TIMESINDONESIA, PADANG – Miris, ketika manusia angkuh dan sudah tidak mau berdampingan hidup dengan alam, bukan karena alam yang bergantung kepada manusia melainkan kita sebagai manusia lah yang sangat bergantung kepada alam seperti contoh kecilnya saja oksigen yang dihasilkan oleh pohon-pohon dan kita hirup setiap harinya. Banyak hal yang membuat kita sebagai manusia sangat bergantung kepada alam.
Saat ini masih banyak juga manusia yang tidak menyadari atau bahkan memang sengaja menyepelekan hal tersebut dan masih tetap melakukan berbagai tindakan-tindakan yang merusak lingkungan demi menghasilkan keuntungan sesaat yang dipikir-pikir tidak setimpal dengan dampak lingkungan yang lebih besar.
Seperti halnya dilakukan oleh PT Sumber Permata Sipora (SPS) yang kembali menjadi perhatian masyarakat Sumatera Barat terutama aktivis lingkungan lantaran mendapatkan izin untuk membabat puluhan ribu hektare hutan di Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Sebelumnya tanggal 28 maret 2023 telah muncul juga petisi online mengenai penolakan terhadap izin beroperasi perusahaan tersebut untuk mengeksploitasi hutan di Kabupaten Kepulauan Mentawai khususnya pulau Sipora.
Tetapi petisi ini sepertinya hanya mampu menunda beroperasinya perusahaan tersebut, buktinya sekarang PT SPS ini kembali berusaha untuk mengeksploitasi pulau Sipora dengan mempunyai izin PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) ditambah dengan Amdal yang baru saja disahkan oleh DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Provinsi Sumatera Barat.
PT. SPS ini diketahui merupakan anak Perusahaan dari Padang Mulia Grup yaitu perusahaan yang berkantor di Rasuna Said, Jakarta Selatan ini bergerak di berbagai bidang. Mulai dari pertambangan batubara, nikel, kehutanan, perkebunan dan perikanan mulai tahun 2016.
Dalam profilnya, PT Sumber Permata Sipora memiliki target produksi mencapai 50.000 m3/Tahun yang terdiri dari kayu-kayu berjenis meranti, mersawa dan rimba campuran. Menurut data dari Ditjen AHU, PT SPS adalah perusahaan yang berkantor di Gedung The City Tower, Jalan MH Thamrin, Menteng, Jakarta Pusat.
Miris memang melihat perusahaan-perusahaan perusak hutan Indonesia seperti PT. SPS ini masih ada dan malah memiliki izin untuk mengeksploitasi hutan seperti yang akan dilakukannya di pusat administrasi Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu Pulau Sipora.
Pulau Sipora ini memiliki luas 61.518 hektar yang terbagi atas dua kecamatan yaitu Sipora Utara dan Sipora Selatan dengan 13 desa. Tentu saja dengan luas ini pulau Sipora termasuk kepada pulau-pulau kecil berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ditambah lagi dengan Peraturan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Masyarakat Adat yang seharusnya tidak boleh ada aktivitas pengekploitasian hutan di daerah tersebut.
Apalagi seperti yang kita ketahui bahwa PT. SPS memiliki Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) seluas 20.706 hektar yang tersebar di 8 desa. Pulau ini memiliki hutan produksi seluas 28.905 hektar, hutan produksi konversi seluas 5.883 hektar dan 26.066 hektar areal penggunaan lain (APL).
Masalahnya, dari puluhan ribu hektar hutan yang ada di Sipora, sekitar 70 persen dikuasai oleh perusahaan. Termasuk, izin PBPH yang dimiliki oleh PT. SPS seluas yang didalamnya termasuk hutan adat seluas 14.000 hektar.
Hal inilah yang menjadi perhatian berbagai pihak dan penulis melihat dengan berkurangnya lahan hutan karena dieksploitasi oleh PT. SPS ini akan berdampak besar terhadap masyarakat di pulau Sipora dan mengancam masyarakat dengan potensi banjir maupun kekeringan yang akan memperburuk kehidupan masyarakat.
Selanjutnya izin yang diberikan kepada PT Sumber Permata Sipora (PT. SPS) untuk memanfaatkan hutan seluas 20.706 hektare yang keluar pada 2023 melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor 28032311111309002 juga perlu disoroti.
Bukannya berbenah, pemerintah saat ini justru sibuk menawarkan kekayaan alam Indonesia untuk dikelola kepada para investor-investor asing yang bikin kita geleng-geleng kepala. Seolah tidak pernah belajar dari kesalahan di masa lampau bahwa kita tidak bisa terus menerus mengandalkan kekayaan alam sebagai sumber pendapatan daerah maupun negara.
Sumber daya alam yang tiap hari terus dikeruk itu tentu ada batasnya dan banyak juga masyarakat yang tidak tahu bahkan tidak menikmati hasil dari pemanfaat alam tersebut juga ikutan harus menerima konsekuensinya.
Selanjutnya mengingat pemberian izin tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena Pulau Sipora termasuk dalam kategori pulau kecil yang seharusnya diprioritaskan untuk konservasi.
Oleh karena itu, diperlukannya peninjauan ulang pemberian izin tersebut dengan harapannya tentu saja izin PT. SPS ini dicabut demi menjaga kelestarian alam di Kabupaten Kepulauan Mentawai dari tangan-tangan jahat korporasi karena ketergantungan kita terhadap alam terutama masyarakat yang ada di Mentawai.
***
*) Oleh : Muhammad Soultan Joefrian, S.IP., PBH LBH Padang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.