Pendidikan Kembali ke Titik Nol
GH News July 08, 2025 02:03 AM

TIMESINDONESIA, MALANG – Fenomena ditemukannya siswa tingkat SMP bahkan SMA yang belum bisa membaca menjadi ironi menyakitkan dalam wajah pendidikan Indonesia. Di tengah semangat revolusi digital dan program Merdeka Belajar, kenyataan ini mencuat seperti tamparan keras terhadap sistem pendidikan yang digadang-gadang makin inklusif dan berorientasi pada kemajuan.

Di Kabupaten Buleleng, Bali, ditemukan sebanyak 400 siswa SMP yang belum lancar membaca, dengan rincian 155 siswa benar-benar buta huruf dan 208 siswa lainnya masih terbata-bata membaca. Temuan ini menggemparkan publik dan menjadi bahan diskusi nasional karena mencerminkan persoalan yang tidak lagi bisa ditutupi oleh angka-angka indeks pembangunan manusia semata.

Masalah ini tidak datang secara tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan dari akumulasi sistem pendidikan yang selama ini lebih fokus pada formalitas kenaikan kelas daripada kualitas belajar. Salah satu penyebab utama yang mencuat adalah kebijakan “tidak boleh tinggal kelas” yang membuat siswa naik ke jenjang berikutnya meski belum menguasai kemampuan dasar.

Ditambah dengan dampak pandemi COVID-19 dan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang tak merata aksesnya, banyak anak-anak di jenjang SD kehilangan kesempatan emas untuk belajar membaca secara efektif. Setelah naik ke tingkat SMP, mereka terus membawa beban keterlambatan belajar tanpa ada intervensi khusus yang berarti. Sistem seolah membiarkan mereka mengikuti pelajaran yang mereka sendiri tidak bisa baca.

Gangguan belajar seperti disleksia, latar belakang keluarga tidak mampu, dan minimnya literasi keluarga juga menjadi faktor yang tidak bisa dikesampingkan. Banyak dari anak-anak ini berasal dari lingkungan yang kurang mendukung proses belajar di rumah. Bahkan menurut data Dewan Pendidikan Buleleng, sekitar 50 persen siswa tidak memiliki motivasi belajar dan 20 persen orang tua tidak tahu atau tidak peduli apakah anaknya sudah bisa membaca atau belum.

Masalah ini diperparah dengan tingginya penggunaan gadget di kalangan anak-anak yang justru menggantikan buku dan aktivitas membaca. Anak-anak menjadi lebih akrab dengan layar ponsel daripada huruf-huruf di kertas. Hal ini membuat beberapa pihak, termasuk pemerintah daerah, mengusulkan pembatasan penggunaan HP di sekolah sebagai salah satu solusi jangka pendek.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Reaksi dari pemerintah pusat pun tidak tinggal diam. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa mayoritas siswa yang belum bisa membaca tersebut berasal dari kelompok rentan dan memiliki latar belakang kebutuhan khusus.

Ia juga menyoroti fakta bahwa lebih dari 75 persen siswa usia 15 tahun di Indonesia saat ini masih berada di bawah level 2 dalam survei literasi PISA, yang artinya mereka belum mampu memahami isi bacaan dengan baik. Di sisi lain, Bupati Buleleng langsung membentuk tim gabungan yang terdiri dari guru, konselor, dan psikolog pendidikan untuk menelusuri lebih lanjut penyebab dan penanganan kasus ini.

Namun masalah ini tidak hanya milik Buleleng. Di berbagai daerah, fenomena serupa mulai terungkap. Warganet di media sosial seperti Reddit bahkan mengisahkan pengalaman pribadi mereka mengenal anak SMA yang masih kesulitan membaca atau bahkan belum bisa menulis dengan lancar. Sejumlah guru juga mengakui bahwa banyak siswa masuk SMP tanpa kemampuan dasar yang seharusnya sudah dikuasai di SD, namun mereka tidak berdaya karena harus mengikuti kebijakan sistemik yang tidak memberi ruang remedial yang adil.

Bahkan, menurut para pegiat pendidikan, banyak guru yang tidak mendapat pelatihan khusus untuk menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti disleksia. Akibatnya, anak-anak ini tertinggal semakin jauh dari teman-teman sebayanya.

Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Malang menyarankan agar pemerintah memperbanyak guru-guru ABK (anak berkebutuhan khusus) di sekolah umum agar bisa memberi pendampingan yang sesuai. Hal senada juga disampaikan oleh aktivis literasi nasional yang menekankan bahwa krisis literasi ini bukan sekadar soal “bisa membaca huruf”, tetapi soal memahami isi bacaan secara menyeluruh, yang merupakan fondasi dari semua bentuk pembelajaran lanjutan.

Oleh karena itu, upaya perbaikan literasi tidak bisa hanya dengan program jangka pendek atau lomba-lomba baca saja, tetapi harus melalui perubahan menyeluruh dalam budaya belajar, sistem pendidikan, pelatihan guru, serta peran aktif orang tua di rumah.

Fenomena ini menyadarkan kita bahwa krisis pendidikan Indonesia bukan hanya soal anggaran atau kurikulum berbasis teknologi. Ini soal kepekaan dasar: apakah anak-anak kita sudah bisa membaca sebelum diajak memahami dunia? Maka, di tengah semangat reformasi pendidikan yang ingin mendorong capaian tinggi dan kompetisi global, bangsa ini justru dihadapkan pada kenyataan menyedihkan bahwa masih ada ribuan anak yang belum menyentuh kemampuan paling mendasar.

Dalam situasi ini, pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru membuat kebijakan-kebijakan ambisius yang menyasar revolusi digital atau ranking internasional. Sebab fenomena ini adalah alarm serius: kita tidak bisa melompat terlalu tinggi sebelum menapakkan kaki di tanah dengan benar.

Pendidikan harus dimulai dari fondasi paling dasar, yaitu memastikan setiap anak Indonesia bisa membaca, memahami, dan bermimpi melalui kata-kata. Jika kita gagal di sini, maka kegagalan yang lebih besar tengah menunggu di ujung jalan. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.