TIMESINDONESIA, SURABAYA – Seribu Bayang Purnama telah tayang di bioskop. Film layar lebar garapan sutradara Yahdi Jamhur ini mendapat sambutan positif dari para penikmat sinematografi.
Film Seribu Bayang Purnama serentak diputar perdana di enam kota. Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Solo, Sidoarjo dan Surabaya.
Mengambil lokasi syuting di Yogyakarta, mengusung kehidupan petani dengan berbagai dinamikanya. Terutama masalah pelik kapitalisme, ketika petani hanya menjadi objek semata bukan pemain utama dalam lahan mereka sendiri.
Beberapa petani lokal hadir dalam screening film Seribu Bayang Purnama di XXI Tunjungan Plaza Surabaya. Film ini merupakan karya sutradara Yahdi Jamhur, Kamis (10/7/2025). (FOTO: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Film ini dipenuhi dengan gambar-gambar sinematik yang indah dan eksotis, yang dapat membuat para penonton merasa seakan-akan berada di alam pedesaan, sekaligus mengingatkan pada akar budayanya.
"Seribu Bayang Purnama lahir dari persoalan pertanian yang kompleks sebagai upaya edukasi dan alternatif solusi," ungkap Yahdi Jamhur saat screening di XXI Tunjungan Plaza Surabaya, Kamis (10/7/2025).
"Persoalan sektor pertanian yang itu terjadi terlalu lama. Petani termarjinalisasi karena kapitalisasi pertanian," ujar Yahdi Jamhur menambahkan.
Petani saat ini didominasi oleh orang-orang berusia di atas 40 tahun. Sementara petani dengan usia di bawah 40 tahun, jumlahnya sangat sedikit. Regenerasi petani tidak terjadi. Dan diprediksi 2035 nanti, petani Indonesia tinggal nama semata.
Yahdi menyutradarai film berdasarkan kisah nyata petani Indonesia yang terus berjuang memenuhi kebutuhan pangan nasional seperti program pemerintah. Proses syuting memakan waktu 15 hari.
Dari film ini, sang sutradara ingin memberikan pandangan solusi untuk menekan harga promo produksi pangan seperti jagung, dengan memproduksi pupuk, pestisida dari bahan yang disekitarnya agar para petani sejahtera.
"Ini semua alami, kita cuma menawarkan itu," ucapnya.
Yahdi menerangkan, untuk membuat film ini dia juga melibatkan petani asli dalam proses syutingnya agar masyarakat tahu realita yang ada dalam dunia pertanian Indonesia.
"Persoalan terberat di pertanian kita, petani itu sendiri, petani kecil terutama itu posisinya bukan sebagai subyek, bukan sebagai produsen tapi lebih ke obyek," ungkap Yahdi.
"Jadi mereka tidak bisa merdeka menentukan keinginannya sendiri, sangat tergantung karena punya hutang dan segala macamnya," imbuhnya.
Seribu Bayang Purnama sejalan dengan program swasembada pangan meski film tersebut dibuat sebelum pergantian Presiden Indonesia sekarang. Tentunya film ini adalah karpet merah bagi petani dan mengedukasi generasi muda.
"Kita mungkin sama-sama tahu regenerasi petani sangat sulit karena orang nggak mau hidupnya susah. Kebanyakan kita tahu petani hidupnya susah, nah kita di sini menawarkan ke petani kita sebenarnya juga ada loh cara supaya petani kita sejahtera," tuturnya.
Saat diputar perdana di enam kota termasuk Surabaya sebagai kota terakhir, banyak penonton memakai kostum petani sebagai bentuk apresiasi kepada masyarakat yang berprofesi sebagai petani.
Sinopsis Film, Sarat Pesan Menggugah
Seribu bayang Purnama dipilih sebagai simbol tokoh Putro. Dia dikisahkan berhasil melahirkan seribu petani baru dan terus lahir petani-petani yang mengolah lahan pertaniannya dengan cara alami.
"Simbol karakter petani kita ke depan. Bayang-bayang si Putro ini yang menuntun petani sebagai pilihan bukan karena terpaksa," lanjutnya.
Yahdi berharap, film Seribu Bayang Purnama hasil karyanya ini, juga dapat menginspirasi generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian seperti yang dicontohkan Putro Hari Purnomo, tokoh utama film ini.
"Putro adalah seorang pemuda yang bertekad kembali dari kota ke kampung halamannya, untuk menggerakkan para petani agar ikut menerapkan metode pertanian alami," tegasnya.
Film ini lahir dari tangan dingin sutradara dengan pengalaman cukup panjang sebagai jurnalis TV dan pembuat film-film dokumenter.
Film ini juga diklaim sebagai film pertama dalam sejarah perfilman Indonesia yang mengangkat tema pertanian.
Film layar lebar yang mengangkat sepenuhnya problematika para petani di pedesaan masa kini, yang mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat perkotaan.
Di dalam film ini diceritakan bagaimana sulitnya para petani memperoleh modal untuk mengolah lahan mereka, antara lain karena mahalnya harga pupuk dan pestisida kimia yang sudah biasa digunakan para petani.
Akibatnya, para petani terperosok ke dalam jeratan para rentenir yang menerapkan bunga pinjaman selangit, sehingga para petani pun hidup dalam lingkaran kemiskinan yang tak berkesudahan.
Nasib para petani yang kurang beruntung inilah, yang menginspirasi Yahdi Jamhur, sutradara film Seribu Bayang Purnama, untuk mengangkat kegelisahan para petani masa kini ke dalam sebuah film, dengan harapan masyarakat luas dapat lebih memahami derita para petani. Lantaran para petani inilah, yang menjadi tiang utama atau tulang punggung pengadaan pangan secara nasional.
Keinginan membuat film Seribu Bayang Purnama, dipicu oleh tantangan dan dukungan penuh dari produser eksekutif film ini, Joao Mota seorang penggiat pertanian alami dan sosok yang sangat peduli dengan pertanian dan nasib petani Indonesia datang membawa ide cerita, kisah sukses seorang petani muda di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berhasil mempelopori Metode Tani Nusantara, sebuah metode pertanian alami yang mudah, murah dan sederhana.
Namun untuk menerapkan metode pertanian alami di desa yang sudah sangat bergantung pada pupuk dan pestisida pabrikan, tentunya tidak mudah.
Perjuangan para perintis metode pertanian alami pastinya mendapatkan perlawanan keras dari juragan penjual pupuk kimia pabrikan, seperti yang digambarkan dalam film Seribu Bayang Purnama. Konflik antara pejuang tani alami dengan juragan pupuk pabrikan, yang diwarnai kisah cinta yang juga problematik, menjadi bagian paling menarik dalam film ini.
Film produksi Baraka Film ini didukung alur cerita dan penokohan yang kuat, melalui skenario yang ditulis oleh Swastika Nohara, yang pernah meraih dua Piala Maya untuk kategori Penulis Skenario Terpilih, serta nominasi sebagai penulis skenario terbaik pada ajang bergengsi FFI 2014. (*)