan Zulkaidah, Zulhijah dan Rajab. Banyak kitab dan ulama yang membahas keistimewaan bulan ini.

Tradisi memasak bubur asyura dipercaya merupakan bentuk pengungkapan rasa syukur manusia atas keselamatan yang selama ini diberikan oleh Allah SWT. Dan, jika merujuk pada sejarah atau asal-usulnya, bubur asyura sudah ada sejak masa Nabi Nuh bersama kaumnya yang beriman selamat dari banjir besar dengan menaiki perahu. Mereka lalu mengumpulkan semua perbekalan yang tersisa untuk membuat bubur.

Tradisi ini juga dipercaya berkaitan dengan kisah ketika Perang Badar. Usai perang, jumlah prajurit Islam menjadi lebih banyak. Saat itu seorang sahabat Nabi Muhammad SAW memasak bubur. Namun jumlah makanan yang ia buat tak mencukupi, hingga akhirnya Nabi Muhammad memerintahkan para sahabatnya untuk mengumpulkan bahan apa saja yang tersedia untuk kemudian dicampurkan ke bubur tersebut agar jumlahnya cukup dan bisa didistribusikan pada semua prajurit.

Bulan Muharam memang tidak sekadar momentum refleksi spiritual, tetapi juga memperkaya budaya lokal masyarakat Banjar melalui tradisi bubur asyura. Warisan budaya yang sarat nilai religi dan sosial ini juga menunjukkan kekompakan dan kebersamaan yang sangat penting dan relevan untuk mengatasi segala persoalan di tengah masyarakat saat ini. Semangatnya adalah kepedulian sosial terhadap sesama, gotong royong dan swadaya. Selamat Hari Asyura. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.