3 Gaya Komunikasi Paling Merusak Pernikahan yang Kerap Dianggap Sepele
Mia Della Vita July 08, 2025 10:34 PM

Grid.ID- Berikut tiga gaya komunikasi paling merusak pernikahan yang kerap dianggap sepele, tapi bisa menggerogoti keutuhan rumah tangga dari waktu ke waktu. Pernikahan yang sehat bukan hanya soal cinta dan komitmen, tapi juga bagaimana pasangan saling berkomunikasi.

Tanpa disadari, banyak hubungan yang perlahan hancur bukan karena masalah besar, tetapi karena kebiasaan komunikasi yang meracuni dari dalam. Seperti apakahgaya komunikasi paling merusak pernikahan? Simak ulasannya di bawah ini.

Gaya Komunikasi Paling Merusak Pernikahan

1. Gaya Komunikasi “Scorekeeper”

Dikutip dari Marriage.com, Selasa (8/7/2025), salah satu gaya komunikasi paling merusak pernikahan adalah kebiasaan menghitung kontribusi pasangan, seolah hubungan adalah kompetisi. Misalnya, Anda merasa sudah lima kali memasak minggu ini, sementara pasangan Anda hanya dua kali.

Meski tidak diungkapkan secara langsung, perasaan ini menciptakan benih-benih kebencian yang perlahan tumbuh. Alih-alih menikmati waktu bersama, komunikasi mulai dibumbui keluhan dan sindiran tersembunyi.

Kebiasaan ini mengubah relasi menjadi ajang saling menuntut, bukan kolaborasi. Pernikahan pun terasa seperti permainan "apa yang sudah kamu lakukan untukku belakangan ini?"

Padahal, dalam hubungan yang sehat, akan ada masa di mana salah satu pasangan memikul beban lebih banyak, dan itu adalah hal wajar. Menjadikan hubungan sebagai neraca timbangan hanya akan menciptakan jarak emosional.

Solusinya adalah dengan membangun pola pikir bahwa pernikahan adalah kemitraan. Kedua pihak perlu saling mendukung tanpa menghitung-hitung, karena keberhasilan hubungan ditentukan oleh kontribusi bersama, bukan oleh siapa yang lebih banyak berkorban.

2. Gaya Komunikasi Pasif-Agresif

Gaya komunikasi pasif-agresif termasuk gaya komunikasi paling merusak pernikahan yang sangat umum namun sulit dikenali. Bentuknya bisa berupa sindiran halus, diam seribu bahasa, atau komentar ambigu yang menyiratkan kekecewaan. Misalnya, alih-alih berkata langsung bahwa Anda ingin lebih sering berhubungan intim, Anda malah berkata, “Mungkin kalau kita lebih sering bercinta, aku bakal lebih semangat jalan bareng kamu.”

Masalahnya, pasangan Anda bisa jadi tidak memahami maksud di balik kata-kata tersebut. Anda kecewa karena keinginan tak tersampaikan, sementara pasangan bingung karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ini menciptakan lingkaran frustrasi dua arah yang merusak komunikasi jujur dalam hubungan.

Pasif-agresif adalah bentuk komunikasi yang tidak jujur. Ia menghindari konflik terbuka, tapi menimbulkan luka yang tak kalah dalam.

Untuk memperbaiki gaya ini, kuncinya adalah berani berbicara jujur. Jika Anda ingin sesuatu dari pasangan, katakan langsung dengan nada positif dan jelas. Hubungan akan lebih sehat jika komunikasi dilakukan dengan cara terbuka, bukan dengan sandi atau teka-teki emosional.

3. “Aku Baik-Baik Saja” (Padahal Tidak)

Kalimat “Aku baik-baik saja” terdengar sederhana, tapi dalam konteks pernikahan, bisa menjadi salah satu gaya komunikasi paling merusak pernikahan. Banyak orang memilih untuk tidak membebani pasangannya dengan keluh kesah, atau berharap pasangannya bisa membaca perasaannya tanpa harus diberi tahu. Namun kenyataannya, ini justru membuat komunikasi jadi tertutup dan penuh asumsi.

Ketika seseorang berkata “aku oke,” padahal sebenarnya sedang kesal atau sedih, pasangan tidak akan tahu bagaimana harus bersikap. Akibatnya, si pemilik masalah merasa diabaikan, sementara pasangan merasa tak diberi kesempatan untuk membantu. Ini menciptakan jarak emosional yang semakin melebar dari waktu ke waktu.

Komunikasi yang sehat menuntut keterbukaan, bukan sandiwara. Jika Anda merasa terganggu, kecewa, atau terluka, ungkapkanlah. Bicarakan dengan cara yang lembut namun jujur.

Jangan berharap pasangan akan otomatis tahu isi hati Anda. Setiap orang punya batasan dan kelelahan emosional masing-masing. Dengan saling terbuka, Anda dan pasangan bisa bekerja sama dalam menghadapi masalah, bukan saling menyalahkan atau menjauh.

Gaya komunikasi paling merusak pernikahan seringkali bukan teriakan atau pertengkaran hebat, melainkan pola komunikasi yang pelan-pelan merusak ikatan cinta. Bermain sebagai penjaga skor, bersikap pasif-agresif, dan menyembunyikan perasaan sejatinya adalah racun halus dalam rumah tangga.

Menghindari ketiga pola ini adalah langkah awal untuk membangun komunikasi yang sehat, jujur, dan penuh empati. Sebab dalam pernikahan, bukan siapa yang menang yang terpenting, tapi bagaimana Anda dan pasangan bisa saling menang bersama.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.